Skip to main content

Posts

Showing posts from May, 2017

Cita-cita Alerta

( sebelumnya ) Waktu ibadah telah usai ditandai kumandang lagu penutup. Bunda melangkah ringan  menuju ruangan tempat Alerta mengikuti sekolah Minggu. Pintu ruangan dan jendela-jendela berukuran besar sengaja dibiarkan terbuka agar udara pagi nan segar dapat masuk dengan leluasa. Bunda melongok melalui jendela. Di dalam ruangan berkarpet merah, tampak anak-anak masih berdoa dengan mata terpejam, kecuali Alerta. Sepasang matanya yang bulat tampak menyapu seisi ruangan, mengamati wajah-wajah khusyuk menunduk dengan mulut komat-kamit. Alerta sempat melihat Bunda sepintas, yang lantas melambai sembari menempelkan jari telunjuk kanan di depan bibir. “Sshhh... Berdoa dulu,” desis Bunda dengan gerak bibir yang jelas namun nyaris tanpa suara. Pengucapan ‘amin’ yang serentak menandai akhir dari sekolah Minggu kali ini. Anak-anak tampak tak sabar untuk lekas keluar menghambur pada orangtua masing-masing untuk meminta recehan dan membeli makanan ringan. Sebagian anak bahkan langs

Sekolah Kok Minggu Part 2: Pencerita Selain Bunda

(sebelumnya) "Alerta sudah pernah ikut sekolah Minggu?" tanya si biarawati manakala kaki mereka telah menginjak karpet merah. Pertanyaannya lantas disambut gelengan kepala Alerta. "Belum sus. Tapi... ini sekolah? Hari Minggu katanya untuk istirahat?" tanya Alerta polos. "Alerta di sekolah biasanya belajar apa?" "Macam-macam. Menulis, membaca, berhitung. Aku sudah lancar, kok. Soalnya Bunda juga ngajarin kalau di rumah." ungkap Alerta dengan bangga. Ia memang dikenal mahir ketiga hal tadi: menulis, membaca, dan berhitung. Manakala guru di sekolahnya mendikte soal ulangan, Alerta dapat dengan tangkas menyalinnya dalam bentuk tulisan tangan. "Kalau di sekolah Minggu, kita belajar sambil bermain sambil nyanyi bareng-bareng." "Tapi, Bunda pernah bilang kalau aku sudah besar. Harusnya aku tidak boleh keseringan main-main." " Lho, tadi katanya hari Minggu buat istirahat?" si biarawati mengulum

Sekolah Kok Minggu (Part 1)

Minggu pagi, seperti biasa Alerta cilik mengikuti rutinitas Bundanya untuk beribadah. Kali ini tempatnya lain lantaran belum ada seminggu Alerta pindah rumah. Sebetulnya Alerta enggan lantaran ia tak boleh berlari-larian seperti anak-anak kecil lainnya. Bunda berdalih kalau Alerta sudah bukan kanak-kanak lagi, cukup besar karena sudah masuk sekolah dasar. Di depan pintu masuk rumah ibadah, lima orang berdiri berjajar menyambut siapapun yang datang sembari mengulurkan tangan untuk bersalaman. Mereka juga menunjukkan tempat duduk yang masih kosong manakala orang yang datang tampak kebingungan. Ketika Alerta masuk, salah satu dari kelima orang tadi membungkuk dan berbicara kepada Alerta. Seorang lelaki tua dengan rambut lurus sebahu dan mulai beruban. Rasa-rasanya cocok apabila dipanggil kakek oleh anak-anak seusia Alerta. “Adik sudah kelas berapa?” tanya si lelaki tua. “Kelas satu SD,” jawab Alerta malu-malu. “Oh, masih SD. Ikut sekolah Minggu saja sama teman-teman y

