Skip to main content

Apa Faedahnya Tidak Buru-Buru Lulus?

Beberapa waktu lalu, saya menyempatkan diri membaca tulisan di salah satu media alternatif daring perihal kelulusan, khususnya soal mereka yang baru melepaskan status mahasisa setelah melalui semester dua digit seperti saya.  Tidak. Saya tidak akan mengemukakan  alasan saya kenapa baru bisa menuntaskan perkuliahan dan resmi menjadi “beban negara” usai menyandang status sebagai mahasisa selama 5 tahun 10 bulan agar tidak terlalu terlihat mencari pemakluman. Anggap saja saya sekadar mau membesarkan hati kalian-kalian yang belum juga sarjana. Bagaimana? Kurang baik apa saya, coba? Jadi, berikut saya sampaikan beberapa faedah yang saya rasa hanya saya dapatkan lantaran saya pura-pura betah jadi mahasisa. 

Punya Alasan Nongkrong di Koffisyop Kesayangan

Koffisyop Kesayangan

Berlama-lama menyandang status sebagai mahasiswa tingkat akhir membuat saya bisa punya alasan paling masuk akal untuk sekadar nongkrong-nongkrong gemas di koffisyop kesayangan. Tentunya tanpa perlu khawatir terlihat tidak produktif alias buang-buang duit orang tua. Misalnya saja, ketika ditanya begini:

Dhek, ngerjain apa kamu di koffisyop?”
Nyekripsi, dong. Hehe. Hehe. Hehe. Revisi. Hehe. Hehe....”

Jawaban yang demikian tentu membuat saya seakan-akan tampak sebagai mahasiswa yang serius dalam mengerjakan tugas akhir. Ya memang serius, sih. Kalau enggak serius, saya tinggal minta duit buat bayar joki skripsi. Tapi... Yha kali saya bayar joki buat ngerjain UNU600 saya ini. Ngisin-isini almamatermu, dhek!!! Sudah masuk susah-susah, masa buat lulus enggak mau susah. Hih~

Disangka Masih Dedek Gemas

Seumuran :3

Lantaran sudah #ditinggallulus oleh teman-teman yang bahkan merupakan dekadek angkatan, saya bahkan sempat beberapa kali disangka lebih muda dari angkatan saya. Semacam obat awet muda tanpa perlu repot-repot beli skin care anti-aging atau pasang susuk, begitu. Hehe. Hehe. Hehe. Saya bahkan sempat dikira dua tahun lebih muda dari angkatan asli saya. Lumayan, yekann.. #menolaktua #belumdualima.

Menumbuhkan Sikap Pengertian

Hmmm...
Berdasarkan hasil obrolan dengan sesama mahasisa tua, saya juga beroleh suatu kesadaran. Sebetulnya ini yang bilang teman saya sih, tapi saya sependapat. Berlama-lama menjadi mahasisa sejujurnya membuat kami menjadi lebih toleran. Karena kami tentu sempat merasa insekyur lantaran tak kunjung menang bertarung dengan diri kami sendiri, kami jadi lebih bisa merasakan empati. 

Bukan hanya kepada sesama mahasisa angkatan tua saja. Kami jadi lebih aware soal betapa masing-masing orang memiliki persoalan tersendiri. Urusanmu enggak cuman nyekripsi, dear~~ Bahkan saat bergaul dengan teman-teman yang sudah resmi sarjana (baik yang sudah kerja atau masih luntang-lantung usaha), saya bisa jadi lebih pengertian. Minimal jadi enggak demen tanya-tanya:

"Kerja di mana kamu sekarang?"

Memangnya habis sarjana kita bisa langsung lancar cari kerja? Memang dunia kerja jauh lebih menyenangkan ketimbang mengerjakan tugas kuliah ramai-ramai sambil gibah? Memang sudah siap ditanya kapan rabi? Kalau sudah rabi, memang sudah siap dengan pertanyaan-pertanyaan maha-basa-basi selanjutnya yang bikin dinding insekyuriti kamu semakin tebal? Hmmm...

Punya Waktu Lebih Buat Mengenal Diri Sendiri

Ngobrol sama cangkir gemasss
Dengan lebih lama menjadi “beban orang tua” (meski kadang kasian juga karena mereka sepertinya malu lantaran punya anak yang tak kunjung lulus), saya jadi bisa punya waktu lebih untuk mengenal diri saya sendiri. Sejatinya, skripsi itu bukan hanya pertarungan yang menghadapi rumusan masalah, dosen penguji, maupun dosen pembimbing. Musuh terbesar dalam nyekripsi justru adalah dirimu sendiri, jare. 

