Skip to main content

Posts

#ReformasiDikorupsi, #GejayanMemanggil, dan Sebagian Postingan yang Tidak Relevan

Gejayan Memanggil 2

Peninggalan-Peninggalan Menyebalkan Pernah Saya Temui Di Jamban

Photo by  Gabor Monori  on  Unsplash Semenjak masih bocah, kita semua tentu sepaham bahwa kebutuhan pokok sebagai manusia terdiri dari tiga hal: sandang, papan, serta pangan. Namun demikian, ada satu hal yang tak kalah esensial untuk dikategorikan sebagai kebutuhan, yakni: buang hajat! Agar lebih enak diucapkan, saya lebih memilih untuk merangkum kebutuhan pokok plus-plus ini sebagai : sandang, papan, pangan, dan jamban. Biar apa? Biar enak dibaca saja, begitu. Sebetulnya, dalam istilah biologi, pengeluaran atau pembuangan ampas hasil metabolisme tubuh lebih sesuai apabila disebut ekskresi. Ekskresi sendiri bukan melulu merujuk pada buang air besar atau buang air kecil saja, melainkan juga pembuangan zat-zat seperti karbon dioksida, urea, racun, dan sebagainya. Zat-zat ini memang dapat ditemui pada feses maupun urin yang senantiasa kita keluarkan dengan penuh kelegaan itu. Baik feses (alias tokai) maupun urin (alias pipis) tentu perlu dikeluarkan di tempat yang semestinya

Apa Faedahnya Tidak Buru-Buru Lulus?

Beberapa waktu lalu, saya menyempatkan diri membaca tulisan di salah satu media alternatif daring perihal kelulusan, khususnya soal mereka yang baru melepaskan status mahasisa setelah melalui semester dua digit seperti saya.   Tidak. Saya tidak akan mengemukakan   alasan saya kenapa baru bisa menuntaskan perkuliahan dan resmi menjadi “beban negara” usai menyandang status sebagai mahasisa selama 5 tahun 10 bulan agar tidak terlalu terlihat mencari pemakluman. Anggap saja saya sekadar mau membesarkan hati kalian-kalian yang belum juga sarjana. Bagaimana? Kurang baik apa saya, coba?  Jadi, berikut saya sampaikan beberapa faedah yang saya rasa hanya saya dapatkan lantaran saya pura-pura betah jadi mahasisa.  Punya Alasan Nongkrong di Koffisyop Kesayangan Koffisyop Kesayangan Berlama-lama menyandang status sebagai mahasiswa tingkat akhir membuat saya bisa punya alasan paling masuk akal untuk sekadar nongkrong-nongkrong gemas di koffisyop kesayangan. Tentunya tanpa perlu khawati

Sebelum Sambat Soal Harga Secangkir Kopimu, Perhatikan Hal-hal Ini

"Kamu kaya, ya? Ke koffisyop situ melulu. Kan mahal" "Kamu kerja di S***sa, kan?" "Ngakunya miskin, kok tiap hari ke koffisyop!" Selamat pagi-siang-petang-senja-sore-malam-subuh, sanak saudara dan handai taulan sekalian! Belum lama ini saya iseng-iseng bikin voting di instagram yang kurang lebih begini bentuknya: Coba tebak ini di mana? :p Saya mengakui bahwa saya termasuk orang yang cukup sering nongkrong di koffisyop, baik dewean atau bersama teman. Bahkan pernah dalam satu minggu penuh, saya nongkrong di salah satu koffisyop langganan (kecuali kalau pas tutup). Saya cukup sadar jika ada potensi orang-orang di seberang sana (yang hanya memantau kondisi saya via linimasa) cenderung menganggap saya:  sok sugih, ngopi terus padahal kerjo wae durung , cuma menghabiskan duit dari orang tua,   boros, dan fafifu lainnya. Ini asumsi saya, sih. Tapi saya yakin ada yang begini kok, meski cuma disimpan dalam hati :)) Secara priba

Menyadari Segmentasi

Sebagai mahasisa komunikesyen, terkadang saya merasa hina karena merasa belum punya pencapaian apa-apa di bidang media. Punya blog pun isinya unfaedah begini: random, ambyar, acakadut, dan jarang update . Kadang kala pengen riviu-riviu cantique macam temen saya ini . Tapi, apa daya. Saya mageran buat ngurusin blog sendiri. Kadang sempet iseng ikutan ngirim tulisan ke mana kek, gitu. Tapi, yha namanya juga lyfe. Kadang memang saya ngerjainnya nggak total dan baru kirim mepet dateline , atau malah kelewat sembarangan bikin tulisan yang mlipir dari tema. Alhasil, saya nggak kecewa-kecewa amat ketika memang tulisan saya nggak tembus. Lha, wong jarang ngirim~ Bicara soal tulisan yang nggak tembus dimuat, sebagai  mahasisa yang pernah kesasar ikutan UKM yurnalistique, sesekali saya pernah dengar ada dekadek yang sambat akibat tulisannya ditolak alias dianggap nggak layak muat lantaran kurang "receh". Diam-diam saya menghujat dalam hati ," Lha rumangsamu kowe nulis ng

