Skip to main content

Posts

Showing posts from April, 2017

Kalau

"Kalau kamu boleh memilih untuk dilahirkan kembali, kamu ingin jadi siapa?" tanya Han pada Alerta suatu pagi, sepulang dari s ebuah pantai dengan hamparan pasir putih yang kemilau diterpa purnama.  " Hmmm... Siapa, ya?" Alerta tercenung di sadel belakang motor yang mereka kendarai sembari berusaha menahan kantuk. Lagipula, Han butuh teman bicara agar mereka berdua tetap terjaga selama perjalanan menuju apa yang mereka sebut sebagai rumah. "Siapa? Public figure, mungkin?" pancing Han. "Aku rasa aku memilih untuk dilahirkan kembali sebagai diriku sendiri," jawab Alerta. "Kamu tidak ingin mengeksplorasi? Sekeren itukah hidupmu?" "Justru itu... Aku masih terlalu muda untuk memutuskan apakah hidupku cukup keren atau tidak. Lagipula, bukankah asyik kalau kita punya cadangan nyawa?" " Hmmm... Sebetulnya maksudku semacam reinkarnasi." "Kalau kamu, Han?" Alerta balik bertanya. "Kamu paham,

Sudah Tumbuh Bulu

" Kok bunga dandelionnya nggak bisa aku tiup?" "Kamu asal petik, sih. Coba kamu amati dulu." "Mereka seharusnya sudah cukup umur,ya. Lha wong bulu-bulunya sudah tumbuh penuh, membulat  gitu." " Coba, bentuk bulunya dicermati." "Kalau diamati, jadi bisa terbang sendiri?" " Ngamatin itu pake mata, bukan pake mulut..." " Rasah kakehan fafifu, mbokan ( tidak perlu kebanyakan basa-basi, lah). Langsung ngomong apa susahnya, sih?" " Kalau nggak mau mengamati, googling aja. Paling nggak bakal ketemu." "Hmm... Nganu, bulunya nggak mekar. Agak basah, padahal ora udan (tidak hujan)..." "Sekarang kita lagi di mana?" "Kamu amnesia apa mau nge-vlog? " " Lah, kok malah  nge-vlog? Aku takon tenan, iki... (aku benar-benar bertanya, ini)" "Di pantai Ngobaran, boskuhh~" "Namanya juga di pantai, pasti anginnya kenceng , kan?" "

Alasanku Ingin Menguasai Dunia

Tempo hari, aku diwawancarai oleh seseorang perempuan bernama Miranda mengenai bagaimana rasanya pacaran dengan seorang pahlawan super. Kalau kalian penasaran apa jawabanku padanya, silakan cari tahun sendiri di sini , lalu lanjut ke sini . Aku tidak akan mengulangi apa yang kututurkan dalam wawancara itu secara persis. Aku akan bercerita berdasar versiku sendiri karena... Kalian tahu, lah. Tulisan-tulisan di media biasanya berupa penafsiran dari penulisnya yang dirangkum sedemikian rupa. Maklum, jumlah karakternya kerap kali dibatasi. Apalagi harus ada ruang khusus untuk iklan. Bukannya aku tidak percaya dengan media zaman sekarang, tapi aku terkadang suka menafsirkan diriku sendiri. Sebelumnya, aku tidak akan memperkenalkan nama asliku. Aku rasa alasanku cukup logis dan jelas: orang-orang yang dekat dengan pahlawan super biasanya kerap jadi umpan. Jadi, adegan-adegan yang kerap muncul di komik, serial televisi, maupun film mengenai pahlawan super aku akui ada benarnya. Si pahlaw

Kembali Ke Venus (2)

(cerita sebelumnya) "Kamu kira selama ini mama apa yang mama lakukan di bidang komputer? Sekadar memasarkan? Tentu tidak, sayang. Otak mama mampu mengerjakan lebih dari sekadar jual-beli!" tegas mama, meski masih terdengar kelembutan dalam hentakan suaranya. "Maksud mama?" tanyaku demi memastikan asumsi-asumsi yang kadung melintas di kepala. "Mama turut serta menciptakan perangkat komputer yang akan membawa mama melesat menuju ruang angkasa, lantas kembali ke planet asal mama. Ah, bukan itu yang perlu kita bicarakan untuk saat ini. Intinya begini, sayang. Persoalan ini sebetulnya sudah berlangsung lama, berlarut-larut. Mama dan teman-teman mama sudah sering membahas persoalan ini ketika rapat rutin berkedok arisan. Kami: makhluk-mahkluk dari planet Venus merasa sudah saatnya kami kembali ke planet asal kami. Selain itu, mama ingin kamu ikut bersama mama," pintanya. Aku makin kalut. Aku kira rencana perpisahan mama tak lebih dari sekadar percerai

