(sebelumnya)
Miranda manggut-manggut sesaat, lantas mempersiapkan perangkat wawancaranya; notes mungil berisi poin-poin pertanyaan, drawing pen -yang bagi Miranda lebih nyaman untuk digoreskan di kertas ketimbang pulpen-, dan sebuah alat perekam warna hitam.
"Kalau sambil duduk, gimana mbak?" usul Miranda. Matanya menelusur, tertambat pada kotak-kotak kayu yang ia rasa cukup kuat apabila mereka gunakan untuk duduk. Si responden meng-iya-kan dan langsung berjalan ke arah kotak-kotak kayu yang dimaksud Miranda.
"Aku biasa duduk-duduk di sini juga, kok," kata si responden sembari meletakkan pantatnya pada salah satu kotak kayu. Jemari kanannya lantas merogoh totebag hitam yang tersandang di bahu kirinya, meraih sekotak rokok, mengambil sebatang isinya, lantas menyulutnya dengan pemantik warna putih yang diraih dari dalam saku kiri celana pendeknya. Miranda ikut duduk, mencari posisi yang nyaman, lantas menyalakan alat perekamnya.
"Oke, kita mulai ya, mbak. Sudah berapa lama mbak dekat dengan mas pahlawan super?"
"Aku kurang begitu ingat sejak kapan kita dekat. Kalau sekadar kenal... sudah lumayan lama, ya. Sekitar lima tahun lalu. Kalau dekat, mungkin belum ada satu tahun," jawab si responden sembari klepas-klepus, membiarkan asap rokoknya bersinergi dengan udara di sekitar mereka berdua.
"Kenalannya bagaimana, mbak? Boleh diceritakan?"
"Kalau masalah kenal, ya... Siapa sih yang nggak kenal sama pahlawan super macam dia. Manusia super aja banyak yang terkenal, apalagi kalau statusnya sudah jadi pahlawan. Jadi, waktu itu aku lagi nonton konser. Penontonnya kebanyakan para pecinta alam dan lingkungan. Tipe-tipe anak-anak mapa yang lakik banget gitu. Nah, sebagian dari mereka ada yang merangkap sebagai manusia super. Ingat, ya, manusia super, bukan pahlawan super. Kalau sudah jadi pahlawan, mana ada waktu buat nonton konser begituan. Waktu kenalan, doi statusnya belum jadi pahlawan, masih manusia. Yang memperkenalkan itu salah satu teman kuliah aku. Ya sudah, kenal sekadar kenal. Toh mau pada super-super begitu, masih saja disebut manusia," ungkap si responden.
"Kalau... status pacar, sejak kapan?" tanya Miranda sedikit ragu.
"Begini, mbak. Sebelumnya mau aku luruskan. Jadi, kami berdua sama-sama tidak melekatkan status pacar pada diri kami masing-masing. Menjadi pacar pahlawan super itu resikonya cukup besar, mbak. Mbak suka lihat film-film tentang superhero? Polanya kurang lebih begitu-begitu saja, mbak," si responden memaparkan.
"Mungkin bisa dijelaskan?" Miranda belum paham
"Jadi, biasanya hidup orang-orang yang dekat dengan pahlawan super cenderung terancam. Oleh siapa lagi kalau bukan musuh-musuhnya. Intinya, aku cukup potensial jadi korban penculikan. Jadi... ya harus selalu tabah dan tawakal. Lagipula, sebelum kenal sama doi, aku memang cukup berpengalaman jadi korban penculikan. Pernah pada suatu kesempatan, aku disekap di gudang yang pengap. Sempat juga nyaris ditenggelamkan di lautan. Tapi, karena langganan diculik inilah, aku jadi kenal sama doi."
"Kok bisa-bisanya mbak langganan jadi korban penculikan?"
"Wah... ini off the record, ya..."
Miranda menekan tombol pause pada alat perekamnya sembari mendengarkan si responden bercerita panjang-lebar mengenai hidupnya. Kisah hidup yang rupa-rupanya tak kalah menarik dengan kisah-kisah pahlawan super yang kerap didengar Miranda. Sayang, off the record.
"Oke, mbak. Pertanyaan selanjutnya, apa yang paling sering mbak rasakan sebagai seseorang yang dekat dengan pahlawan super? Ini sudah boleh direkam, kan?" Miranda menggoyangkan alat perekam dalam genggaman tangan.
