Skip to main content

Sudah Tumbuh Bulu



"Kok bunga dandelionnya nggak bisa aku tiup?"

"Kamu asal petik, sih. Coba kamu amati dulu."

"Mereka seharusnya sudah cukup umur,ya. Lha wong bulu-bulunya sudah tumbuh penuh, membulat gitu."

"Coba, bentuk bulunya dicermati."

"Kalau diamati, jadi bisa terbang sendiri?"

"Ngamatin itu pake mata, bukan pake mulut..."

"Rasah kakehan fafifu, mbokan (tidak perlu kebanyakan basa-basi, lah). Langsung ngomong apa susahnya, sih?"

"Kalau nggak mau mengamati, googling aja. Paling nggak bakal ketemu."




"Hmm... Nganu, bulunya nggak mekar. Agak basah, padahal ora udan (tidak hujan)..."

"Sekarang kita lagi di mana?"

"Kamu amnesia apa mau nge-vlog?"

"Lah, kok malah nge-vlog? Aku takon tenan, iki... (aku benar-benar bertanya, ini)"

"Di pantai Ngobaran, boskuhh~"

"Namanya juga di pantai, pasti anginnya kenceng , kan?"

"Justru itu, harusnya dandelion ini langsung terbang kalau kesenggol, kan?"

"Begini, ya dhek. Angin itu tidak bisa egois. Ia membawa apapun yang bisa dibawa, termasuk partikel-partikel air laut yang asin itu. Kamu nggak ngerasa mukamu lengket atau rambutmu lepek?"

"Kali ini enggak. Bukankah masing-masing pantai salinitasnya bisa berbeda?"

"Tapi... bulu-bulu dandelion tadi sepertinya tidak sependapat denganmu."

Comments

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan Tentang (Kedai) Kopi Yang Coba Saya Jawab Sendiri

Smile coffee and tea Beberapa juta tahun cahaya yang lalu, saya sempat menulis mengenai enam pertimbangan dalam memilih tempat untuk nongkrong . Belakangan saya sadar, sebagian besar tongkrongan saya adalah kedai kopi, atau paling tidak menyediakan kopi dalam daftar menunya. Saya sadar, belakangan kedai kopi di Jogja kian menjamur seperti tugas akhir yang saya biarkan menganggur ketika menulis postingan ini. Sebelumnya, saya ingin meluruskan bahwa saya bukanlah seorang coffee snob  , pendekar, atau apapun itu yang paham fafifu soal perkopian. Hamba sekadar mahasiswa yang butuh ruang yang nyaman untuk bersosialisasi maupun berindividualisasi. Sebagai seorang yang bukan ekstrovert dan nggak introvert-introvert amat, kedai kopi adalah tempat yang sesuai bagi saya untuk sekadar mojok dewean, menulis sesuatu, atau iseng baca webtoon dan yutuban.  Sejujurnya saya merasa postingan ini agak tolol. Kalau mau, bisa saja saya wawancara orang yang betul-betul paham soal kopi. Tapi, toh

Pertemuan dan Perjumpaan

Entah kenapa aku merasakan perbedaan antara pertemuan dan perjumpaan.  Rasaku bilang: pertemuan menyiratkan sebuah perjanjian, kesepakatan. Pertemuan sarat akan unsur kesengajaan. Bentuk-bentuk intimasi serta kepentingan turut terlibat, erat dan mengikat. Rasaku berucap: perjumpaan merupakan pertemuan yang tak direncanakan. Perjumpaan lebih mengatasnamakan takdir, ketidak sengajaan,  Tolong, jangan mintan penjelasan kenapa rasaku tak bisa menyamakan antara pertemuan dan perjumpaan. Aku bukan anak linguistik, atau manusia yang sehari-hari bergelut dengan ketatabahasaan. Rasaku memiliki logika dan nalarnya sendiri.  Jangan pula tanyakan tentang perpisahan, karena kali ini aku sekadar ingin membahas perjumpaan dan pertemuan. Jalan Kaliurang, 21 Maret 2016 Mengutuki hujan yang menderas di luaran. * edited soon, perhaps.

#ReformasiDikorupsi, #GejayanMemanggil, dan Sebagian Postingan yang Tidak Relevan

Gejayan Memanggil 2