Semesta

Sabtu petang yang gerah, sepasang kekasih tengah terlibat percakapan di sebuah rumah kontrakan. "Sayang..." "Iya?" "Kamu sudah memikirkan nama anak kita nanti?" "Tentu sudah. Tak peduli anak kita laki-laki atau perempuan, aku akan memberikan nama dengan unsur semesta kepadanya. Nama adalah doa, bukan?" "Kenapa harus semesta? Kok terdengar seperti kofisyop yang katanya buka 24 jam itu? Apakah kamu ingin anak ini hobi begadang seperti kita berdua?" "Soalnya, aku punya firasat bahwa anak kita bukanlah anak biasa. Orang-orang tidak akan berani macam-macam dengannya. Siapa pula manusia yang berani mencari masalah dengan semesta?" "Apakah kamu tidak khawatir jika anak kita tidak punya teman nantinya? Sepertinya beban yang dia tanggung akan terasa berat dengan nama 'semesta' yang melekat." "Tidak. Semesta tidak akan pernah lelah dan semesta tidak akan pernah salah. Kalaupun orang-orang tidak

Racauan Pahlawan Super : Menghidupkan Rasa Lupa

Menjadi seseorang yang bermanfaat bagi banyak orang bisa jadi merupakan sebuah pencapaian. Siapa sih yang tidak mau menjalani hidup yang meaningful? Meski banyak yang bilang bahwa hidup itu hanya sementara, mung mampir ngombe (sekadar mampir minum), kalau kata orang Jawa, bukan berarti harus diisi dengan yang senang-senang saja, bukan? Lagipula, bukankah pada hakikatnya manusia hidup untuk saling membutuhkan? Sebelum meracau lebih jauh, akan lebih afdol rasanya apabila aku memperkenalkan diri. Jangan harap aku akan memberi tahukan namaku karena itu adalah rahasia besar. Terlalu riskan kalau namaku disebut-sebut secara sembarangan. Lagipula, bukankah ungkapan mengenal tak terbatas pada mengetahui nama saja? Bagiku, mengenal adalah kompilasi antara mengetahui nama, karakter, serta asumsi maupun fakta-fakta lain yang terlampir pada sosok tertentu. Jadi, sebut saja aku sebagai Pahlawan Super. Sebetulnya pada mulanya aku juga manusia. Manusia super, lebih tepatnya. Tadinya, me

Mencicil Masa Depan

Besok adalah kali pertama bagiku untuk menjajakan rumah. Yang kujajakan bukanlah sembarang rumah, melainkan rumah masa depan. Tak jauh berbeda dengan rumah-rumah mewah yang ditawarkan di televisi oleh presenter acara gosip, rumah yang kutawarkan sama-sama belum mempunyai bentuk fisik. Yang kami jual adalah rencana, berikut suasana-suasana buatan yang tercakup di dalamnya. Kami menawarkan rumah masa depan. Sejujurnya aku sedikit gugup mengenai hari pertamaku menjajakan rumah. Jadi, aku memutuskan untuk melakukan simulasi dengan isteriku. Memperkirakan pertanyaan-pertanyaan yang sekiranya akan muncul dari calon pembeli. Paling tidak agar aku tak tampak dungu di hadapan calon pembeli esok hari. "Apa saja keunggulan rumah yang bapak tawarkan?" "Rumah ini berada di kawasan yang tenang dan asri. lengkap dengan rimbunan pohon-pohon peneduh. Lokasinya juga terbilang mudah dijangkau dengan kendaraan pribadi. Selain itu, ada juga fasilitas umum berupa panggung terbuka ya

