Gejayan Memanggil 2
Dalam
beragam rupa media sosial seperti twitter maupun instagram, hashtag alias
tagar dikenal sebagai salah satu fitur untuk menemukan postingan-postingan
dengan topik yang spesifik. Keberadaan tagar memang memudahkan pengguna media
sosial untuk menyimak topik-topik tertentu dan menjadi salah satu elemen
penting dalam penyebarluasan suatu campaign. Sebut saja tagar
#GejayanMemanggil atau #ReformasiDikorupsi yang belum lama ini mencuat sebagai
penanda suatu gerakan yang bertujuan untuk mengkritisi pemerintah. Berdasarkan
penelusuran saya ketika tulisan ini dibuat, tagar #ReformasiDikorupsi bahkan
mencapai 19 ribu postingan di instagram. Sementara untuk tagar
#GejayanMemanggil menandai lebih dari 11 ribu postingan di instagram. Sayangnya,
ketika menelusur tagar-tagar tersebut (masih lewat instagram), tidak semua
postingan yang saya temukan relevan dan sejalan dengan keresahan yang diusung.
Sarkasme
yang Masuk Akal atau Sekadar Numpang Tenar
Manakala
membincang generasi yang memutuskan untuk turun ke jalan dalam aksi
#ReformasiDikorupsi pada akhir September lalu, kita tentu tidak serta-merta
dapat menyamaratakannya dengan aksi yang terjadi pada tahun ’98. Lepas dari
keresahan macam apa yang disampaikan dengan turun ke kawasan Senayan,
karakteristik ‘aktivis’ ’98 dan 2019 tentu tak dapat dipandang sama persis.
Mahasiswa
masa kini berbicara dengan “bahasa” yang berbeda, jauh dari istilah harfiah.
Tengok saja poster-poster unik yang mereka bentangkan di atas kepala sembari
berjalan dalam kerumunan. Sebut saja poster yang cukup menyentil lantaran
bertuliskan “Aku Ingin Yang-yangan Tanpa Takut Ditangkap Polisi” yang menyindir
salah satu pasal bermasalah dalam RUU KUHP terkait perzinahan. Dalam RUU KUHP
pasal 417 ayat 1, dinyatakan bahwa setiap orang yang melakukan persetubuhan
dengan orang selain suami atau istrinya dapat dipidana lantaran dianggap
melakukan perzinaan tanpa mempertimbangkan apabila hubungan tersebut dilakukan
secara konsensual atau tanpa paksaan. Di sisi lain, RUUPKS yang berupaya untuk
melindungi korban kekerasan seksual justru tak kunjung disahkan.
Ada
pula poster bertuliskan “Asline Mager Pol, tapi piye meneh? DPRe PEKOK!!”.(Sebetulnya
Malas Sekali, tapi mau bagaimana lagi?DPR-nya TOLOL!!) Pilihan kata pada
kedua poster yang tadi sempat saya sebutkan cukup sarat dengan unsur sarkasme.
Tujuannya apa lagi kalau bukan untuk mencemooh para anggota dewan (yang katanya
terhormat).
Poster-poster
tersebut (dan poster-poster sejenis lainnya yang sebegitu banyaknya) lantas
menjadi viral di linimasa, lengkap dengan tagar #ReformasiDikorupsi maupun
#GejayanMemanggil. Sayangnya, di samping hiruk-pikuk mahasiswa yang betul-betul
berjuang, tagar tersebut tak luput dari sebagian postingan yang tidak relevan.
Mudahnya, aksi tersebut ditunggangi oleh berbagai pihak yang berkepentingan, meski
hanya sebagian.
Tak
hanya ormas serta politisi, tagar tersebut juga diwarnai oleh postingan random.
Ada foto embak-embak hits (yang bahkan tidak disertai dengan caption
terkait aksi) dengan lokasi foto yang tentunya bukan di Senayan atau lokasi
aksi sejenis yang berlangsung di berbagai kota di Indonesia. Entah si embak-embak
ini ternyata turut turun ke jalan atau tidak, saya rasa menunggangi tagar
semacam itu cukup mennganggu dan mengotori niat baik mereka yang betul-betul
memperjuangkan aspirasi.
Selain
postingan personal, ada pula online shop yang turut mendompleng
popularitas tagar tadi. Produk yang dijajakan tak jauh dari pemutih kulit,
pelangsing tubuh, serta pembesar payudara. Dalam konteks postingan promosi
produk tersebut, tagar #ReformasiDikorupsi pun disejajarkan dengan tagar-tagar sejenis
seperti #hidupmahasiswa dan #tolakrkuhp. Praktik nebeng tagar semacam ini sebetulnya
marak dalam pemasaran melalui media sosial. Akan tetapi, mengingat fungsi tagar
adalah untuk membuat pengguna kian mudah menemukan topik tertentu, tentu
tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai “jebakan betmen” alias sekadar
numpang tenar. Cuma bikin kotor saja.
Mendukung
Tak Melulu Perlu Pasang Tagar
Banyaknya
mahasiswa yang rela terjun langsung ke jalan terkait aksi #ReformasiDikorupsi ,
#GejayanMemanggil, serta aksi-aksi sejenis di berbagai kota menunjukkan
bahwasanya generasi muda masih peduli terhadap masa depan bangsanya sendiri. Namun
demikian, keputusan untuk tidak turut menyebarluaskan informasi terkait
aksi-aksi tersebut tentu sepenuhnya berada di tangan individu. Bisa jadi memang
ada individu (jika tidak boleh menyebut oknum) yang sama sekali tidak merasa
terusik dengan isu-isu yang telanjur naik. Bisa jadi para individu tersebut
merasa berhutang budi pada negara lantaran dibesarkan oleh para orang tua yang
mengabdi kepada negara. Para individu yang merasakan privilege tertentu
sehingga pasal-pasal yang dipermasalahkan seakan tidak akan menyentuh mereka di
kemudian hari. Lebih-lebih menyentuh hati nurani.
Pun
bagi mereka yang berniat mendukung, namun tak cukup bernyali untuk terjun
langsung atau memang kebetulan tak ada waktu luang, masih banyak yang bisa
dilakukan selain turut memajang tagar. Entah dengan cara berdonasi,
menyemangati sembari menyanyakan keadaan pada teman terdekat yang turut dalam
aksi, maupun me-report postingan-postingan hoax. Terlebih
postingan-postingan hoax yang menggunakan tagar tertentu hanya demi numpang
tenar.
Sumber:
|
Comments
Post a Comment