Kembali ke Venus

Perkenalkan, namaku Bumi. Aku adalah adik perempuan dari seorang alumni Fakultas Ketuhanan bernama Joni . Iya, kalian tidak salah membaca nama fakultasnya. Kakak lelakiku itu memang menempuh perkuliahan di fakultas bersemboyan 'Yang Maha Esa' serta menjunjung tinggi poin kedua pada dasadharma pramuka yang berbunyi 'cinta alam dan kasih sayang sesama manusia'. Joni kini mengelola sebuah kedai kopi bersama teman-teman sesama alumni fakultas Ketuhanan. Tentu usai melewati fase berdamai dengan ideologinya sendiri dan penolakan dalam diri untuk terus bergantung pada kedua orangtua kami. Sementara aku masih duduk di bangku SMA, meski orang-orang yang baru mengenalku cenderung mengira aku lebih dewasa. Sejak kecil, aku memang tertarik, bahkan sedikit terobsesi dengan hal-hal yang berkaitan dengan ruang angkasa. Di usiaku yang belum genap tujuhbelas ini, aku menyadari betapa besarnya kuasa semesta. Aku juga lumayan menaruh minat terhadap isu-isu mengenai alien dan sebangsa

Papan Ketik Ruang Angkasa

Pukul tiga sore, aku masih berusaha mengumpulkan motivasi untuk tulisanku. Sesungguhnya kepalaku tidak kosong. Aneka macam ide liar didalamnya tengah sibuk bertengkar. Mungkin aku memang tak piawai melerai keributan, termasuk pergulatan dalam diriku sendiri. Lagipula, bukankah lebih baik apabila sebuah pertengkaran tidak dipendam, namun ditunaikan hingga tuntas? Aku lantas celingukan, menyapukan pandangan ke sekitar. Kondisi ruangan yang ku tempati sebetulnya sesuai dengan yang kubutuhkan. Luas, terang, dan semua orang sibuk dengan laptop mereka masing masing, memanfaatkan koneksi internet tak berbayar. Di sudut ruangan, aku menemukan sosok yang familier. Seorang teman lama yang bisa jadi nyaris setahun tak kutemui batang hidungnya, kecuali lewat postingan-postingan di linimasa yang melintas sekilas. Namanya Joni. Aku mengenalnya di sebuah kedai kopi 'terdekat' sudah setahun lebih. Kala itu, hampir semua bangku yang tersedia sudah diduduki. Hampir, lantaran kebetula

Menafsirkan Penafsiran Penafsir

Saat ini aku tengah berada di tempat yang pernah kita datangi tak hanya sekali. Duduk di sofa berbentuk menyerupai huruf 'u', di sudut smoking area. Cukup berisik lantaran tiap senin petang selalu ada sesi live music. Salah seorang temanku lantas mengeluarkan bungkusan kain, meletakannya di atas meja, dan membukanya. Isinya berupa satu set kartu yang hingga kini aku tak tahu berapa jumlah tepatnya. Masing-masing kartu memiliki gambar yang berbeda, dilengkapi dengan semacam caption singkat yang tak lebih dari satu kalimat. "Aku pernah beberapa kali minta dibacakan kartu oleh seorang cenayang. Apakah kartu-kartu ini sama?" tanyaku sembari menyesap vanilla affogato yang terlalu manis. Aku nyaris tidak bisa merasakan unsur kopi di dalamnya. "Tidak juga," katamu. "Bolehkah aku minta dibacakan?" "Kenapa tidak coba kamu baca sendiri?" "Aku? Bisakah?" raguku. "Tentu. Justru masing-masing orang bisa menafsirkan kart

Secangkir Ambyar

" Gimana latterart nya?" tanyanya usai kelas latteart petang tadi. " Ambyar, mas..." ujarku. "Memangnya waktu akan memulai, apa yang kamu rencanakan," dia bertanya lagi. " Hmmm....," aku berpikir sejenak, ragu. "Entahlah," kataku lagi. "Memang, apa yang menurutmu salah?" "Hmm... Aku terlalu lama mendiamkan susunya, dan dia terlanjur tidak menyatu. Lagipula, espressonya memang tidak sempurna," dalihku. "Jadi, kamu mengejar kesempurnaan tanpa membuat rencana?" "Bukankah kita sebaiknya mengikuti rancangan semesta?" "Mengikuti bukan berarti tanpa persiapan, bukan?"