Pertanyaan-pertanyaan Tentang (Kedai) Kopi Yang Coba Saya Jawab Sendiri

Smile coffee and tea Beberapa juta tahun cahaya yang lalu, saya sempat menulis mengenai enam pertimbangan dalam memilih tempat untuk nongkrong . Belakangan saya sadar, sebagian besar tongkrongan saya adalah kedai kopi, atau paling tidak menyediakan kopi dalam daftar menunya. Saya sadar, belakangan kedai kopi di Jogja kian menjamur seperti tugas akhir yang saya biarkan menganggur ketika menulis postingan ini. Sebelumnya, saya ingin meluruskan bahwa saya bukanlah seorang coffee snob  , pendekar, atau apapun itu yang paham fafifu soal perkopian. Hamba sekadar mahasiswa yang butuh ruang yang nyaman untuk bersosialisasi maupun berindividualisasi. Sebagai seorang yang bukan ekstrovert dan nggak introvert-introvert amat, kedai kopi adalah tempat yang sesuai bagi saya untuk sekadar mojok dewean, menulis sesuatu, atau iseng baca webtoon dan yutuban.  Sejujurnya saya merasa postingan ini agak tolol. Kalau mau, bisa saja saya wawancara orang yang betul-betul paham soal kopi. Tapi, toh

Cita-cita Alerta

( sebelumnya ) Waktu ibadah telah usai ditandai kumandang lagu penutup. Bunda melangkah ringan  menuju ruangan tempat Alerta mengikuti sekolah Minggu. Pintu ruangan dan jendela-jendela berukuran besar sengaja dibiarkan terbuka agar udara pagi nan segar dapat masuk dengan leluasa. Bunda melongok melalui jendela. Di dalam ruangan berkarpet merah, tampak anak-anak masih berdoa dengan mata terpejam, kecuali Alerta. Sepasang matanya yang bulat tampak menyapu seisi ruangan, mengamati wajah-wajah khusyuk menunduk dengan mulut komat-kamit. Alerta sempat melihat Bunda sepintas, yang lantas melambai sembari menempelkan jari telunjuk kanan di depan bibir. “Sshhh... Berdoa dulu,” desis Bunda dengan gerak bibir yang jelas namun nyaris tanpa suara. Pengucapan ‘amin’ yang serentak menandai akhir dari sekolah Minggu kali ini. Anak-anak tampak tak sabar untuk lekas keluar menghambur pada orangtua masing-masing untuk meminta recehan dan membeli makanan ringan. Sebagian anak bahkan langs

Sekolah Kok Minggu Part 2: Pencerita Selain Bunda

(sebelumnya) "Alerta sudah pernah ikut sekolah Minggu?" tanya si biarawati manakala kaki mereka telah menginjak karpet merah. Pertanyaannya lantas disambut gelengan kepala Alerta. "Belum sus. Tapi... ini sekolah? Hari Minggu katanya untuk istirahat?" tanya Alerta polos. "Alerta di sekolah biasanya belajar apa?" "Macam-macam. Menulis, membaca, berhitung. Aku sudah lancar, kok. Soalnya Bunda juga ngajarin kalau di rumah." ungkap Alerta dengan bangga. Ia memang dikenal mahir ketiga hal tadi: menulis, membaca, dan berhitung. Manakala guru di sekolahnya mendikte soal ulangan, Alerta dapat dengan tangkas menyalinnya dalam bentuk tulisan tangan. "Kalau di sekolah Minggu, kita belajar sambil bermain sambil nyanyi bareng-bareng." "Tapi, Bunda pernah bilang kalau aku sudah besar. Harusnya aku tidak boleh keseringan main-main." " Lho, tadi katanya hari Minggu buat istirahat?" si biarawati mengulum

Sekolah Kok Minggu (Part 1)

Minggu pagi, seperti biasa Alerta cilik mengikuti rutinitas Bundanya untuk beribadah. Kali ini tempatnya lain lantaran belum ada seminggu Alerta pindah rumah. Sebetulnya Alerta enggan lantaran ia tak boleh berlari-larian seperti anak-anak kecil lainnya. Bunda berdalih kalau Alerta sudah bukan kanak-kanak lagi, cukup besar karena sudah masuk sekolah dasar. Di depan pintu masuk rumah ibadah, lima orang berdiri berjajar menyambut siapapun yang datang sembari mengulurkan tangan untuk bersalaman. Mereka juga menunjukkan tempat duduk yang masih kosong manakala orang yang datang tampak kebingungan. Ketika Alerta masuk, salah satu dari kelima orang tadi membungkuk dan berbicara kepada Alerta. Seorang lelaki tua dengan rambut lurus sebahu dan mulai beruban. Rasa-rasanya cocok apabila dipanggil kakek oleh anak-anak seusia Alerta. “Adik sudah kelas berapa?” tanya si lelaki tua. “Kelas satu SD,” jawab Alerta malu-malu. “Oh, masih SD. Ikut sekolah Minggu saja sama teman-teman y

Semesta

Sabtu petang yang gerah, sepasang kekasih tengah terlibat percakapan di sebuah rumah kontrakan. "Sayang..." "Iya?" "Kamu sudah memikirkan nama anak kita nanti?" "Tentu sudah. Tak peduli anak kita laki-laki atau perempuan, aku akan memberikan nama dengan unsur semesta kepadanya. Nama adalah doa, bukan?" "Kenapa harus semesta? Kok terdengar seperti kofisyop yang katanya buka 24 jam itu? Apakah kamu ingin anak ini hobi begadang seperti kita berdua?" "Soalnya, aku punya firasat bahwa anak kita bukanlah anak biasa. Orang-orang tidak akan berani macam-macam dengannya. Siapa pula manusia yang berani mencari masalah dengan semesta?" "Apakah kamu tidak khawatir jika anak kita tidak punya teman nantinya? Sepertinya beban yang dia tanggung akan terasa berat dengan nama 'semesta' yang melekat." "Tidak. Semesta tidak akan pernah lelah dan semesta tidak akan pernah salah. Kalaupun orang-orang tidak