Nah, ketika saya masih mahasisa, sementara teman-teman seumuran sudah pada kerja bahkan rabi, saya jadi bisa punya perspektif yang lebih kaya perihal kehidupan usai kuliah. Minimal saya nyicil, paham kerjaan macam apa yang sekiranya kurang sesuai dengan diri saya pribadi. Semua ini tentu bersumber dari cerita teman-teman saya yang sambat soal gawean atau persiapan pernikahan. Saya jadi bersyukur. Belum tentu saya siap ketika berada pada posisi mereka yang sudah pada sarjana.

Piawai Bersilat Lidah

Ceritanya sedang bergunjing
Akhir kata, faedah tidak lulus buru-buru bagi saya adalah : Saya jadi jago ngeles. Piawai berdalih alias bersilat lidah. Saya tentu sudah khatam untuk merespons pernyataan ngeselin soal, 

“Nanti tak susul, lho Mbak~”. Sudah begitu, mereka yang gemar tanya-tanya ini bahkan tidak datang waktu saya wisuda. Nyelametin aja enggak. Hhhh, tipis~  

Lebih-lebih ketika junior saya gemar bertanya maha-basa-basi macam ini:

“Kok belum lulus, Mbak? Enggak kasihan orang tua yang bayar kuliah?”
Sanss... Aku kan belum bayar UKT kayak kamu, dhek. SPP SMA-ku dulu luwih larang... Hehe. Hehe...” *skakmat*

Eh, sekarang sudah pada kena UKT, yha? Satu semester bayar kuliah berapa, nih? Hehe. Hehe~~~



Comments

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan Tentang (Kedai) Kopi Yang Coba Saya Jawab Sendiri

Smile coffee and tea Beberapa juta tahun cahaya yang lalu, saya sempat menulis mengenai enam pertimbangan dalam memilih tempat untuk nongkrong . Belakangan saya sadar, sebagian besar tongkrongan saya adalah kedai kopi, atau paling tidak menyediakan kopi dalam daftar menunya. Saya sadar, belakangan kedai kopi di Jogja kian menjamur seperti tugas akhir yang saya biarkan menganggur ketika menulis postingan ini. Sebelumnya, saya ingin meluruskan bahwa saya bukanlah seorang coffee snob  , pendekar, atau apapun itu yang paham fafifu soal perkopian. Hamba sekadar mahasiswa yang butuh ruang yang nyaman untuk bersosialisasi maupun berindividualisasi. Sebagai seorang yang bukan ekstrovert dan nggak introvert-introvert amat, kedai kopi adalah tempat yang sesuai bagi saya untuk sekadar mojok dewean, menulis sesuatu, atau iseng baca webtoon dan yutuban.  Sejujurnya saya merasa postingan ini agak tolol. Kalau mau, bisa saja saya wawancara orang yang betul-betul paham soal kopi. Tapi, toh

Pertemuan dan Perjumpaan

Entah kenapa aku merasakan perbedaan antara pertemuan dan perjumpaan.  Rasaku bilang: pertemuan menyiratkan sebuah perjanjian, kesepakatan. Pertemuan sarat akan unsur kesengajaan. Bentuk-bentuk intimasi serta kepentingan turut terlibat, erat dan mengikat. Rasaku berucap: perjumpaan merupakan pertemuan yang tak direncanakan. Perjumpaan lebih mengatasnamakan takdir, ketidak sengajaan,  Tolong, jangan mintan penjelasan kenapa rasaku tak bisa menyamakan antara pertemuan dan perjumpaan. Aku bukan anak linguistik, atau manusia yang sehari-hari bergelut dengan ketatabahasaan. Rasaku memiliki logika dan nalarnya sendiri.  Jangan pula tanyakan tentang perpisahan, karena kali ini aku sekadar ingin membahas perjumpaan dan pertemuan. Jalan Kaliurang, 21 Maret 2016 Mengutuki hujan yang menderas di luaran. * edited soon, perhaps.

#ReformasiDikorupsi, #GejayanMemanggil, dan Sebagian Postingan yang Tidak Relevan

Gejayan Memanggil 2