"Boleh, silakan. Sejujurnya, aku memang harus sadar diri, sih. Pahlawan super itu lebih daripada manusia super. Bukan berarti aku tidak menganggap doi sebagai manusia, ya. Doi betul-betul berharga, aset dalam mewujudkan perdamaian dunia. Ya, meski akhirnya para penegak hukum jadi terlalu mengandalkan doi dan bikin si doi jadi capek sendiri. Intinya, aku kudu siap-siap makan hati kalau-kalau doi tiba-tiba batalin janji. Nggak boleh egois. Anggap saja turut berkontribusi membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik, meski secara tidak langsung."
"Apakah itu muncul atas dasar kesadaran mbak sendiri, atau..."
"Ya, aku sempat diwanti-wanti juga sama doi. Tapi, karena aku langganan diculik, dan setahuku aku bukan satu-satunya manusia yang menjadi korban penculikan di muka bumi ini, sementara jumlah manusia super yang bersedia jadi pahlawan super masih amat-sangat terbatas, aku bisa apa? Malah, kadang-kadang aku bersyukur kalau lagi-lagi diculik orang. Sengaja tidak melawan, padahal aku nggak selemah itu, sebetulnya..."
"Biar diselamatkan sama doi, mbak?"
"Jelas. Pahlawan super bukan berarti tidak cemburuan, ya mbak. Meski doi nggak pernah bilang secara langsung ke aku, sebetulnya doi nggak suka kalau aku diselamatkan oleh pahlawan super lain."
"Kalau begitu, kenapa tidak merencanakan penculikan diri mbak sendiri? Hehehe..." Miranda berusaha berimprovisasi dengan pertanyaannya.
"Menjadi pahlawan super itu bukan persoalan main-main, ya mbak. Kalaupun aku sengaja tidak melawan, tujuannya supaya si penjahat bisa ditangkap dan diadili sebagaimana mestinya. Bukankah aku sudah cerita latar belakang hidupku bagaimana? Menjadi umpan dan membahayakan diri, bolehlah sekali-sekali.." Raut wajah si respoden sepintas tampak kesal. Miranda tampak menyesal sudah sembarangan bertanya.
"Maaf, mbak. Saya cuma bercanda..." ujar Miranda kikuk.
"Oke, lanjut ke pertanyaan selanjutnya. Rencana ke depan, bagaimana, mbak?"
"Aku... Hmm, aku mau menguasai dunia saja."
Miranda tertegun, tak menyangka dengan respon yang didengarnya. Menguasai dunia? Apakah si responden sudah kehilangan akal sehatnya?
Miranda manggut-manggut sesaat, lantas mempersiapkan perangkat wawancaranya; notes mungil berisi poin-poin pertanyaan, drawing pen -yang bagi Miranda lebih nyaman untuk digoreskan di kertas ketimbang pulpen-, dan sebuah alat perekam warna hitam.
"Kalau sambil duduk, gimana mbak?" usul Miranda. Matanya menelusur, tertambat pada kotak-kotak kayu yang ia rasa cukup kuat apabila mereka gunakan untuk duduk. Si responden meng-iya-kan dan langsung berjalan ke arah kotak-kotak kayu yang dimaksud Miranda.
"Aku biasa duduk-duduk di sini juga, kok," kata si responden sembari meletakkan pantatnya pada salah satu kotak kayu. Jemari kanannya lantas merogoh totebag hitam yang tersandang di bahu kirinya, meraih sekotak rokok, mengambil sebatang isinya, lantas menyulutnya dengan pemantik warna putih yang diraih dari dalam saku kiri celana pendeknya. Miranda ikut duduk, mencari posisi yang nyaman, lantas menyalakan alat perekamnya.
"Oke, kita mulai ya, mbak. Sudah berapa lama mbak dekat dengan mas pahlawan super?"
"Aku kurang begitu ingat sejak kapan kita dekat. Kalau sekadar kenal... sudah lumayan lama, ya. Sekitar lima tahun lalu. Kalau dekat, mungkin belum ada satu tahun," jawab si responden sembari klepas-klepus, membiarkan asap rokoknya bersinergi dengan udara di sekitar mereka berdua.
"Kenalannya bagaimana, mbak? Boleh diceritakan?"
"Kalau masalah kenal, ya... Siapa sih yang nggak kenal sama pahlawan super macam dia. Manusia super aja banyak yang terkenal, apalagi kalau statusnya sudah jadi pahlawan. Jadi, waktu itu aku lagi nonton konser. Penontonnya kebanyakan para pecinta alam dan lingkungan. Tipe-tipe anak-anak mapa yang lakik banget gitu. Nah, sebagian dari mereka ada yang merangkap sebagai manusia super. Ingat, ya, manusia super, bukan pahlawan super. Kalau sudah jadi pahlawan, mana ada waktu buat nonton konser begituan. Waktu kenalan, doi statusnya belum jadi pahlawan, masih manusia. Yang memperkenalkan itu salah satu teman kuliah aku. Ya sudah, kenal sekadar kenal. Toh mau pada super-super begitu, masih saja disebut manusia," ungkap si responden.
