Beberapa waktu lalu, saya menyempatkan diri membaca
tulisan di salah satu media alternatif daring perihal kelulusan, khususnya soal mereka yang baru melepaskan status mahasisa setelah melalui semester dua digit seperti saya. Tidak. Saya tidak akan mengemukakan alasan
saya kenapa baru bisa menuntaskan perkuliahan dan resmi menjadi “beban negara”
usai menyandang status sebagai mahasisa selama 5 tahun 10 bulan agar tidak
terlalu terlihat mencari pemakluman. Anggap
saja saya sekadar mau membesarkan hati kalian-kalian yang belum juga sarjana.
Bagaimana? Kurang baik apa saya, coba? Jadi, berikut saya sampaikan beberapa faedah yang saya rasa hanya saya dapatkan lantaran saya pura-pura betah jadi mahasisa.
Bukan hanya kepada sesama mahasisa angkatan tua saja. Kami jadi lebih aware soal betapa masing-masing orang memiliki persoalan tersendiri. Urusanmu enggak cuman nyekripsi, dear~~ Bahkan saat bergaul dengan teman-teman yang sudah resmi sarjana (baik yang sudah kerja atau masih luntang-lantung usaha), saya bisa jadi lebih pengertian. Minimal jadi enggak demen tanya-tanya:
"Kerja di mana kamu sekarang?"
Memangnya habis sarjana kita bisa langsung lancar cari kerja? Memang dunia kerja jauh lebih menyenangkan ketimbang mengerjakan tugas kuliah ramai-ramai sambil gibah? Memang sudah siap ditanya kapan rabi? Kalau sudah rabi, memang sudah siap dengan pertanyaan-pertanyaan maha-basa-basi selanjutnya yang bikin dinding insekyuriti kamu semakin tebal? Hmmm...
Nah, ketika saya masih mahasisa, sementara teman-teman seumuran sudah pada kerja bahkan rabi, saya jadi bisa punya perspektif yang lebih kaya perihal kehidupan usai kuliah. Minimal saya nyicil, paham kerjaan macam apa yang sekiranya kurang sesuai dengan diri saya pribadi. Semua ini tentu bersumber dari cerita teman-teman saya yang sambat soal gawean atau persiapan pernikahan. Saya jadi bersyukur. Belum tentu saya siap ketika berada pada posisi mereka yang sudah pada sarjana.
Berlama-lama menyandang status sebagai mahasiswa
tingkat akhir membuat saya bisa punya alasan paling masuk akal untuk sekadar nongkrong-nongkrong gemas di koffisyop kesayangan. Tentunya tanpa
perlu khawatir terlihat tidak produktif alias buang-buang duit orang tua. Misalnya saja, ketika ditanya begini:
“Dhek,
ngerjain apa kamu di koffisyop?”
“Nyekripsi,
dong. Hehe. Hehe. Hehe. Revisi. Hehe. Hehe....”
Jawaban yang demikian tentu membuat saya seakan-akan
tampak sebagai mahasiswa yang serius dalam mengerjakan tugas akhir. Ya memang
serius, sih. Kalau enggak serius,
saya tinggal minta duit buat bayar joki skripsi. Tapi... Yha kali saya bayar
joki buat ngerjain UNU600 saya ini. Ngisin-isini
almamatermu, dhek!!! Sudah masuk susah-susah, masa buat lulus enggak mau susah. Hih~
Disangka Masih Dedek Gemas
Lantaran sudah #ditinggallulus oleh teman-teman yang
bahkan merupakan dekadek angkatan,
saya bahkan sempat beberapa kali disangka lebih muda dari angkatan saya.
Semacam obat awet muda tanpa perlu repot-repot beli skin care anti-aging atau pasang susuk, begitu. Hehe. Hehe. Hehe.
Saya bahkan sempat dikira dua tahun lebih muda dari angkatan asli saya.
Lumayan, yekann.. #menolaktua #belumdualima.
Berdasarkan hasil obrolan dengan sesama mahasisa
tua, saya juga beroleh suatu kesadaran. Sebetulnya ini yang bilang teman saya
sih, tapi saya sependapat. Berlama-lama menjadi mahasisa sejujurnya membuat
kami menjadi lebih toleran. Karena kami tentu sempat merasa insekyur lantaran tak kunjung menang
bertarung dengan diri kami sendiri, kami jadi lebih bisa merasakan empati.
Menumbuhkan Sikap Pengertian
Hmmm... |
Bukan hanya kepada sesama mahasisa angkatan tua saja. Kami jadi lebih aware soal betapa masing-masing orang memiliki persoalan tersendiri. Urusanmu enggak cuman nyekripsi, dear~~ Bahkan saat bergaul dengan teman-teman yang sudah resmi sarjana (baik yang sudah kerja atau masih luntang-lantung usaha), saya bisa jadi lebih pengertian. Minimal jadi enggak demen tanya-tanya:
"Kerja di mana kamu sekarang?"
Memangnya habis sarjana kita bisa langsung lancar cari kerja? Memang dunia kerja jauh lebih menyenangkan ketimbang mengerjakan tugas kuliah ramai-ramai sambil gibah? Memang sudah siap ditanya kapan rabi? Kalau sudah rabi, memang sudah siap dengan pertanyaan-pertanyaan maha-basa-basi selanjutnya yang bikin dinding insekyuriti kamu semakin tebal? Hmmm...
Punya Waktu Lebih Buat Mengenal Diri Sendiri
Ngobrol sama cangkir gemasss |
Dengan lebih lama menjadi “beban
orang tua” (meski kadang kasian juga karena mereka sepertinya malu lantaran punya anak yang tak kunjung
lulus), saya jadi bisa punya waktu lebih untuk mengenal diri saya sendiri.
Sejatinya, skripsi itu bukan hanya pertarungan yang menghadapi rumusan masalah,
dosen penguji, maupun dosen pembimbing. Musuh terbesar dalam nyekripsi justru adalah dirimu sendiri, jare.
Nah, ketika saya masih mahasisa, sementara teman-teman seumuran sudah pada kerja bahkan rabi, saya jadi bisa punya perspektif yang lebih kaya perihal kehidupan usai kuliah. Minimal saya nyicil, paham kerjaan macam apa yang sekiranya kurang sesuai dengan diri saya pribadi. Semua ini tentu bersumber dari cerita teman-teman saya yang sambat soal gawean atau persiapan pernikahan. Saya jadi bersyukur. Belum tentu saya siap ketika berada pada posisi mereka yang sudah pada sarjana.
Piawai Bersilat Lidah
Akhir kata, faedah
tidak lulus buru-buru bagi saya adalah : Saya jadi jago ngeles. Piawai berdalih alias bersilat lidah. Saya tentu sudah khatam untuk merespons
pernyataan ngeselin soal,
“Nanti tak susul, lho Mbak~”.Sudah begitu, mereka yang gemar tanya-tanya ini bahkan tidak
datang waktu saya wisuda. Nyelametin aja enggak. Hhhh, tipis~
Lebih-lebih ketika junior saya gemar bertanya maha-basa-basi macam ini:
“Nanti tak susul, lho Mbak~”.
Lebih-lebih ketika junior saya gemar bertanya maha-basa-basi macam ini:
“Kok belum lulus, Mbak? Enggak kasihan orang tua
yang bayar kuliah?”
“Sanss... Aku
kan belum bayar UKT kayak kamu, dhek. SPP SMA-ku dulu luwih larang... Hehe. Hehe...” *skakmat*
Eh, sekarang sudah pada kena UKT, yha? Satu semester
bayar kuliah berapa, nih? Hehe.
Hehe~~~
Comments
Post a Comment