Prediksi

Sumber: tahilalats “Ta, elo kenapa?” tanyamu ketika bertemu Alerta di lorong fakultas. Ia berjalan tertatih-tatih dengan ekspresi wajah menahan perih. “Gue habis bungee jumping sama trotoar,” seloroh Alerta sambil meringis. “Yaelah, seriusan. Itu kaki kenapa bonyok begitu? Kena begal lagi? Siang siang begini?,” semburmu. “Tadi ngerem di tikungan, gara-gara ada ibu-ibu belok sembarangan. Lagian, kasih tanda belok kiri, taunya lurus-lurus aja.” “Elo yang nabrak, atau ibu-ibunya?” “Gue yang hampir nabrak, tapi berhasil menghindar. Malah kena trotoar...” “Terus, ibu-ibunya?” “Ya... Sempat berhenti sebentar. Malah gue yang diomelin duluan. Apa salah hamba?” “Demi... Tapi memang kadang-kadang siapa yang berani ngomel duluan, justru yang bakal menang.” “Masalahnya, gue jadi inget nyokap. Doi pernah bilang kalau gue ngedumel liat ibu-ibu bawa motor sembarangan. Dikata kita lahir dari bongkahan batu, macam kera sakti, gitu?” “Tapi, elo sadar nggak k

Relatif Seimbang

Alerta mengunyah salad di hadapannya tanpa selera. Padahal, paduan selada segar, jagung manis, dan tomat ceri yang tak kalah manis biasanya dapat dengan mudah menggugah seleranya. Dalam hati ia mengumpat, tak ikhlas mengorbankan puluhan ribu rupiah demi semangkuk hidangan sehat yang harus dikunyah dengan susah payah. " Cieee... Hidup sehat, makan salad," ledek Darren. "Kayaknya aku salah milih dressing. Nggak kuat asemnya." "Namanya juga balsamic vinegar. Kamu kenapa deh tetiba makan makanan begituan?" "Biar sehat, Ren. Lagipula, di menu nggak ada mayo," sebatang rokok lantas tersulut di sela jemari kiri Alerta. " Apaan. Sehat kok ngerokok, " "Siapa yang bilang mau hidup sehat? Aku maunya hidup seimbang," dengus Alerta kesal. "Seimbang apanya?" "Ya... Seimbang. Ngerokok iya, makan sehat juga iya. Seimbang kan relatif, Ren."

Sekata Sakit

Kata-kata yang dirapalkan berkali-kali konon adalah mantra. Demikian halnya dengan doa, tentunya doa yang diungkapkan dengan penuh keyakinan. Setidaknya begitu yang kudengar dari salah seorang guru mata pelajaran Bahasa Indonesia sewaktu sekolah menengah. Entah mengapa, selalu ada barang satu atau dua memori di kelas Bahasa Indonesia yang memaksakan diri untuk menjadi ingatan abadi di dalam kepalaku sendiri. Bagaimana dengan umpatan yang ditujukan kepada seseorang? Apakah cara kerjanya serupa mantra atau doa? Entahlah. Intinya, belakangan aku tengah kesal dengan seseorang yang terus-terusan mengataiku dengan kata itu. Tapi, bukankah kata-kata tidak selalu merupakan racauan orang mabuk yang muncul begitu saja? Pertanyaan tentang cara kerja kata-kata terus berputar di kepalaku, hingga lawan bicaraku menegur. "Jadi, sejak kapan dia mengata-ngataimu 'sakit'?" "Sepertinya semenjak aku tidak lagi mempan dikatai lemah," ujarku, berusaha mengingat. &qu

Distorsi

“Hari ini aku harus mengerjakan skripsi,” tekadku, berbicara pada diriku sendiri sembari menyambar handuk, meluncur ke kamar mandi demi mempersiapkan diri. Bergayung-gayung air terguyur, dari ujung rambut hingga membasahi jemari kaki manakala aku memikirkan tempat asik untuk mengerjakan skripsi hari ini. Hmmm... Kofisyop ‘terdekat’ ? Kafein yang mereka sajikan kurang ciamik. Aku butuh kafein baik-baik agar perutku tidak mual atau melilit. Kedai Kopi ‘Nganu'  ? Tapi... Baru buka agak sore. Padahal aku sudah bangun lebih pagi dari biasanya. Haruskah aku mengerjakan di perpustakaan? Tapi, aku malas berpakaian rapi. Lagipula, belakangan sering hujan sehingga sepatu-sepatu layak pakai yang kupunya menjadi basah. Tunggu dulu, aku bahkan belum selesai mandi, belum berpakaian. Kucing-kucingku pun belum kuberi makan. Harusnya aku mandi belakangan.  Arrghhh... Sudah jam berapa ini?