Tentang Sore

"Kamu mengenal Sore ?? tanya Benjamin pada Mira. "Maksudmu? Sore yang mana? Senja??" Mira masih terkantuk-kantuk usai berkutat dengan dateline penyuntingan tulisan-tulisan yang serasa tak pernah usai. "Tidak, bukan. Senja dan sore tak bisa disamakan. Aku bertanya tentang manusia. Seorang lelaki bernama sore," Benjamin menerangkan. "Aih, Sore yang itu?? Tentu. Alerta sempat memperkenalkannya padaku." "Ya... ya... Tunggu, kita sedang membicarakan Alerta yang sama, kan? Aku mengerti, amat jarang seseorang memiliki nama Alerta di muka bumi ini. Tapi, tetap ada kemungkinan kalau kita membicarakan Alerta yang lain." Benjamin meragu. "Alerta yang mana lagi? Aku cuma kenal satu Alerta, dan... Ah, sudahlah. Bukankah kita akan membicarakan Sore? Lelaki yang suka pergi tanpa pesan, itu?" "Betul.. Betul... Lelaki yang benar-benar tidak sopan. Tidak menghargai perempuan." "Iya, paham, Benjamin yang beneran lak

Sekolah Melamun

"Kemana kamu pergi manakala kamu tengah jenuh?" tanyaku padanya suatu hari. Ayunan yang kududuki bergerak perlahan. "Ke sekolah," ujarnya. "Sekolah? Kamu pasti bercanda..." aku melirik padanya yang juga duduk di ayunan sebelah kiriku. Ayunan yang kami duduki terbuat dari besi, cukup kokoh sehingga kami yang sudah dewasa ini tak perlu khawatir apabila si ayunan roboh. "Iya... Sekolah... Tapi bukan sekolah biasa," katamu yakin. "Bukankah sekolah adalah tempat menimbun kejenuhan? Kecuali... waktu jam istirahat, tentu" kataku menimpali. "Sekolah ini lain. Kamu tidak akan pernah merasa bosan lagi apabila bersekolah di sini," kamu seakan-akan berubah peran menjadi staf promosi sebuah sekolah yang bagiku mulai terdengar sebagai bagian dari cerita fiksi. "Memang, apa saja fasilitasnya," tanyaku seakan mengujimu. "Halaman depannya lebih luas dari lapangan sepakbola, dengan rerumputan abadi yang tidak pe

Bagaimana Rasanya Pacaran Dengan Seorang Pahlawan Super (part 2)

(sebelumnya) Miranda manggut-manggut sesaat, lantas mempersiapkan perangkat wawancaranya; notes mungil berisi poin-poin pertanyaan, drawing pen  -yang bagi Miranda lebih nyaman untuk digoreskan di kertas ketimbang pulpen-, dan sebuah alat perekam warna hitam. "Kalau sambil duduk, gimana mbak?" usul Miranda. Matanya menelusur, tertambat pada kotak-kotak kayu yang ia rasa cukup kuat apabila mereka gunakan untuk duduk. Si responden meng-iya-kan dan langsung berjalan ke arah kotak-kotak kayu yang dimaksud Miranda. "Aku biasa duduk-duduk di sini juga, kok," kata si responden sembari meletakkan pantatnya pada salah satu kotak kayu. Jemari kanannya lantas merogoh totebag hitam yang tersandang di bahu kirinya, meraih sekotak rokok, mengambil sebatang isinya, lantas menyulutnya dengan pemantik warna putih yang diraih dari dalam saku kiri celana pendeknya. Miranda ikut duduk, mencari posisi yang nyaman, lantas menyalakan alat perekamnya. "Oke, kita mulai ya, m

Bagaimana Rasanya Pacaran Dengan Seorang Pahlawan Super (Part 1)

Mendung tampak menggantung murung di hari rabu siang itu. Miranda tengah melangkah menuju lantai tertinggi sebuah gedung perpustakaan tua, menanti seorang responden yang harus diwawancarainya. Seorang perempuan muda yang mengaku kerap berkunjung ke perpustakaan tua ini untuk mencari sepi. Sebagai pewawancara yang baik, Miranda memilih untuk meng-iya-kan saja lokasi pertemuan mereka. Ada baiknya juga bertemu di tempat yang familiar bagi responden sehingga membuatnya lebih rileks dan nyaman manakala menjawab pertanyaan-pertanyaan yang hendak diajukan. Terlebih, perpustakaan tua tersebut konon kabarnya memang sepi. Miranda tak perlu khawatir apabila hasil rekaman wawancara tertimpa suara-suara manusia-manusia lain yang menganggu. Miranda sebetulnya sudah beberapa kali mengunjungi perpustakaan tua ini. Namun, baru kali ini ia menginjakkan kaki di lantai tertinggi. Sepasang pintu kaca besar langsung menyambutnya, menampilkan bidang lantai tertinggi, cukup luas tanpa atap yang me

