Skip to main content

Beauty is Pain (Jare)




"Ren... Mencetin jerawat itu termasuk selfharming, nggak?"
 Sebaris pesan terpampang pada layar ponsel Darren. Jam pada aplikasi percakapan menunjukkan waktu telah berlalu dua jam lebih lewat tengah malam. Darren masih belum tidur. Matanya masih menelusur layar laptopnya, membaca komik bergenre thriller via webtoon.


"Tergantung apa tujuanmu"
"Mbok apa-apa jangan melulu diartikan secara harafiah, to.."  
Hanya butuh limabelas detik bagi Darren mengetik jawaban, namun baru terbaca di layar ponsel Alerta limabelas menit kemudian. Maklum, susah sinyal.


"Tapikan, mencetin jerawat itu sakiiiit..."
"Tapitapi.... beauty is pain, jare..."
Dua baris balasan Alerta membuat kedua ujung bibir Darren tertarik sesaat. Sepintas Darren mengenang, bisa-bisanya dia betah berteman dengan perempuan macam Alerta. Semblilan tahun mereka bersekolah di kelas yang sama, Alerta tampak sudah banyak berubah. Meski sempat hilang kontak semasa kuliah, kemageran Alerta mengganti nomor ponselnya sejak SMP tak pelak mempermudah Darren kembali menjalin relasi dengannya. Maklum, dulu belum marak smartphone macam sekarang. Entah kenapa, Alerta masih saja mau merespon manakala Darren mengontaknya. Padahal, yang Darren dengar, Alerta sempat menjaga jarak dengan sebagian orang yang sama-sama mereka kenal semasa sekolah.


"Tapi, tujuan akhir dari memencet jerawat bukan untuk mencari rasa sakit"
"Malah biar jadi bersih"
"Berarti, mba-mba facial yang di salon itu kamu anggap tukang nyakitin orang?"
Dengan tangkas Darren menekan tombol send, sementara Alerta terdeteksi typing.


"Hmm... "
"Iyaaaa, tauk yang nggak jerawatan"
"Ehtapi...."



"Hmm?"
Darren mengetik, mulai  mengantuk, tapi masih penasaran dengan respon Alerta. Pertanyaan absurd apa lagi yang akan ia utarakan.


"Kok rasanya nggak adil kalau aku tanya soal jerawat.."
"Gini... Kalau nyabutin bulu hidung, termasuk selfharm...
Belum sempat Alerta menekan tombol send, terdengar adzan subuh berkumandang. Padahal, Alerta masih juga belum pulang sejak petang. Dia masih duduk sendirian di sebuah bangku taman yang remang. Rekan-rekan satu tongkrongan Alerta sudah sejam lebih pulang, meski Alerta kerap meragukan definisi pulang bagi mereka masing-masing. Entah menuju ke alamat yang tertera di kartu tanda penduduk, atau tempat manapun yang bersedia menampung mereka merebahkan diri, atau bahkan menemani mereka tidur.
"Darren sudah tidak online. Mungkin sudah tidur..." gumam Alerta pada dirinya sendiri, sembari menyalakan sebatang rokok kretek' tjap kamboja kuning 'di sela jemari kirinya, lantas membiarkan layar ponselnya terkunci otomatis.

Comments

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan Tentang (Kedai) Kopi Yang Coba Saya Jawab Sendiri

Smile coffee and tea Beberapa juta tahun cahaya yang lalu, saya sempat menulis mengenai enam pertimbangan dalam memilih tempat untuk nongkrong . Belakangan saya sadar, sebagian besar tongkrongan saya adalah kedai kopi, atau paling tidak menyediakan kopi dalam daftar menunya. Saya sadar, belakangan kedai kopi di Jogja kian menjamur seperti tugas akhir yang saya biarkan menganggur ketika menulis postingan ini. Sebelumnya, saya ingin meluruskan bahwa saya bukanlah seorang coffee snob  , pendekar, atau apapun itu yang paham fafifu soal perkopian. Hamba sekadar mahasiswa yang butuh ruang yang nyaman untuk bersosialisasi maupun berindividualisasi. Sebagai seorang yang bukan ekstrovert dan nggak introvert-introvert amat, kedai kopi adalah tempat yang sesuai bagi saya untuk sekadar mojok dewean, menulis sesuatu, atau iseng baca webtoon dan yutuban.  Sejujurnya saya merasa postingan ini agak tolol. Kalau mau, bisa saja saya wawancara orang yang betul-betul paham soal kopi. ...

Pertemuan dan Perjumpaan

Entah kenapa aku merasakan perbedaan antara pertemuan dan perjumpaan.  Rasaku bilang: pertemuan menyiratkan sebuah perjanjian, kesepakatan. Pertemuan sarat akan unsur kesengajaan. Bentuk-bentuk intimasi serta kepentingan turut terlibat, erat dan mengikat. Rasaku berucap: perjumpaan merupakan pertemuan yang tak direncanakan. Perjumpaan lebih mengatasnamakan takdir, ketidak sengajaan,  Tolong, jangan mintan penjelasan kenapa rasaku tak bisa menyamakan antara pertemuan dan perjumpaan. Aku bukan anak linguistik, atau manusia yang sehari-hari bergelut dengan ketatabahasaan. Rasaku memiliki logika dan nalarnya sendiri.  Jangan pula tanyakan tentang perpisahan, karena kali ini aku sekadar ingin membahas perjumpaan dan pertemuan. Jalan Kaliurang, 21 Maret 2016 Mengutuki hujan yang menderas di luaran. * edited soon, perhaps.

Pepe

Sore tadi, demi mengerjakan tugas, saya pergi ke kantor pos pusat di kawasan malioboro bersama wiwin, revul, dan azan. Niat awal kami memang untuk melengkapi tugas, tapi sayang customer service nya tutup jam tiga sore, dan kami baru tiba sekitar jam empat. Karena memang tidak mau rugi sudah sampai di sekitaran malioboro, kami memutuskan untuk jalan-jalan. Pada mulanya kami bingung mau kemana, tapi kemudian kami memutuskan untuk pergi ke mirota batik.  Di perjalanan, tepatnya di daerah sekitar benteng vredeburg, kami menemukan banyak pedagang yang menggelar lapaknya di trotoar. Kebanyakan merupakan ibu-ibu penjual sate limaribuan. Beberapa saat kemudian ada orang yang berkata bahwa ada satpol pp. Beberapa pedagang buru-buru membereskan dagangannya. Saya mencari petugas yang dimaksud, namun saya tidak bisa menemukannya. Jadilah kami melanjutkan perjalanan ke mirota. Sepulang dari mirota batik, kami kembali melewati jalan yang sama dan mampir untuk membeli wedang ronde. Kali ini ...