Pamit Dari Sore

Dear Alerta, Sebelum aku terlanjur berceloteh panjang-lebar, aku ingin mempersoalkan julukan yang kau lekatkan dengan sosokku. Sore? Kenapa tidak senja? Bukankah senja terdengar lebih intim dan romantis? Kau pernah dengar, kan, cerita tentang senja yang kemerah-merahan? Senja yang konon dapat dipotong dengan cara dikerat pada keempat sisinya, lantas disimpan dalam saku baju? * Mengakulah. Kau pasti tahu karena cerita sepotong senja ini dikisahkan oleh salah seorang pencerita favoritmu. Oke, aku ralat. Senja tak selamanya kemerah-merahan. Bisa jadi senja berwarna kebiru-biruan, bahkan keungu-unguan kelam seperti lebam-lebam yang menyisa di lenganku. Luka lebam yang muncul akibat hantaman seorang lelaki sialan bernama Benjamin, salah seorang seniorku semasa sekolah menengah atas. Benjamin mengaku mengenalmu dengan baik, meski entah sebaik apa. Seperti katamu, baik itu relatif bukan? Rupa-rupanya Ben tak terima dengan perlakuanku terhadapmu. Perlakuan macam apa, coba? "Alert

Perdebatan Tiga Matahari

Pada suatu waktu di sebuah galaksi, terjadi perdebatan antara tiga matahari. Meski sama-sama berupa matahari, masing-masing dari mereka memiliki julukan tersendiri: Srengenge, Surya, dan Mentari. Seperti matahari-matahari pada umumnya, ketiganya diberi tugas oleh semesta untuk menjadi pusat tata surya, tentu dengan planet yang berbeda-beda. Ketiganya dituntut untuk terbit dan tenggelam agar planet-planet yang mengitari mereka tetap bisa menjalani daur kehidupan. Namun demikian, ada kalanya mereka merasa enggan menjalankan perintah semesta dan menolak untuk terbit. "Ayolah. Tak ada salahnya kita tidak terbit, sehari saja. Kita butuh leren (istirahat)," ungkap Mentari yang menjadi pusat dari enam planet. "Tidak! Kita harus tetap terbit," tukas Srengenge dengan segera. Srengenge adalah matahari dengan delapan planet yang mengelilingi. "Sudahlah, Srengenge. Aku rasa tak apa kalau kita mengambil cuti barang sehari. Lagipula, bukankah semesta adalah sosok

Di Balik Pertanyaan-pertanyaanku Padamu yang Kujawab Sendiri

Dear Nganu, Menanyakan kabarmu rasanya bukan kalimat pembuka yang tepat untuk memulai surat ini. Aku rasa aku tak butuh untuk tahu bagaimana keadaanmu di sana. Segalanya biasa kamu obral di linimasa, meski aku tahu itu hanya sebagian dari keseharianmu. Paling tidak aku bisa tahu kalau kamu masih tetap bisa minum kopi yang kemasannya tidak disobek, atau mengisap lintingan tembakau agar bisa tetap waras. Surat yang kukirimkan ini juga bukanlah surat kabar sehingga jangan heran apabila aku tidak memberitahukan kabarku. Lagipula, ini bukan surat balasan karena kamu tidak pernah mengirimiku surat. Kalau kamu saja tidak mengirim, mana bisa aku membalas. Atau mungkin, selama ini kamu menulis surat untukku, meski pada akhirnya kamu mengurungkan niat untuk mengirimkannya? Atau  mungkin suratmu untukku selama ini salah alamat? Aduh, celaka! Aku rasa aku sudah mulai bertanya. Padahal aku sudah memutuskan bahwa pertanyaan-pertanyaanku padamu akan kutujukan pada diriku sendiri, lant

