cerita sebelumnya...
Suasana rumah sakit cukup ramai, meski keramaian ini tidak bisa menutupi aura dingin yang menyeruak. Semua orang tahu bahwa rumah sakit bukan merupakan tempat yang nyaman bagi banyak orang, termasuk bagiku sendiri. Pekerjaanku memang menuntutku untuk sering mengunjungi rumah sakit demi penyelidikan atas kasus yang kutangani. Meski begitu, aku tidak pernah merasa terbiasa apalagi nyaman dengan tempat semacam ini.
Aku melangkah, mencari sosok Adrianna di deretan orang-orang yang tengah duduk di bangku-bangku panjang sambil mengenggam dua papercup berisi kopi manis hangat. Samar-samar, aku bisa membayangkan wajahnya yang terlihat dalam foto-foto di tempat kejadian tadi. Aku melihatnya. Duduk sendirian dengan perasaan yang tidak dapat kugambarkan dengan tepat. Raut wajahnya memancarkan kesedihan. Dia tampak terguncang. Kusodorkan kopi yang kubawa kepadanya sambil memperkenalkan diriku.
"Adrianna? Perkenalkan, aku Valerie. Panggil saja Val." kataku. Kemudian aku duduk disampingnya, dan menunjukkan tanda pengenalku. Dia memandangku sekilas dengan mata sedihnya yang mengajakku untuk bersimpati kepadanya dan membuatku kehilangan kata-kata yang sedari tadi kususun untuk menenangkan hatinya. Jemarinya yang dingin kemudian mengenggam papercup berisi kopi manis hangat yang kuberikan. Aku terdiam sesaat, menunggu waktu yang tepat untuk mengorek informasi tentang saudarinya yang telah tewas.
"Mungkin ada yang ingin kamu ceritakan? tentang... Arianna?" tanyaku dengan hati-hati. Hening. Kami sama-sama diam untuk beberapa menit. Aku memandanginya. Mencoba mengamati setiap perubahan yang terjadi dalam raut wajahnya.
"Aku tidak bermaksud membunuhnya." kata Adrianna. Deg. Aku terkesiap namun tetap mencoba untuk tenang. Aku tidak yakin dengan apa yang dikatakan Adrianna. Mungkin aku salah dengar.
"Maksud kamu?" tanyaku. Suaraku terasa sedikit bergetar.
"Aku dan Arianna adalah saudara yang menurutku sempurna. Kami sangat dekat karena memang kami hanya tinggal berdua semenjak kedua orangtua kami meninggal dalam sebuah kecelakaan.Sebagai saudara, kami selalu berbagi apapun yang kami punya, termasuk rahasia. Kami saling membutuhkan dan berjanji untuk tidak pernah meninggalkan satu sama lain..." kata Adrianna yang kemudian menghela napas, mencoba melepaskan segala yang bisa dia ungkapkan. Aku masih menyimak ucapannya sembari berusaha untuk menyusun kata-kata yang tepat untuk menanggapinya. Tapi, mendengarkan ceritanya secara seksama tanpa memotongnya sepertinya jauh lebih baik.
"Tapi.. beberapa bulan ini.dia berubah. Dia terlalu sibuk dengan dunianya, dengan lelakinya. Lelaki yang bahkan belum terlalu lama dia kenal, meskipun aku yakin lelaki itu adalah lelaki yang baik baik karena aku pernah beberapa kali bertemu dengannya... " Adrianna masih terus berbicara. Berbagai spekulasi melintas di kepalaku. Apakan Adrianna cemburu karena si lelaki mendapat perhatian lebih dari kakaknya?? Ataukah justru laki-laki tersebut juga telah merebut hati Adrianna?? Apakah mereka berdua mencintai lelaki yang sama, namun Adrianna memilih untuk memendamnya dari kakaknya??
"Aku merasa kehilangan kakakku sekaligus orang terdekatku. Satu-satunya orang yang kumiliki. Dia masih kakak yang baik, tapi tidak pernah sebaik dulu." katanya lagi. Aku masih berusaha mencerna setiap kata yang Adrianna ucapkan.
"Lantas... kenapa kamu memberinya racun serangga?" tanyaku. Pertanyaan itu tiba-tiba saja meluncur dari mulutku, entah kenapa. Sepertinya rasa penasaranku muncul di saat yang kurang tepat. Aku hanya penasaran, kenapa dia tidak menggunakan racun jenis lain saja? Racun tikus, misalnya?? Aku mencoba menerka reaksinya dan dia lagi-lagi menghela napasnya.
"Teman-teman sekolahku bilang, itu adalah ulah kupu-kupu di perutnya. Kakakku tengah jatuh cinta pada lelaki itu. Orang bilang, ketika jatuh cinta, akan ada kupu-kupu yang beterbangan di dalam perut, entah bagaimana bentuknya. Kupu-kupu itulah yang membuatnya jadi berubah jadi begini, bertingkah aneh dan tidak napsu makan . Aku tidak suka dia begini. Aku sangat khawatir pada kakakku. Mereka harus mati. Mereka... kupu-kupu itu.. bukan kakakku !!" kata Adrianna lagi, sedikit terisak . Mata sedihnya berkaca-kaca sementara aku mulai sedikit mengerti jalan pikirannya.
