Skip to main content

Pertanyaan-pertanyaan Tentang (Kedai) Kopi Yang Coba Saya Jawab Sendiri

Smile coffee and tea

Beberapa juta tahun cahaya yang lalu, saya sempat menulis mengenai enam pertimbangan dalam memilih tempat untuk nongkrong. Belakangan saya sadar, sebagian besar tongkrongan saya adalah kedai kopi, atau paling tidak menyediakan kopi dalam daftar menunya. Saya sadar, belakangan kedai kopi di Jogja kian menjamur seperti tugas akhir yang saya biarkan menganggur ketika menulis postingan ini.

Sebelumnya, saya ingin meluruskan bahwa saya bukanlah seorang coffee snob , pendekar, atau apapun itu yang paham fafifu soal perkopian. Hamba sekadar mahasiswa yang butuh ruang yang nyaman untuk bersosialisasi maupun berindividualisasi. Sebagai seorang yang bukan ekstrovert dan nggak introvert-introvert amat, kedai kopi adalah tempat yang sesuai bagi saya untuk sekadar mojok dewean, menulis sesuatu, atau iseng baca webtoon dan yutuban. 

Sejujurnya saya merasa postingan ini agak tolol. Kalau mau, bisa saja saya wawancara orang yang betul-betul paham soal kopi. Tapi, toh ini bukan portal berita. Bukan pula situs hasil kolaborasi. Paling yang baca cuma teman-teman di linimasa media sosial saya. Yang ngopi saya, yang nongkrong saya, yang bayar juga saya. Pun saya akui, pertanyaan-pertanyaan tentang (kedai) kopi yang coba saya jawab sendiri dalam postingan ini bukanlah murni pertanyaan-pertanyaan saya sendiri. Sebagian merupakan hasil obrolan dengan teman, baik yang paham kopi, atau bahkan samasekali tidak bisa minum kopi.

Baiklah, langsung saja kita mulai tanya-jawabnya berdasarkan prinsip 5w+1h . Mungkin kalau ada tambahan akan saya update di kemudian hari.

Antologi space


Q: Sejak kapan  suka nongkrong di kedai kopi?
A: Sejak jadi mahasiswa. Saya memang sejak lahir di Jogja, SMA di Jogja juga. Waktu daftar kuliah, keterimanya di Jogja juga. Waktu SMA, kedai kopi belum sebanyak sekarang. Paling banter dulu nongkrong di Gale atau Raminten, soalnya dekat sekolah. Sejujurnya, saya mulai lumayan sering minum kopi ketika saya berniat untuk mengurangi minuman penambah energi botolan yang suka promo di ind*maret itu. Meski banyak yang bilang kalau satu-satunya obat kantuk adalah tidur, nyatanya minum espresso tiga shot sukses bikin saya melek. Syukurlah, (sepertinya) sudah setahun lebih saya tidak lagi minum kafein botolan. Meski konon kabarnya kadar kafein di minuman penambah energi botolan tidak sebanyak kadar kafein dalam secangkir kopi, dada kiri saya sempat sakit waktu keseringan minum kafein botolan itu tadi. Padahal dosis yang saya minum tidak melebihi anjuran dosis maksimal.

Q: Biasanya ngopi sama siapa?
A: Tergantung kebutuhan dan kahanan. Lebih sering sendirian karena kadang tanpa janjian pun bakal ketemu teman atau orang yang di kenal.


Q: Kenapa suka nongkrong di kedai kopi?
A: Soalnya rumah saya jauh (?). Sebetulnya lebih karena kebutuhan saja. Saya butuh ruang yang nyaman, entah untuk menulis, membaca, atau sekadar ingin mojok dewean atau mojok ramean. Bukan berarti saya nggak ada teman yang kosannya bisa ditebengin buat obob siang. Kalau mau obob doang, di rumah juga bisa. Lagipula, kadang  saya memang enggan ngerepotin orang atau memang sedang butuh Wi-fi dan kopi.

Q: Dapat rekomendasi tempat ngopi/nongkrong dari mana/siapa?
A: Kebanyakan dari teman, atau instagram.

Q: Suka kedai kopi yang seperti apa?
A:Kembali lagi, tergantung kebutuhan. Bahkan kalau saya butuh ngopi, tapi juga harus ke kampus, saya memilih take away. Daripada malah mager terus batal ngampus.

Couvee


Q: Apakah di kedai kopi wajib pesan kopi?
A:  Sakarepmuhh~ Tergantung tujuanmu nongkrong apa, atau nongkrong sama siapa. Kalau saya memang sedang butuh asupan kafein, ya beli kopi. Kadang saya pesan kopi juga lihat-lihat tempat karena tidak semua kedai kopi yang pernah saya coba kopinya sesuai dengan selera dan kondisi tubuh saya. Seperti yang kerap saya obrolkan dengan teman-teman sepermainan yang tidak selalu seumuran, kita mau pesan apa, suka-suka kita kalau memang ada di menunya.  Bukan perihal enak atau tidak. Kopi (seperti juga minuman, makanan, atau apapun yang kita konsumsi dan kenakan) saya rasa sifatnya personal. Misal, saya suka kopi dengan rasa yang kuat. Bukan berarti saya hanya mau minum espresso dan menolak minum latte atau teman-teman sebangsanya. Asal tidak terlalu manis (karena perisa) atau asam dan membuat perut mual, tidak masalah.
Akantetapi, espresso tetap jadi menu wajib bagi saya ketika mencoba kedai kopi baru, entah berupa affogato (cari aman) atau betul-betul espresso saja. Kalau saya cocok sama espressonya, kemungkinan besar saya akan pesan kopi lagi lain kali. Ya, meski saya cukup sering merasa agak nganu manakala pesan 'espresso doang'. :). Masalahnya, saya pernah pesan affogato di salah satu kedai kopi hits bin instagramable, dan berakhir dengan mual dan sakit perut. Padahal perut saya tidak sedang kosong dan saya tidak ada riwayat penyakit maag. Salah seorang teman saya (sebut saja Basara, yang kebetulan satu selera dengan saya soal kopi) juga mengalami hal yang sama di kedai kopi tersebut. Solusinya? Beli saja es cokelat :).



Comments

Popular posts from this blog

Pertemuan dan Perjumpaan

Entah kenapa aku merasakan perbedaan antara pertemuan dan perjumpaan.  Rasaku bilang: pertemuan menyiratkan sebuah perjanjian, kesepakatan. Pertemuan sarat akan unsur kesengajaan. Bentuk-bentuk intimasi serta kepentingan turut terlibat, erat dan mengikat. Rasaku berucap: perjumpaan merupakan pertemuan yang tak direncanakan. Perjumpaan lebih mengatasnamakan takdir, ketidak sengajaan,  Tolong, jangan mintan penjelasan kenapa rasaku tak bisa menyamakan antara pertemuan dan perjumpaan. Aku bukan anak linguistik, atau manusia yang sehari-hari bergelut dengan ketatabahasaan. Rasaku memiliki logika dan nalarnya sendiri.  Jangan pula tanyakan tentang perpisahan, karena kali ini aku sekadar ingin membahas perjumpaan dan pertemuan. Jalan Kaliurang, 21 Maret 2016 Mengutuki hujan yang menderas di luaran. * edited soon, perhaps.

#ReformasiDikorupsi, #GejayanMemanggil, dan Sebagian Postingan yang Tidak Relevan

Gejayan Memanggil 2