Skip to main content

Bagaimana Rasanya Pacaran Dengan Seorang Pahlawan Super (Part 1)



Mendung tampak menggantung murung di hari rabu siang itu. Miranda tengah melangkah menuju lantai tertinggi sebuah gedung perpustakaan tua, menanti seorang responden yang harus diwawancarainya. Seorang perempuan muda yang mengaku kerap berkunjung ke perpustakaan tua ini untuk mencari sepi. Sebagai pewawancara yang baik, Miranda memilih untuk meng-iya-kan saja lokasi pertemuan mereka. Ada baiknya juga bertemu di tempat yang familiar bagi responden sehingga membuatnya lebih rileks dan nyaman manakala menjawab pertanyaan-pertanyaan yang hendak diajukan. Terlebih, perpustakaan tua tersebut konon kabarnya memang sepi. Miranda tak perlu khawatir apabila hasil rekaman wawancara tertimpa suara-suara manusia-manusia lain yang menganggu.

Miranda sebetulnya sudah beberapa kali mengunjungi perpustakaan tua ini. Namun, baru kali ini ia menginjakkan kaki di lantai tertinggi. Sepasang pintu kaca besar langsung menyambutnya, menampilkan bidang lantai tertinggi, cukup luas tanpa atap yang menaungi. Rasa-rasanya Miranda paham mengapa si responden menyukai tempat ini. Ia menduga bahwa  bidang luas tanpa atap di lantai tertinggi ini adalah tempat si responden menemui kekasihnya: salah seorang pahlawan super yang tak ingin diungkap identitasnya. Pada mulanya, Miranda lebih tertarik untuk menuliskan profil si pahlawan super di surat kabar daring tempatnya magang. Akantetapi, namanya juga pahlawan super. Tentu super sibuk mengurus ini-itu, memberantas kejahatan, mencerdaskan kehidupan bangsa, apapun lah, demi berkontribusi bagi perdamaian dunia. Akhirnya, Miranda memutuskan untuk mengalihkan wawancaranya pada si pacar dari sang pahlawan super. Lagipula, jikalau pahlawan super sudah berkorban banyak demi perdamaian dunia, lebih-lebih kekasihnya. Atas dasar keamanan, Miranda juga menyetujui bahwa identitas si pacar akan disamarkan. Demi apa lagi kalau bukan demi keberlangsungan hidup si pacar itu tadi. Walau begitu, diam-diam Miranda masih berharap bisa bertemu secara langsung dengan si pahlawan super yang konon kabarnya berwajah tampan itu.

"Susah nyari tempatnya, mbak?" tegur sebuah suara lembut, tepat usai Miranda mendorong pintu kaca ke arah luar. Suara tersebut berasal dari sisi kiri pintu kaca, cukup tersembunyi manakala dilihat dari bagian dalam. Sebagai pacar dari seorang pahlawan super, si responden rupanya sudah biaya mencari terlebih dahulu orang-orang yang janji bertemu dengannya. 

"Eh, enggak kok, mbak. Sudah lama?" jawab Miranda, sedikit canggung lantaran tidak menyangka akan disambut dengan cara demikian.

"Lumayan. Saya tadi ke sini bareng pacar saya. Maklum, pahlawan super, mau kemana-mana gampang. Ya, meskipun kadang saya juga ke sini jalan kaki.." jawaban si responden mengukuhkan asumsi Miranda mengenai alasan si responden memilih lokasi pertemuan mereka siang ini, sekaligus menjawab cadangan pertanyaan Miranda yang dimaksudkan sebagai basa-basi. Sepertinya Miranda harus mencari alternatif lain untuk berbasa-basi.





Comments

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan Tentang (Kedai) Kopi Yang Coba Saya Jawab Sendiri

Smile coffee and tea Beberapa juta tahun cahaya yang lalu, saya sempat menulis mengenai enam pertimbangan dalam memilih tempat untuk nongkrong . Belakangan saya sadar, sebagian besar tongkrongan saya adalah kedai kopi, atau paling tidak menyediakan kopi dalam daftar menunya. Saya sadar, belakangan kedai kopi di Jogja kian menjamur seperti tugas akhir yang saya biarkan menganggur ketika menulis postingan ini. Sebelumnya, saya ingin meluruskan bahwa saya bukanlah seorang coffee snob  , pendekar, atau apapun itu yang paham fafifu soal perkopian. Hamba sekadar mahasiswa yang butuh ruang yang nyaman untuk bersosialisasi maupun berindividualisasi. Sebagai seorang yang bukan ekstrovert dan nggak introvert-introvert amat, kedai kopi adalah tempat yang sesuai bagi saya untuk sekadar mojok dewean, menulis sesuatu, atau iseng baca webtoon dan yutuban.  Sejujurnya saya merasa postingan ini agak tolol. Kalau mau, bisa saja saya wawancara orang yang betul-betul paham soal kopi. Tapi, toh

Pertemuan dan Perjumpaan

Entah kenapa aku merasakan perbedaan antara pertemuan dan perjumpaan.  Rasaku bilang: pertemuan menyiratkan sebuah perjanjian, kesepakatan. Pertemuan sarat akan unsur kesengajaan. Bentuk-bentuk intimasi serta kepentingan turut terlibat, erat dan mengikat. Rasaku berucap: perjumpaan merupakan pertemuan yang tak direncanakan. Perjumpaan lebih mengatasnamakan takdir, ketidak sengajaan,  Tolong, jangan mintan penjelasan kenapa rasaku tak bisa menyamakan antara pertemuan dan perjumpaan. Aku bukan anak linguistik, atau manusia yang sehari-hari bergelut dengan ketatabahasaan. Rasaku memiliki logika dan nalarnya sendiri.  Jangan pula tanyakan tentang perpisahan, karena kali ini aku sekadar ingin membahas perjumpaan dan pertemuan. Jalan Kaliurang, 21 Maret 2016 Mengutuki hujan yang menderas di luaran. * edited soon, perhaps.

#ReformasiDikorupsi, #GejayanMemanggil, dan Sebagian Postingan yang Tidak Relevan

Gejayan Memanggil 2