"Sudahlah.. semuanya sudah terlanjur lewat.. " kataku... berusaha untuk terdengar simpati. Air matanya mengalir makin deras sementara jemarinya masih menggenggam papercup berisi kopi yang sudah mulai dingin dan sedari tadi belum diminumnya.
"Aku menyesal.. sungguh-sungguh menyesal. Tangkap saja aku sekarang. Aku bahkan rela ikut mati juga. Aku tidak bisa hidup tanpa Arianna. Dia satu-satunya orang yang kumiliki dan kupercaya..." tangisnya makin meledak. Wajahnya tampak pucat dan tubuhnya menjadi lemah. Kuputuskan untuk menghubungi seorang perawat untuk menjaganya sebelum rasa kasihan ini terlalu mendominasi dan membuatku justru melindunginya. Aku tidak ingin melindungi seorang pembunuh, apapun alasannya.
"Adrianna.. Ada beberapa hal yang harus aku urus. Nanti akan ada yang menjemputmu. Sekarang, sama suster dulu ya. Sepertinya kamu butuh oksigen." kataku padanya. Adrianna mengangguk lemah.
"Sus.. saya titip dia, ya.. Nanti dia dijemput temen saya yang namanya Ben. Makasih, sus." kataku pada si perawat.
"Oke. Sama-sama." kata si perawat.
Aku melangkah keluar dari rumahsakit. Aku masih tidak percaya dengan kasus yang kutangani kali ini. Aku paham logika Adrianna. Tapi, kenapa dia tidak bunuh saja lelakinya?? Apakah dia sebenarnya tidak ingin menyakiti apalagi membunuh oranglain?? Ataukah semua ini hanyalah kebohongan?? Bukan. Semua yang Adrinna bilang bukanlah kebohongan. Aku sudah terlatih untuk membaca kebohongan lewat mata seseorang. Bahkan sepersekian detikpun aku tidak melihat kebohongan yang tersirat dalam tatapannya. Tiba-tiba ponselku berdering.
" Val... Aku menemukan sidik jari Adrianna di barang-barang bukti pembunuhan. Wajar, sepertinya karena mereka hanya tinggal berdua. Tapi sidik jarinya terlalu banyak. Ini mencurigakan." kata Ben. Aku masih diam.
"Mungkin saja dia pelakunya!! ... Val?? do you hear me? " suara Ben terdengar cemas.
" Segera jemput saja dia. Jemput Adrianna di rumah sakit. Aku sudah tahu semuanya." kataku datar sambil mematikan ponselku dan beranjak pergi.
Aku melangkah, mencari sosok Adrianna di deretan orang-orang yang tengah duduk di bangku-bangku panjang sambil mengenggam dua papercup berisi kopi manis hangat. Samar-samar, aku bisa membayangkan wajahnya yang terlihat dalam foto-foto di tempat kejadian tadi. Aku melihatnya. Duduk sendirian dengan perasaan yang tidak dapat kugambarkan dengan tepat. Raut wajahnya memancarkan kesedihan. Dia tampak terguncang. Kusodorkan kopi yang kubawa kepadanya sambil memperkenalkan diriku.
"Adrianna? Perkenalkan, aku Valerie. Panggil saja Val." kataku. Kemudian aku duduk disampingnya, dan menunjukkan tanda pengenalku. Dia memandangku sekilas dengan mata sedihnya yang mengajakku untuk bersimpati kepadanya dan membuatku kehilangan kata-kata yang sedari tadi kususun untuk menenangkan hatinya. Jemarinya yang dingin kemudian mengenggam papercup berisi kopi manis hangat yang kuberikan. Aku terdiam sesaat, menunggu waktu yang tepat untuk mengorek informasi tentang saudarinya yang telah tewas.
"Mungkin ada yang ingin kamu ceritakan? tentang... Arianna?" tanyaku dengan hati-hati. Hening. Kami sama-sama diam untuk beberapa menit. Aku memandanginya. Mencoba mengamati setiap perubahan yang terjadi dalam raut wajahnya.
"Aku tidak bermaksud membunuhnya." kata Adrianna. Deg. Aku terkesiap namun tetap mencoba untuk tenang. Aku tidak yakin dengan apa yang dikatakan Adrianna. Mungkin aku salah dengar.
"Maksud kamu?" tanyaku. Suaraku terasa sedikit bergetar.
"Aku dan Arianna adalah saudara yang menurutku sempurna. Kami sangat dekat karena memang kami hanya tinggal berdua semenjak kedua orangtua kami meninggal dalam sebuah kecelakaan.Sebagai saudara, kami selalu berbagi apapun yang kami punya, termasuk rahasia. Kami saling membutuhkan dan berjanji untuk tidak pernah meninggalkan satu sama lain..." kata Adrianna yang kemudian menghela napas, mencoba melepaskan segala yang bisa dia ungkapkan. Aku masih menyimak ucapannya sembari berusaha untuk menyusun kata-kata yang tepat untuk menanggapinya. Tapi, mendengarkan ceritanya secara seksama tanpa memotongnya sepertinya jauh lebih baik.
