Skip to main content

Toleransi dalam Sebuah Lagu

Aku ingin berjalan bersamamu... dalam hujan dan malam gelap....

"Lagune sopo iki?? Aku ra reti lagune..." (Lagunya siapa ini? Saya tidak tahu lagunya...) kata seorang teman saya yang biasanya sering ikutan kumpul-kumpul di basecamp, entah karena ada yang harus dikerjakan seperti rapat, atau hanya sekadar selo-seloan nongkrong sambil main kartu, merokok, atau minum kopi. Cukup sering memang teman saya yang ini berkomentar tentang musik yang saya putarkan, entah saya putar melalui ponsel maupun laptop. Mungkin dia senyam-senyum sendiri kalau dia baca tulisan ini.

Setiap orang punya selera masing-masing tentang musik. Ada tipe orang yang benar-benar mengerti musik hingga genre-genrenya, dan ada pula yang suka musik-musik random seperti saya. Random di sini bukan berarti musik dengan genre campuran tidak jelas yang saya sendiri juga tidak mengerti. Random bagi saya adalah lagu-lagu yang saya temukan secara acak, entah dari streamingan, soundtrack film, atau dari teman, salahsatunya teman yang tadi saya singgung di atas .Saya akui memang teman saya tersebut punya selera yang cukup asik dalam musik. Beberapa folder berisi lagu-lagu di laptop saya bahkan berasal dari dia atau saya download sendiri berdasarkan rekomendasi.

Mendengarkan "musik orang"  bisa jadi merupakan suatu bentuk toleransi, terlebih apabila musik tersebut berbeda aliran dengan yang biasa kita perdengarkan.  Anggap saja "musik orang" yang kita dengar merupakan curahan hati si orang tersebut. Yang namanya curhatan, kadang kalau kita tidak terlalu paham, ya sudah, coba saja dengarkan. Siapa tahu dengan begitu kamu bisa lebih mengerti jalan pikirannya. Itu dari sisi pendengar sih karena toh biasanya lagu diputar dengan pengeras suara sehingga semua orang dalam ruangan bisa mendengarkan lagu tersebut. Seperti yang saya bilang tadi -seperti curhat-, mereka yang ada di ruangan, entah memperhatikan atau tidak, pasti bisa mendengar apa yang kamu ceritakan. 

Kalau dari sisi "yang punya lagu" buat diputar, toleransi bisa jadi merupakan pemilihan lagu yang diputar. Memilih lagu yang sebagian besar orang tahu bisa membuat semua orang di ruangan bisa menikmati lagu tersebut. Memutar lagu yang banyak orang tahu ibarat menceritakan hal-hal yang tidak terlalu personal sehingga semuanya bisa lebih terlibat dalam pembicaraan. Kalau bagi saya, ini juga merupakan suatu bentuk toleransi karena membuat semua orang yang ikut mendengarkan jadi merasa lebih dihargai, bisa ikutan nyanyi bareng. Tapi, tidak ada salahnya juga kalau ingin memutar lagu-lagu yang mungkin tidak terlalu familiar di telinga banyak orang. Siapa tahu ternyata kita juga suka lagunya . Siapa tahu.




Comments

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan Tentang (Kedai) Kopi Yang Coba Saya Jawab Sendiri

Smile coffee and tea Beberapa juta tahun cahaya yang lalu, saya sempat menulis mengenai enam pertimbangan dalam memilih tempat untuk nongkrong . Belakangan saya sadar, sebagian besar tongkrongan saya adalah kedai kopi, atau paling tidak menyediakan kopi dalam daftar menunya. Saya sadar, belakangan kedai kopi di Jogja kian menjamur seperti tugas akhir yang saya biarkan menganggur ketika menulis postingan ini. Sebelumnya, saya ingin meluruskan bahwa saya bukanlah seorang coffee snob  , pendekar, atau apapun itu yang paham fafifu soal perkopian. Hamba sekadar mahasiswa yang butuh ruang yang nyaman untuk bersosialisasi maupun berindividualisasi. Sebagai seorang yang bukan ekstrovert dan nggak introvert-introvert amat, kedai kopi adalah tempat yang sesuai bagi saya untuk sekadar mojok dewean, menulis sesuatu, atau iseng baca webtoon dan yutuban.  Sejujurnya saya merasa postingan ini agak tolol. Kalau mau, bisa saja saya wawancara orang yang betul-betul paham soal kopi. Tapi, toh

Pertemuan dan Perjumpaan

Entah kenapa aku merasakan perbedaan antara pertemuan dan perjumpaan.  Rasaku bilang: pertemuan menyiratkan sebuah perjanjian, kesepakatan. Pertemuan sarat akan unsur kesengajaan. Bentuk-bentuk intimasi serta kepentingan turut terlibat, erat dan mengikat. Rasaku berucap: perjumpaan merupakan pertemuan yang tak direncanakan. Perjumpaan lebih mengatasnamakan takdir, ketidak sengajaan,  Tolong, jangan mintan penjelasan kenapa rasaku tak bisa menyamakan antara pertemuan dan perjumpaan. Aku bukan anak linguistik, atau manusia yang sehari-hari bergelut dengan ketatabahasaan. Rasaku memiliki logika dan nalarnya sendiri.  Jangan pula tanyakan tentang perpisahan, karena kali ini aku sekadar ingin membahas perjumpaan dan pertemuan. Jalan Kaliurang, 21 Maret 2016 Mengutuki hujan yang menderas di luaran. * edited soon, perhaps.

#ReformasiDikorupsi, #GejayanMemanggil, dan Sebagian Postingan yang Tidak Relevan

Gejayan Memanggil 2