Minggu pagi, seperti biasa Mira menghabiskan akhir pekannya di tepi dermaga. Hempasan angin bergaram sedikit mengacaukan kerudung biru muda yang ia kenakan. Kabut laut yang asin melekat ke kaca matanya, memburamkan pandangan kala Mira memandang ke arah laut lepas. Pandangan Mira menelusur dari arah kiri, sepintas menyaksikan batu-batu karang yang terhempas gelombang menimbulkan suaran khas. Sesekali Mira menarik napas, seembali menyesap cokelat panas dalam gelas kertas di genggaman tangan kirinya. Sesap. Napas. Sesap. Napas. Sesekali pula mata Mira terpejam, khusyuk mendengar suara hempasan ombak pada batu-batu karang sembari merasakan hangatnya mentari pagi yang kilaunya memantul pada butiran pasir yang terhampar. Terdengar pula suara yang tak biasanya Mira dengar manakala tengah menikmati Minggu pagi di tepi dermaga. Suara sesenggukan, semacam tangis yang pelan dan tertahan. Mira membuka mata, kembali menyesap cokelat panas di genggaman tangannya, menenggak, kembali menajamkan pendengarannya sembari menengok ke belakang, mencari sumber suara tangis pelan yang tertahan. Tampak raut wajah kusam yang familiar, namun nyaris tak dikenalinya. Rambut sang pemilik wajah tampak tergerai lepek, dikacaukan hempasan angin bergaram. Kakinya melangkah gontai, menapak nyaris tak terdengar. Menyisakan jejak-jejak di hamparan pasir putih yang tak sebegitu dalam.
"Chika? Kamu ngapain ke sini?"
Mira tampak terkejut sekaligus heran. Chika adalah seorang teman lama yang sudah sekian lama tak Mira dengar kabarnya. Beragam isu sempat beredar di linimasa Mira. Katanya, Chika kawin lari dengan kekasihnya. Katanya, hubungan mereka tidak direstui oleh masing-masing orang tua mereka yang tersisa. Katanya... Katanya... Betapa kabur isu yang beredar di linimasa.
"Aku... akuhh..."
Chika masih sesenggukan, terisak, berupaya mengatur napas. Di tangan kanannya terdapat amplop cokelat muda kusut yang telah koyak pada salah satu sisinya. Agak basah dan sedikit lembab, lengket, dan bergaram. Entah karena air mata Chika, terpaan angin laut, atau perpaduan keduanya. Gemetar, Chika melangkah ke arah Mira sembari menyodorkan amplop cokelatnya. Mira meraihya dengan tangan kanan, lantas duduk bersila membelakangi lautan, berhadapan dengan Chika yang turut duduk, meluruskan kaki sembari menunduk. Cokelat panas dalam gelas kertasnya kini tak lagi panas, namun hangat. Disodorkannya gelas kertas yang isinya tinggal setengah pada perempuan berwajah kusam dengan rambut lepek tergerai yang tengah selonjoran di hadapannya.
Dalam amplop cokelat, Mira mendapati sepucuk surat yang bahkan lebih kusut daripada amplop cokelat pembungkusnya. Sepucuk surat dari lelaki yang sama-sama mereka berdua kenal.
Dear, Chika
Sayang... Hmm, sejujurnya aku rasa aku tidak pantas lagi memanggilmu 'sayang' ketika surat ini telah sampai di tanganmu. Aku bisa membayangkan betapa hancur perasaanmu manakala kamu tidak lagi mendapatiku di sisi kirimu ketika matamu terbuka di hari Minggu pagi yang biasanya indah ini. Begini, ya. Aku tahu kamu sudah cukup mengenalku, betapa aku tidak suka berbasa-basi. Intinya, aku harus pergi sekarang. Tak perlu kamu tunggu, tak perlu kamu cari. Aku tidak akan pernah kembali.
Semua foto-foto kita telah aku hapus, dari ponselmu maupun ponselku. Semua akun media sosial kita juga sudah tidak aktif lagi. Terimakasih karena sudah mau terbuka padaku, termasuk perihal kata kunci semua akun media sosial maupun surat elektronikmu. Segalanya jadi lebih mudah bagiku. Percakapan-percakapan kita juga sudah tidak lagi ada. Tinggal clearchat, semua beres.
Jadi begini, Chika. Sejujurnya... cintaku padamu hanyalah pengalihan isu. Bagiku, perihal cinta hanyalah buang-buang waktu. Kebetulan saja kemarin aku tengah kelebihan waktu. Sayangnya, sekarang aku tengah diburu waktu. Kamu bukanlah prioritasku. Sudah, ya. Aku pergi dulu. Tidak usah repot-repot mencariku, atau bertanya pada orangtuaku. Toh kamu tahu kalau mereka tak pernah sepenuhnya merestui hubungan kita ini. Terimakasih karena akhirnya aku punya mantan. Aku sudah dapat apa yang aku mau.
Sampai (tidak) ketemu
Mira mematung, tak bicara. Lidahnya kelu, hatinya ngilu. Jemarinya meremas amplop cokelat pembungkus surat. Rupanya masih ada lagi sebuah benda di dalamnya. Benda lain, padat memanjang, tak terbuat dari kertas. Dituangkannya isi amplop yang tersisa di atas pasir. Isinya hanya ada satu: sebatang testpack dengan dua garis merah samar.
Comments
Post a Comment