Skip to main content

Posts

Showing posts from August, 2013

Toleransi dalam Sebuah Lagu

Aku ingin berjalan bersamamu... dalam hujan dan malam gelap.... "Lagune sopo iki?? Aku ra reti lagune..." (Lagunya siapa ini? Saya tidak tahu lagunya...) kata seorang teman saya yang biasanya sering ikutan kumpul-kumpul di basecamp, entah karena ada yang harus dikerjakan seperti rapat, atau hanya sekadar selo-seloan nongkrong sambil main kartu, merokok, atau minum kopi. Cukup sering memang teman saya yang ini berkomentar tentang musik yang saya putarkan, entah saya putar melalui ponsel maupun laptop. Mungkin dia senyam-senyum sendiri kalau dia baca tulisan ini. Setiap orang punya selera masing-masing tentang musik. Ada tipe orang yang benar-benar mengerti musik hingga genre-genre nya, dan ada pula yang suka musik - musik  random seperti saya. Random di sini bukan berarti musik dengan genre campuran   tidak jelas yang saya sendiri juga tidak mengerti.  Random bagi saya adalah lagu-lagu yang saya temukan secara acak, entah dari streamingan , soundtrack film, atau dari

Racun Serangga (part 2)

cerita sebelumnya... Suasana rumah sakit cukup ramai, meski keramaian ini tidak bisa menutupi aura dingin yang menyeruak. Semua orang tahu bahwa rumah sakit bukan merupakan tempat yang nyaman bagi banyak orang, termasuk bagiku sendiri. Pekerjaanku memang menuntutku untuk sering mengunjungi rumah sakit demi penyelidikan atas kasus yang kutangani. Meski begitu, aku tidak pernah merasa terbiasa apalagi nyaman dengan tempat semacam ini. Aku melangkah, mencari sosok Adrianna di deretan orang-orang yang tengah duduk di bangku-bangku panjang sambil mengenggam dua papercup  berisi kopi manis hangat. Samar-samar, aku bisa membayangkan wajahnya yang terlihat dalam foto-foto di tempat kejadian tadi. Aku melihatnya. Duduk sendirian dengan perasaan yang tidak dapat kugambarkan dengan tepat. Raut wajahnya memancarkan kesedihan. Dia tampak terguncang. Kusodorkan kopi yang kubawa kepadanya sambil memperkenalkan diriku. "Adrianna? Perkenalkan, aku Valerie. Panggil saja Val." kataku. Ke

Tipe-tipe Penikung

Jalan itu tidak selamanya lurus, karena   hidup penuh liku-liku, ada suka ada duka. Semua insan pasti pernah merasakannya. Begitu yang pernah saya dengar dari sebuah lagu dangdut yang diputar di suatu tempat dan saya lupa dimana. Yang pasti lirik tersebut cukup menempel di ingatan saya. Iya, yang namanya hidup memang udah ada jalannya dan jalan tersebut juga tidak selamanya lurus atau  aspalan.  Keberadaan tikungan, belokan atau persimpangan jalan membuat kita harus memiliki kemampuan dalam hal tikung-menikung. Meski demikian, tidak semua manusia menghadapi tikungan dengan cara yang sama. Tidak heran, karena memang tiap-tiap manusia punya pengalaman yang bermacam-macam pula. Berikut tipe-tipe manusia dalam menghadapi tikungan. image from 9gag 1. Penikung limbung . Penikung tipe ini adalah mereka yang sedang berada dalam tahap coba-coba menyelami dunia pertikungan. Mereka belum terbiasa nikung sehingga tidak heran apabila mereka masih limbung alias mengalami kegoyahan

Lelaki yang tidak dinamis

sebelumnya ... Vanilla latte di cangkir  Alerta yang masih setengah penuh menjadi semakin dingin, menyamakan suhu dengan udara di luar ruangan. Sebenarnya malam ini cukup indah. Bulan terlihat begitu jelas , bulat penuh, dan berbinar. Sayang, perasaan Alerta tidak begitu baik. Segalanya tidak seindah yang dilihat orang-orang kebanyakan. Orang-orang yang antusias memandang bulan bulat penuh nan berbinar sembari mengabadikannya dengan jepretan kamera atau dengan memori di kepala. Ponsel Alerta bergetar sebentar, tanda ada pesan masuk . Dilihatnya sekilas.Darren. Lelaki yang baru saja ia bicarakan dengan Hans ternyata mengirim pesan singkat. Alerta tampak malas menanggapinya dan menunjukkan pesan singkat yang isinya hanya basa-basi itu pada Hans. " Nih.. Panjang umur. Barusan diomongin, udah sms aja." kata alerta sambil menyodorkan ponselnya. Hans menerimanya, mencermati pesan singkat dari Darren ke Alerta tanpa berkomentar. Lagipula komentarnya tidak akan mempengaruhi k

Racun Serangga (part1)

Sore ini sedikit berawan ketika aku tengah menikmati waktu istirahatku yang singkat dengan menghisap sebatang rokok. Jadwalku cukup padat akhir-akhir ini karena terlalu banyak kasus yang harus aku tangani. Aku harus berhadapan dengan kasus kriminal yang tidak pernah ada habisnya. Sebagian besar kasus tersebut berakhir dengan korban jiwa. Entah pencurian, penculikan, atau apa, pembunuhan dan kematian sepertinya menjadi tujuan akhirnya. Entah pembunuhan tersebut sengaja atau tidak disengaja, direncana atau tidak direncana. Intinya, hampir sebagian besar kasus yang kutangani berkaitan dengan orang mati. Ponselku berdering. Sebuah panggilan dari nomer rekan kerjaku. Sepertinya ada pekerjaan yang kembali harus kuurus.  "Halo.. ada kasus apa lagi kali ini?" tanyaku "Ada orang mati. Lagi-lagi..." kata suara di seberang telepon. Seorang rekan kerja bernama Ben. "Pembunuhan? terkait penculikan atau pencurian?" tanyaku lagi "Sepertinya bukan.

Tempat Tidurku adalah Mesin Waktu

Tempat tidurku dan seperangkatnya adalah mesin waktu Di atas sini,waktu berjalan semaunya sendiri Bahkan aku tidak bisa mengatur lajunya, cepat-lambatnya Udara dingin merambat, mendukungku untuk meringkuk dengan selimut yang semakin erat menjerat Sesekali kulihat penunjuk waktu, lima menit lagi aku harus sudah bersiap pergi Waktu masih berjalan lambat,tak terasa lima menit lewat Kemudian lima menit selanjutnya juga lewat Lima menit kali empat, berlipat.. lipat.. berkali-kali lipat... Waktu benar-benar terasa lambat, padahal banyak hal terlanjur terlewat Tempat tidurku adalah mesin waktu Besok pagi aku harus bangun pagi Tapi mesin waktuku ini seakan tak mau membantuku melesat cepat Enggan membuaiku agar segera terlelap dalam tidurku Waktu terasa lambat, sungguh-sungguh lambat Mungkin besok aku akan bangun terlambat