"Tapi.. beberapa bulan ini.dia berubah. Dia terlalu sibuk dengan dunianya, dengan lelakinya. Lelaki yang bahkan belum terlalu lama dia kenal, meskipun aku yakin lelaki itu adalah lelaki yang baik baik karena aku pernah beberapa kali bertemu dengannya... " Adrianna masih terus berbicara. Berbagai spekulasi melintas di kepalaku. Apakan Adrianna cemburu karena si lelaki mendapat perhatian lebih dari kakaknya?? Ataukah justru laki-laki tersebut juga telah merebut hati Adrianna?? Apakah mereka berdua mencintai lelaki yang sama, namun Adrianna memilih untuk memendamnya dari kakaknya??
"Aku merasa kehilangan kakakku sekaligus orang terdekatku. Satu-satunya orang yang kumiliki. Dia masih kakak yang baik, tapi tidak pernah sebaik dulu." katanya lagi. Aku masih berusaha mencerna setiap kata yang Adrianna ucapkan.
"Lantas... kenapa kamu memberinya racun serangga?" tanyaku. Pertanyaan itu tiba-tiba saja meluncur dari mulutku, entah kenapa. Sepertinya rasa penasaranku muncul di saat yang kurang tepat. Aku hanya penasaran, kenapa dia tidak menggunakan racun jenis lain saja? Racun tikus, misalnya?? Aku mencoba menerka reaksinya dan dia lagi-lagi menghela napasnya.
"Teman-teman sekolahku bilang, itu adalah ulah kupu-kupu di perutnya. Kakakku tengah jatuh cinta pada lelaki itu. Orang bilang, ketika jatuh cinta, akan ada kupu-kupu yang beterbangan di dalam perut, entah bagaimana bentuknya. Kupu-kupu itulah yang membuatnya jadi berubah jadi begini, bertingkah aneh dan tidak napsu makan . Aku tidak suka dia begini. Aku sangat khawatir pada kakakku. Mereka harus mati. Mereka... kupu-kupu itu.. bukan kakakku !!" kata Adrianna lagi, sedikit terisak . Mata sedihnya berkaca-kaca sementara aku mulai sedikit mengerti jalan pikirannya.
"Sudahlah.. semuanya sudah terlanjur lewat.. " kataku... berusaha untuk terdengar simpati. Air matanya mengalir makin deras sementara jemarinya masih menggenggam papercup berisi kopi yang sudah mulai dingin dan sedari tadi belum diminumnya.
"Aku menyesal.. sungguh-sungguh menyesal. Tangkap saja aku sekarang. Aku bahkan rela ikut mati juga. Aku tidak bisa hidup tanpa Arianna. Dia satu-satunya orang yang kumiliki dan kupercaya..." tangisnya makin meledak. Wajahnya tampak pucat dan tubuhnya menjadi lemah. Kuputuskan untuk menghubungi seorang perawat untuk menjaganya sebelum rasa kasihan ini terlalu mendominasi dan membuatku justru melindunginya. Aku tidak ingin melindungi seorang pembunuh, apapun alasannya.
"Adrianna.. Ada beberapa hal yang harus aku urus. Nanti akan ada yang menjemputmu. Sekarang, sama suster dulu ya. Sepertinya kamu butuh oksigen." kataku padanya. Adrianna mengangguk lemah.
"Sus.. saya titip dia, ya.. Nanti dia dijemput temen saya yang namanya Ben. Makasih, sus." kataku pada si perawat.
"Oke. Sama-sama." kata si perawat.
Aku melangkah keluar dari rumahsakit. Aku masih tidak percaya dengan kasus yang kutangani kali ini. Aku paham logika Adrianna. Tapi, kenapa dia tidak bunuh saja lelakinya?? Apakah dia sebenarnya tidak ingin menyakiti apalagi membunuh oranglain?? Ataukah semua ini hanyalah kebohongan?? Bukan. Semua yang Adrinna bilang bukanlah kebohongan. Aku sudah terlatih untuk membaca kebohongan lewat mata seseorang. Bahkan sepersekian detikpun aku tidak melihat kebohongan yang tersirat dalam tatapannya. Tiba-tiba ponselku berdering.
" Val... Aku menemukan sidik jari Adrianna di barang-barang bukti pembunuhan. Wajar, sepertinya karena mereka hanya tinggal berdua. Tapi sidik jarinya terlalu banyak. Ini mencurigakan." kata Ben. Aku masih diam.
"Mungkin saja dia pelakunya!! ... Val?? do you hear me? " suara Ben terdengar cemas.
" Segera jemput saja dia. Jemput Adrianna di rumah sakit. Aku sudah tahu semuanya." kataku datar sambil mematikan ponselku dan beranjak pergi.
Comments
Post a Comment