Skip to main content

Cita-cita Alerta



Waktu ibadah telah usai ditandai kumandang lagu penutup. Bunda melangkah ringan  menuju ruangan tempat Alerta mengikuti sekolah Minggu. Pintu ruangan dan jendela-jendela berukuran besar sengaja dibiarkan terbuka agar udara pagi nan segar dapat masuk dengan leluasa. Bunda melongok melalui jendela. Di dalam ruangan berkarpet merah, tampak anak-anak masih berdoa dengan mata terpejam, kecuali Alerta. Sepasang matanya yang bulat tampak menyapu seisi ruangan, mengamati wajah-wajah khusyuk menunduk dengan mulut komat-kamit. Alerta sempat melihat Bunda sepintas, yang lantas melambai sembari menempelkan jari telunjuk kanan di depan bibir.

“Sshhh... Berdoa dulu,” desis Bunda dengan gerak bibir yang jelas namun nyaris tanpa suara.

Pengucapan ‘amin’ yang serentak menandai akhir dari sekolah Minggu kali ini. Anak-anak tampak tak sabar untuk lekas keluar menghambur pada orangtua masing-masing untuk meminta recehan dan membeli makanan ringan. Sebagian anak bahkan langsung menuju ke parkiran tempat aneka macam makanan dijajakan. Alerta menginjak sepatunya secara asal-asalan, kemudian berjinjit ke arah Bunda.


“Halo, sayang. Tadi ngapain aja kamu?" sambut Bunda.

"Tadi kita mendengarkan cerita, Bunda," sahut Alerta.

"Oh ya? Cerita tentang apa, sayang?" 

"Cerita tentang anak kecil yang bercita-cita untuk menjadi pencerita," jawab Alerta. Bunda menyimpan heran dalam gumam. Bukankah terlalu dini untuk membicarakan cita-cita pada anak sebaya Alerta?





Comments

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan Tentang (Kedai) Kopi Yang Coba Saya Jawab Sendiri

Smile coffee and tea Beberapa juta tahun cahaya yang lalu, saya sempat menulis mengenai enam pertimbangan dalam memilih tempat untuk nongkrong . Belakangan saya sadar, sebagian besar tongkrongan saya adalah kedai kopi, atau paling tidak menyediakan kopi dalam daftar menunya. Saya sadar, belakangan kedai kopi di Jogja kian menjamur seperti tugas akhir yang saya biarkan menganggur ketika menulis postingan ini. Sebelumnya, saya ingin meluruskan bahwa saya bukanlah seorang coffee snob  , pendekar, atau apapun itu yang paham fafifu soal perkopian. Hamba sekadar mahasiswa yang butuh ruang yang nyaman untuk bersosialisasi maupun berindividualisasi. Sebagai seorang yang bukan ekstrovert dan nggak introvert-introvert amat, kedai kopi adalah tempat yang sesuai bagi saya untuk sekadar mojok dewean, menulis sesuatu, atau iseng baca webtoon dan yutuban.  Sejujurnya saya merasa postingan ini agak tolol. Kalau mau, bisa saja saya wawancara orang yang betul-betul paham soal kopi. Tapi, toh

Pertemuan dan Perjumpaan

Entah kenapa aku merasakan perbedaan antara pertemuan dan perjumpaan.  Rasaku bilang: pertemuan menyiratkan sebuah perjanjian, kesepakatan. Pertemuan sarat akan unsur kesengajaan. Bentuk-bentuk intimasi serta kepentingan turut terlibat, erat dan mengikat. Rasaku berucap: perjumpaan merupakan pertemuan yang tak direncanakan. Perjumpaan lebih mengatasnamakan takdir, ketidak sengajaan,  Tolong, jangan mintan penjelasan kenapa rasaku tak bisa menyamakan antara pertemuan dan perjumpaan. Aku bukan anak linguistik, atau manusia yang sehari-hari bergelut dengan ketatabahasaan. Rasaku memiliki logika dan nalarnya sendiri.  Jangan pula tanyakan tentang perpisahan, karena kali ini aku sekadar ingin membahas perjumpaan dan pertemuan. Jalan Kaliurang, 21 Maret 2016 Mengutuki hujan yang menderas di luaran. * edited soon, perhaps.

#ReformasiDikorupsi, #GejayanMemanggil, dan Sebagian Postingan yang Tidak Relevan

Gejayan Memanggil 2