"Kalau... status pacar, sejak kapan?" tanya Miranda sedikit ragu.
"Begini, mbak. Sebelumnya mau aku luruskan. Jadi, kami berdua sama-sama tidak melekatkan status pacar pada diri kami masing-masing. Menjadi pacar pahlawan super itu resikonya cukup besar, mbak. Mbak suka lihat film-film tentang superhero? Polanya kurang lebih begitu-begitu saja, mbak," si responden memaparkan.
"Mungkin bisa dijelaskan?" Miranda belum paham
"Jadi, biasanya hidup orang-orang yang dekat dengan pahlawan super cenderung terancam. Oleh siapa lagi kalau bukan musuh-musuhnya. Intinya, aku cukup potensial jadi korban penculikan. Jadi... ya harus selalu tabah dan tawakal. Lagipula, sebelum kenal sama doi, aku memang cukup berpengalaman jadi korban penculikan. Pernah pada suatu kesempatan, aku disekap di gudang yang pengap. Sempat juga nyaris ditenggelamkan di lautan. Tapi, karena langganan diculik inilah, aku jadi kenal sama doi."
"Kok bisa-bisanya mbak langganan jadi korban penculikan?"
"Wah... ini off the record, ya..."
Miranda menekan tombol pause pada alat perekamnya sembari mendengarkan si responden bercerita panjang-lebar mengenai hidupnya. Kisah hidup yang rupa-rupanya tak kalah menarik dengan kisah-kisah pahlawan super yang kerap didengar Miranda. Sayang, off the record.
"Oke, mbak. Pertanyaan selanjutnya, apa yang paling sering mbak rasakan sebagai seseorang yang dekat dengan pahlawan super? Ini sudah boleh direkam, kan?" Miranda menggoyangkan alat perekam dalam genggaman tangan.
"Boleh, silakan. Sejujurnya, aku memang harus sadar diri, sih. Pahlawan super itu lebih daripada manusia super. Bukan berarti aku tidak menganggap doi sebagai manusia, ya. Doi betul-betul berharga, aset dalam mewujudkan perdamaian dunia. Ya, meski akhirnya para penegak hukum jadi terlalu mengandalkan doi dan bikin si doi jadi capek sendiri. Intinya, aku kudu siap-siap makan hati kalau-kalau doi tiba-tiba batalin janji. Nggak boleh egois. Anggap saja turut berkontribusi membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik, meski secara tidak langsung."
"Apakah itu muncul atas dasar kesadaran mbak sendiri, atau..."
"Ya, aku sempat diwanti-wanti juga sama doi. Tapi, karena aku langganan diculik, dan setahuku aku bukan satu-satunya manusia yang menjadi korban penculikan di muka bumi ini, sementara jumlah manusia super yang bersedia jadi pahlawan super masih amat-sangat terbatas, aku bisa apa? Malah, kadang-kadang aku bersyukur kalau lagi-lagi diculik orang. Sengaja tidak melawan, padahal aku nggak selemah itu, sebetulnya..."
"Biar diselamatkan sama doi, mbak?"
"Jelas. Pahlawan super bukan berarti tidak cemburuan, ya mbak. Meski doi nggak pernah bilang secara langsung ke aku, sebetulnya doi nggak suka kalau aku diselamatkan oleh pahlawan super lain."
"Kalau begitu, kenapa tidak merencanakan penculikan diri mbak sendiri? Hehehe..." Miranda berusaha berimprovisasi dengan pertanyaannya.
"Menjadi pahlawan super itu bukan persoalan main-main, ya mbak. Kalaupun aku sengaja tidak melawan, tujuannya supaya si penjahat bisa ditangkap dan diadili sebagaimana mestinya. Bukankah aku sudah cerita latar belakang hidupku bagaimana? Menjadi umpan dan membahayakan diri, bolehlah sekali-sekali.." Raut wajah si respoden sepintas tampak kesal. Miranda tampak menyesal sudah sembarangan bertanya.
"Maaf, mbak. Saya cuma bercanda..." ujar Miranda kikuk.
"Oke, lanjut ke pertanyaan selanjutnya. Rencana ke depan, bagaimana, mbak?"
"Aku... Hmm, aku mau menguasai dunia saja."
Miranda tertegun, tak menyangka dengan respon yang didengarnya. Menguasai dunia? Apakah si responden sudah kehilangan akal sehatnya?
Comments
Post a Comment