Skip to main content

Rahasia dalam kotak kaca


Suatu senja yang redup, terjadilah percakapan antara pencerita dengan pendengar setianya ...


“Wahai kamu, pendengar setiaku. Dimanakah kamu menyimpan segala rahasia yang kuceritakan kepadamu?” tanya seorang pencerita kepada pendengar setianya

“Aku menyimpannya dalam sebuah kotak kaca” jawab si pendengar

“Tapi, bagaimana bisa? Apakah kamu yakin segalanya aman? Apakah kamu bisa aku percaya?” tanya si pencerita lagi

“Tenang. Kotak kaca ini bukan kotak kaca biasa.” jawab pendengar sambil tersenyum

“Ceritakan kepadaku lebih lanjut. Aku ingin tahu. Biarlah kali ini kita bertukar posisi. Kamu pencerita, dan aku pendengarnya” pinta si pencerita

“Baiklah.  Semua rahasiamu tersimpan di kotak kaca penyimpan rahasia. Antipeluru dan sekuat baja, serta kedap suara. Rahasiamu pasti aman disana” jawab pendengar setia

“Seperti apa bentuk rahasia yang tersimpan di dalamnya?” lagi-lagi pencerita bertanya

“Bentuknya seperti kabut asap, dengan warna yang berbeda-beda, tergantung genre cerita macam apa yang dijadikan rahasia. Apabila kamu bercerita tentang cinta, warna asapnya akan merah muda. Apabila kamu bercerita tentang kelamnya dunia,maka  warnanya menjadi abu-abu tua. Rahasia ini memang kelihatan karena hanya disimpan di kotak kaca. Namun segalanya memang tidak selalu seperti apa yang terlihat, bukan? Begitu pula rahasia. Rahasia hanya bisa diceritakan dalam rupa suara. Dan seperti kataku tadi, kotak kaca ini kedap suara.”

“Bisakah kotak kaca ini terisi penuh rahasia, sehingga tidak mampu lagi menampung rahasia lainnya?” pencerita masih belum puas

“Kotak kaca ini bisa menyimpan rahasia yang tak terbatas jumlahnya. Kamu bisa menceritakan segala rahasia  sampai mulutmu berbusa. Tapi, ingatlah satu hal. Kotak kaca ini butuh jeda beberapa menit untuk menampung rahasia selanjutnya. Kalau tidak, kamu akan lupa dengan segala hal yang kamu ceritakan dan yang akan kamu ceritakan”

“Wahai pendengar setia, ceritamu tadi sungguh menarik. Bagaimana kalau kita bertukar posisi? Kamu bisa jadi pencerita, dan aku akan jadi pendengar setia” pencerita menawarkan

“Sebenarnya kita sama-sama manusia, sama-sama butuh di dengar dan mendengar. Kita bisa saja jadi keduanya; pendengar  ataupun pencerita. Tapi, apa kamu sudah yakin siap untuk menjadi seorang pendengar setia?” pendengar setia bertanya

“Tentu, aku bisa” jawab si pencerita dengan kesungguhan

“Mungkin. Tapi tidak sekarang. Belum waktunya.” kata si pendengar setia lagi

“Tapi … kenapa?”  pencerita tampak kecewa

“Kamu butuh waktu untuk membangun kotak kacamu sendiri. Kotak kaca penampung rahasia.” jawab si pendengar setia dengan lengkungan senyum di bibirnya.




Comments

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan Tentang (Kedai) Kopi Yang Coba Saya Jawab Sendiri

Smile coffee and tea Beberapa juta tahun cahaya yang lalu, saya sempat menulis mengenai enam pertimbangan dalam memilih tempat untuk nongkrong . Belakangan saya sadar, sebagian besar tongkrongan saya adalah kedai kopi, atau paling tidak menyediakan kopi dalam daftar menunya. Saya sadar, belakangan kedai kopi di Jogja kian menjamur seperti tugas akhir yang saya biarkan menganggur ketika menulis postingan ini. Sebelumnya, saya ingin meluruskan bahwa saya bukanlah seorang coffee snob  , pendekar, atau apapun itu yang paham fafifu soal perkopian. Hamba sekadar mahasiswa yang butuh ruang yang nyaman untuk bersosialisasi maupun berindividualisasi. Sebagai seorang yang bukan ekstrovert dan nggak introvert-introvert amat, kedai kopi adalah tempat yang sesuai bagi saya untuk sekadar mojok dewean, menulis sesuatu, atau iseng baca webtoon dan yutuban.  Sejujurnya saya merasa postingan ini agak tolol. Kalau mau, bisa saja saya wawancara orang yang betul-betul paham soal kopi. Tapi, toh

Pertemuan dan Perjumpaan

Entah kenapa aku merasakan perbedaan antara pertemuan dan perjumpaan.  Rasaku bilang: pertemuan menyiratkan sebuah perjanjian, kesepakatan. Pertemuan sarat akan unsur kesengajaan. Bentuk-bentuk intimasi serta kepentingan turut terlibat, erat dan mengikat. Rasaku berucap: perjumpaan merupakan pertemuan yang tak direncanakan. Perjumpaan lebih mengatasnamakan takdir, ketidak sengajaan,  Tolong, jangan mintan penjelasan kenapa rasaku tak bisa menyamakan antara pertemuan dan perjumpaan. Aku bukan anak linguistik, atau manusia yang sehari-hari bergelut dengan ketatabahasaan. Rasaku memiliki logika dan nalarnya sendiri.  Jangan pula tanyakan tentang perpisahan, karena kali ini aku sekadar ingin membahas perjumpaan dan pertemuan. Jalan Kaliurang, 21 Maret 2016 Mengutuki hujan yang menderas di luaran. * edited soon, perhaps.

#ReformasiDikorupsi, #GejayanMemanggil, dan Sebagian Postingan yang Tidak Relevan

Gejayan Memanggil 2