"Kemana kamu pergi manakala kamu tengah jenuh?" tanyaku padanya suatu hari. Ayunan yang kududuki bergerak perlahan.
"Ke sekolah," ujarnya.
"Sekolah? Kamu pasti bercanda..." aku melirik padanya yang juga duduk di ayunan sebelah kiriku. Ayunan yang kami duduki terbuat dari besi, cukup kokoh sehingga kami yang sudah dewasa ini tak perlu khawatir apabila si ayunan roboh.
"Iya... Sekolah... Tapi bukan sekolah biasa," katamu yakin.
"Bukankah sekolah adalah tempat menimbun kejenuhan? Kecuali... waktu jam istirahat, tentu" kataku menimpali.
"Sekolah ini lain. Kamu tidak akan pernah merasa bosan lagi apabila bersekolah di sini," kamu seakan-akan berubah peran menjadi staf promosi sebuah sekolah yang bagiku mulai terdengar sebagai bagian dari cerita fiksi.
"Memang, apa saja fasilitasnya," tanyaku seakan mengujimu.
"Halaman depannya lebih luas dari lapangan sepakbola, dengan rerumputan abadi yang tidak pernah tumbuh lebih panjang dari tiga senti. Di sela-sela rerumputan, hidup aneka ragam serangga yang piawai menghindarkan diri dari pijakan kaki. Hamparan rerumputan tersebut selalu basah, lembab oleh tetes-tetes embun pagi yang baru hilang manakala matahari tepat berada di atas kepala-kepala penghuni bumi. Meski kerap kali basah, amat jarang ada orang yang tergelincir di hamparan rumput halaman depan sekolah tersebut, lantaran seluruh penghuni sekolah lebih sering tidak mengenakan alas kaki. Lagipula, bukanlah alas kaki tidak sebegitu berguna apabila rerumputan yang mereka pijak terbebas dari duri?" kamu menarasikan sesuatu yang bagiku tetap terdengar mustahil.
"Lalu, apa lagi?" tuntutku
"Bagian terhebat dari sekolah ini adalah terdapat sebuah danau mahaluas dengan air yang jernihnya tak kalah dengan tetes-tetes embun pagi di rerumputan tadi. Saking jernihnya, kamu bisa melihat ikan-ikan kecil berenang bebas. Kamu boleh-boleh saja menyeberang danau dengan perahu mesin kecil. Tapi, konon kamu tidak boleh membawa ikan laut sebagai bekal manakala menyeberang,"
"Kenapa tidak boleh membawa ikan laut?"
"Konon, si penunggu danau sebetulnya berasal dari lautan luas. Kadang kala ia rindu dengan tempat asalnya. Manakala menyadari ada ikan yang berasal dari laut, lebih-lebih ikan yang diasinkan, si penunggu danau akan merindukan tempat asalnya. Si penunggu danau lantas akan mendatangkan angin kencang demi mengenang tempat asalnya. Menciptakan riak-riak gelombang yang dapat dengan mudah menenggelamkanmu. Lebih-lebih, kamu tidak pandai berenang, kan? Jangan cari perkara," katanya lagi.
"Hmmm... Menarik.Tapi, sekolahnya terlalu asyik. Apakah murid-muridnya bisa benar-benar belajar?"
"Tentu bisa. Tapi, jangan bayangkan mereka belajar tata-bahasa atau hitung-hitungan. Mereka sudah tidak lagi membutuhkan pelajaran macam itu."
"Lalu, apa yang mereka pelajari di sekolah?"
"Melamun, sampai mereka puas. Merenungi apapun yang telah mereka perbuat selama hidup."
"Lantas, kapan mereka bisa lulus?"
"Sampai mereka merasa cukup melamun dan siap untuk menghadapi kenyataan."
"Bisakah kamu mengajakku ke sana?" pintaku.
"Aku rasa belum saatnya. Ngomong-ngomong, aku rasa sebentar lagi hujan. Lebih baik kamu lekas pulang," katamu terdengar sedikit murung, semurung mendung yang tetiba mengurung.
"Kamu nggak papa aku tinggal?" godaku.
"Iya. Sudah, pulang sana.." katamu. Tanpa buang waktu, aku melangkah ke arah sepeda motorku, meninggalkan sepasang ayunan kosong yang masih bergoyang perlahan.
Comments
Post a Comment