"Kamu mengenal Sore?? tanya Benjamin pada Mira.
"Maksudmu? Sore yang mana? Senja??" Mira masih terkantuk-kantuk usai berkutat dengan dateline penyuntingan tulisan-tulisan yang serasa tak pernah usai.
"Tidak, bukan. Senja dan sore tak bisa disamakan. Aku bertanya tentang manusia. Seorang lelaki bernama sore," Benjamin menerangkan.
"Aih, Sore yang itu?? Tentu. Alerta sempat memperkenalkannya padaku."
"Ya... ya... Tunggu, kita sedang membicarakan Alerta yang sama, kan? Aku mengerti, amat jarang seseorang memiliki nama Alerta di muka bumi ini. Tapi, tetap ada kemungkinan kalau kita membicarakan Alerta yang lain." Benjamin meragu.
"Alerta yang mana lagi? Aku cuma kenal satu Alerta, dan... Ah, sudahlah. Bukankah kita akan membicarakan Sore? Lelaki yang suka pergi tanpa pesan, itu?"
"Betul.. Betul... Lelaki yang benar-benar tidak sopan. Tidak menghargai perempuan."
"Iya, paham, Benjamin yang beneran lakik! " singgung Mira, lantas menyesap cokelat panasnya yang suhunya sudah turun mengikuti suhu ruangan lantai dua kofisyop dengan pendingin udara yang tidak bekerja.
"Panggil Ben aja kenapa, sih, Miranda?" Benjamin terdengar kesal. Baginya, hanya ibunya saja yang boleh menyebut namanya secara lengkap.
"Tolong, janggan panggil Miranda. Itu nama kecilku. Aku sudah meninggalkan panggilan lamaku. Sudah pernah kubilang, kan, aku manusia baru sekarang. Aduh, kenapa jadi mempermasalahkan nama, sih? Bukankah kita ingin membicarakan Sore? Jahat betul dia meninggalkan Alerta begitu saja."
"Husssh... Jangan sembarangan bicara tentang orang yang sudah mati. Nanti kalau Sore muncul di mimpimu, bagaimana?"
"Ya, bagaimana lagi? Memang Sore suka seenaknya sendri. Lelaki bebal yang suka tidak rasional itu tidak pernah mau benar-benar mendengarkan Alerta. Kurang baik apa, sih, Alerta? Bisa-bisanya dia menyisihkan sebagian isi otak dan hatinya pada Sore."
"Memangnya, sejauh mana kamu mengenal Sore?"
"Kan aku sudah bilang, tadi. Alerta pernah memperkenalkan Sore padaku. Jelas, aku kenal. Kami bertiga sempat mengobrol mengenai banyak hal."
"Lantas? Kamu rasa kamu mengenalnya?"
"Kamu sendiri, bagaimana, Ben?"
"Sore adalah juniorku waktu sekolah menengah. Asal kamu tahu, Ra, di sekolah kami mewajibkan senior dan junior untuk saling mengenal. Ya, Sore memang bukan sosok yang terlalu terkenal. Tapi, dia memang berbeda dengan teman-temannya. Dia terlalu pendiam, menurutku."
"Lelaki pendiam macam apa yang bisa menceritakan banyak hal padaku dan Alerta?"
"Ya, lelaki macam Sore itu. Semasa sekolah menengah, dia memang tidak suka cari ribut. Lebih memilih cari aman saja."
"Cari aman bagaimana?"
"Kadang kala aku melihat pemberontakan dan pengingkaran dalam matanya yang sendu. Dia diam-diam tidak suka dengan sistem yang dianut sekolah kami. Tapi, kuakui dia suka pamer dengan caranya sendiri."
"Pamer?? Memamerkan khayalan-khayalan absurdnya? Kata Alerta, Sore juga adalah sesosok pencerita?"
"Hmmm... Semacam itulah. Sore memang tidak suka mencari keributan."
Jemari Benjamin meraih rokok kretek di meja, menyelipkan di sela telunjuk dan jari tengah tangan kiri, lantas menyalakan pemantik warna biru muda yang sudah berlabelkan Standar Nasional Indonesia. Mira diam saja, memandang lurus kepada Benjamin. Berusaha membaca sorot matanya yang selalu tampak teduh, meski dengan ekspresi datar sekalipun. Bibir Mira kembali menyesap secangkir cokelat yang isinya tak sampai setengah.
"Aku cemburu sama Sore," ungkap Benjamin tiba-tiba, sembari menghembuskan asap rokoknya ke udara. Cokelat panas yang terlanjur mengalir ke kerongkongan Mira nyaris tersembur karena kaget sekaligus menahan tawa.
"Jangan cemburu sama orang mati. Nanti kalau Sore hadir di mimpimu, bagaimana?" seloroh Mira. Benjamin mengisap rokok di tangannya. Dalam, Membiarkan zat-zat beracunnya memenuhi kerongkongan, lantas membiarkan asapnya mengalir melalui hidung bersama hembusan napas panjang. Matanya masih tampak teduh dan tenang, namun tersirat segelintir rasa kesal. Sejenak mereka berdua diam. Membiarkan lantunan sebuah lagu berjudul percakapan tangis memenuhi ruangan.
"Bisa-bisanya Alerta menaruh hati pada lelaki macam Sore. Apa sih lebihnya lelaki itu? Apa hanya karena mereka sama-sama suka bercerita? Aku ragu, apakah Sore bahkan layak disebut sebagai pencerita. Yang aku tahu, Sore sangat sering bermain mata dengan banyak wanita dan menuliskan kata-kata puitis buat mereka. Aku nggak suka Alerta menjadi salah satu obyeknya.Aku kenal betul sama Alerta. Perempuan yang amat sangat menjunjung tinggi prinsip kesalingan macam dia tidak seharusnya memiliki tempat khusus untuk Sore!" Benjamin buka suara.
"Lah, terserah Alerta dong? Kamu kira kamu siapanya Alerta? Pacarnya?"
"Walau bagaimanapun, Alerta adalah manusia yang jelas-jelas punya perasaan rawan. Umpatan-umpatan yang kerap ia lontarkan pada Sore sebenarnya juga ditujukan pada dirinya sendiri. Aku paham betul, betapa bebalnya lelaki macam Sore yang tak pernah puas dengan satu perempuan. Aku kasihan pada Alerta"
"Kasihan, atau... Kamu juga ada perasaan?" sorot mata Mira menghujam mata teduh Benjamin. Ben jamin memilih mengalihkan arah pandangan matanya ke arah jendela kaca yang terbuka lebar di belakang Mira.
"Mungkin... Entahlah..." Benjamin bergumam perlahan.
Comments
Post a Comment