“Hari ini aku harus mengerjakan skripsi,” tekadku, berbicara
pada diriku sendiri sembari menyambar handuk, meluncur ke kamar mandi demi
mempersiapkan diri. Bergayung-gayung air terguyur, dari ujung rambut hingga
membasahi jemari kaki manakala aku memikirkan tempat asik untuk mengerjakan
skripsi hari ini. Hmmm... Kofisyop ‘terdekat’?
Kafein yang mereka sajikan kurang ciamik. Aku butuh kafein baik-baik agar
perutku tidak mual atau melilit. Kedai Kopi ‘Nganu' ? Tapi... Baru buka agak sore. Padahal aku sudah bangun lebih pagi dari biasanya. Haruskah aku mengerjakan di perpustakaan? Tapi, aku malas berpakaian rapi. Lagipula, belakangan sering hujan sehingga sepatu-sepatu layak pakai yang kupunya menjadi basah. Tunggu dulu, aku bahkan belum selesai mandi, belum berpakaian. Kucing-kucingku pun belum kuberi makan. Harusnya aku mandi belakangan. Arrghhh... Sudah jam berapa ini?
Smile coffee and tea Beberapa juta tahun cahaya yang lalu, saya sempat menulis mengenai enam pertimbangan dalam memilih tempat untuk nongkrong . Belakangan saya sadar, sebagian besar tongkrongan saya adalah kedai kopi, atau paling tidak menyediakan kopi dalam daftar menunya. Saya sadar, belakangan kedai kopi di Jogja kian menjamur seperti tugas akhir yang saya biarkan menganggur ketika menulis postingan ini. Sebelumnya, saya ingin meluruskan bahwa saya bukanlah seorang coffee snob , pendekar, atau apapun itu yang paham fafifu soal perkopian. Hamba sekadar mahasiswa yang butuh ruang yang nyaman untuk bersosialisasi maupun berindividualisasi. Sebagai seorang yang bukan ekstrovert dan nggak introvert-introvert amat, kedai kopi adalah tempat yang sesuai bagi saya untuk sekadar mojok dewean, menulis sesuatu, atau iseng baca webtoon dan yutuban. Sejujurnya saya merasa postingan ini agak tolol. Kalau mau, bisa saja saya wawancara orang yang betul-betul paham soal kopi. ...
Comments
Post a Comment