Beauty is Pain (Jare)

"Ren... Mencetin jerawat itu termasuk selfharming, nggak ?"  Sebaris pesan terpampang pada layar ponsel Darren. Jam pada aplikasi percakapan menunjukkan waktu telah berlalu dua jam lebih lewat tengah malam. Darren masih belum tidur. Matanya masih menelusur layar laptopnya, membaca komik bergenre thriller via webtoon. "Tergantung apa tujuanmu" "Mbok  apa-apa jangan melulu diartikan secara harafiah, to.."   Hanya butuh limabelas detik bagi Darren mengetik jawaban, namun baru terbaca di layar ponsel Alerta limabelas menit kemudian. Maklum, susah sinyal. "Tapikan, mencetin jerawat itu sakiiiit..." "Tapitapi.... beauty is pain, jare... " Dua baris balasan Alerta membuat kedua ujung bibir Darren tertarik sesaat. Sepintas Darren mengenang, bisa-bisanya dia betah berteman dengan perempuan macam Alerta. Semblilan tahun mereka bersekolah di kelas yang sama, Alerta tampak sudah banyak berubah. Meski sempat hilang kontak semasa

Kopi Sobek

" Mbaknya suka kopi, ya?" seorang barista gondrong menyadarkan lamunan Alerta sembari meletakkan cangkir mungil di mejanya. "Iya, mas. Makanya ke kofisyop. Hehe..." jawab Alerta sekenanya. Kofisyop langganan Alerta tengah sepi siang ini. "Selalu pesan espresso, mbak?" " Ah... enggak juga. Kadang-kadang single origin. " " Nggak pake gula?" " Enggak, mas. Lumayan kan, hemat koffisyopnya, " ujar Alerta sembari menenggak secangkir espresso di hadapannya hingga tandas. "Kalau lagi di rumah, suka minum kopi juga?" "Kadang-kadang, mas. Bapak saya nggak suka kalau anaknya keseringan ngopi. Nggak sehat, katanya." "Minum kopi sobek, berarti?" "Jelas enggak, mas. Saya nggak minum yang begituan... Hehe.." Alerta meringis, memamerkan sederet gigi yang akrab terpapar nikotin dan kafein. "Wahh... Kok sangar? Nggak pakai gula, nggak minum kopi instan," si barista

Cintaku Padamu Hanya Pengalihan Isu

Minggu pagi, seperti biasa Mira menghabiskan akhir pekannya di tepi dermaga. Hempasan angin bergaram sedikit mengacaukan kerudung biru muda yang ia kenakan. Kabut laut yang asin melekat ke kaca matanya, memburamkan pandangan kala Mira memandang ke arah laut lepas. Pandangan Mira menelusur dari arah kiri, sepintas menyaksikan batu-batu karang yang terhempas gelombang menimbulkan suaran khas. Sesekali Mira menarik napas, seembali menyesap cokelat panas dalam gelas kertas di genggaman tangan kirinya. Sesap. Napas. Sesap. Napas. Sesekali pula mata Mira terpejam, khusyuk mendengar suara hempasan ombak pada batu-batu karang sembari merasakan hangatnya mentari pagi yang kilaunya memantul pada butiran pasir yang terhampar. Terdengar pula suara yang tak biasanya Mira dengar manakala tengah menikmati Minggu pagi di tepi dermaga. Suara sesenggukan, semacam tangis yang pelan dan tertahan. Mira membuka mata, kembali menyesap cokelat panas di genggaman tangannya, menenggak, kembali menajamkan pen

Serum Kejujuran

"Han..." Alerta berbisik pelan pada Han yang tengah berbaring menikmati hening di hamparan pasir pantai putih dengan butir-butirnya yang kemilau diterpa purnama. "Ya, Alerta? " Han menyahut, sembari memandang bintang-bintang yang kemilaunya bersaing dengan hamparan pasir . "Ceritakan padaku tentang serum kejujuran," "Cerita macam apa yang kamu mau?" "Terserah kamu, Han. Bukankah kamu yang maha nganu?  Tokoh fiksi macam aku ini bisa memutuskan apa?" "Hmm... Baiklah. Sebetulnya aku punya beberapa kisah tentang orang-orang yang meminum serum kejujuran. Kamu juga pernah menenggaknya beberapa kali, bukan?" "Iya, Han... Iya.. Tapi... masa iya kamu bercerita kepadaku tentang diriku sendiri?" " Lho,  bukankah kejujuran yang terlontar usai seseorang menenggak serum kejujuran merupakan kejujuran yang terlontar tanpa sepenuhnya sadar? Untuk jujur pada dirimu sendiri saja bahkan kamu masih belum mampu, kan