Saat ini aku tengah berada di tempat yang pernah kita datangi tak hanya sekali. Duduk di sofa berbentuk menyerupai huruf 'u', di sudut smoking area. Cukup berisik lantaran tiap senin petang selalu ada sesi live music. Salah seorang temanku lantas mengeluarkan bungkusan kain, meletakannya di atas meja, dan membukanya. Isinya berupa satu set kartu yang hingga kini aku tak tahu berapa jumlah tepatnya. Masing-masing kartu memiliki gambar yang berbeda, dilengkapi dengan semacam caption singkat yang tak lebih dari satu kalimat.
"Aku pernah beberapa kali minta dibacakan kartu oleh seorang cenayang. Apakah kartu-kartu ini sama?" tanyaku sembari menyesap vanilla affogato yang terlalu manis. Aku nyaris tidak bisa merasakan unsur kopi di dalamnya.
"Tidak juga," katamu.
"Bolehkah aku minta dibacakan?"
"Kenapa tidak coba kamu baca sendiri?"
"Aku? Bisakah?" raguku.
"Tentu. Justru masing-masing orang bisa menafsirkan kartu-kartu yang mereka pilih dengan sudut pandang masing-masing," ujarmu yakin.
"Jadi... Kita tidak sekadar membaca, tapi menafsir?"
"Jelas. Bukankah jawaban yang kamu dapat tergantung dari apa yang kamu tanyakan?"
"Iya, aku tahu..."
"Bahkan penafsiran seseorang tidak bisa langsung kamu tafsirkan secara mentah, bukan? Lagipula, kamu tidak akan menceritakan persoalanmu terlalu detail kepada cenayang yang baru saja kamu kenal."
"Jadi, meskipun kartuku sudah dibacakan, maksudku ditafsirkan, aku tetap harus menafsirkannya kembali?" tanyaku mencari penegasan.
"Tentu... Kartu hanya medium. Yang paham hidupmu tentu kamu sendiri."
Comments
Post a Comment