Putusan Semesta

Gelas-gelas teh manis panas berjejer di meja hijau burjonan langganan kami berdua: aku dan temanku, sebut saja begitu. Pesanan yang jarang kami temui manakala menjinakkan perut yang keroncongan lantaran belum makan sejak pagi. Sepertinya pesanan khusus untuk bapak-bapak yang tengah bekerja bakti membenahi jalanan yang berlubang di gang depan. Bisa jadi, menyediakan minuman adalah cara 'Aak burjo berkontribusi dalam perbaikan lingkungan. Pasalnya, kalau si 'Aak ikut mengaduk semen, warung burjonya siapa yang jaga? Burjonan tak pelak menjadi lokasi favorit bagi mahasiswa yang merangkap anak kosan, lebih-lebih manakala akhir bulan. Burjonan adalah juga solusi manakala kami hendak berhemat agar dapat mentraktir pacar masing-masing pacar kami di kedai kopi yang biasanya sepi. Bukan berarti pacar kami masing-masing selalu menuntut untuk bertemu di tempat-tempat yang butuh modal. Kami sama-sama sadar kalau kami merogoh kocek lebih dalam hanya demi suasana. Sementara perut kami tid

Lari Saja Sendiri

"Harusnya sore ini kamu lari. Kamu dulu sering jogging sore-sore begini, kan? " katamu sembari keluar dari gedung perpustakaan. Kamu berjalan selangkah lebih dulu dariku. Merentangkan kaki-kakimu yang jenjang dan berbulu. "Kenapa harus lari?" tanyaku, berusaha mejejerimu dengan kecepatan dua kali lipat, meski jangkauan langkah kakiku hanya sempat membuat kita sejajar selama sekian detik.  "Soalnya sore ini tidak hujan. Bahkan jok motor kita yang terparkir sejak pagi masih kering. Kamu nggak kepikiran pengen lari?" " Nope... Udah kurus ini," sambarku. Aku rasa kamu yang butuh bergerak lebih banyak lantaran lipatan dagumu nyaris bersaing dengan bentuk kantong mata bapak presiden kita yang keenam. Tapi, toh aku tidak bilang padamu secara gamblang. Perihal berat badan bisa menjadi isu yang sensitif, terkadang. "Iyaaa, tauk..." "Lagipula, tadi di ponselku, katanya cuaca hujan. Tapi... mungkin aku terlanjur te

Lelah Memilih

"La, kamu diet? Kok lama nggak beredar di linimasa?" tanya Alerta menyambut Ela yang baru saja menuju ke meja sebuah kofisyop.  Cangkir mungil di tangan kiri Alerta meyisakan noda-noda bekas espresso yang sudah ditenggak lima menit lalu. "Bukannya udah lama? Aku kurusan banget, apa? Kita jarang ketemu, sih... " cerocos Ela. "Maksudku.. kamu nggak pernah update lagi di medsos? Diet medsos, gitu? " "Ehehehe... Iya, Ta. Lagipula, kalau ada perlu, tinggal personal chat bisa, kan?" "Bukannya kamu dulu sering banget online? Main game online juga, bahkan. Kenapa sekarang sudah jarang? Padahal, dulu kamu bisa dapat tambahan uang jajan dari main game? " "Hmm... Simple sih, sebetulnya. Aku rasa, dunia offline ku sekarang jauh lebih menarik. Lagipula, bukankan postingan-postingan di media sosial cuma segelintir dari realitas? Selected reality, kalau aku bilang. Aku lelah memilih." "Memilih apa? Postingan? Tinggal pil