Skip to main content

Serum Kejujuran



"Han..." Alerta berbisik pelan pada Han yang tengah berbaring menikmati hening di hamparan pasir pantai putih dengan butir-butirnya yang kemilau diterpa purnama.

"Ya, Alerta? " Han menyahut, sembari memandang bintang-bintang yang kemilaunya bersaing dengan hamparan pasir .

"Ceritakan padaku tentang serum kejujuran,"

"Cerita macam apa yang kamu mau?"

"Terserah kamu, Han. Bukankah kamu yang maha nganu? Tokoh fiksi macam aku ini bisa memutuskan apa?"

"Hmm... Baiklah. Sebetulnya aku punya beberapa kisah tentang orang-orang yang meminum serum kejujuran. Kamu juga pernah menenggaknya beberapa kali, bukan?"

"Iya, Han... Iya.. Tapi... masa iya kamu bercerita kepadaku tentang diriku sendiri?"

"Lho,  bukankah kejujuran yang terlontar usai seseorang menenggak serum kejujuran merupakan kejujuran yang terlontar tanpa sepenuhnya sadar? Untuk jujur pada dirimu sendiri saja bahkan kamu masih belum mampu, kan?"

"Iya, Han... Iya... Tolonglah, Han. Ceritakan sesuatu padaku. Aku betul-betul butuh penghiburan." Alerta merajuk, terdengar sedikit kesal.

"Sejujurnya, aku tengah enggan bercerita sendirian. Aku ogah bermonolog. Lebih baik kita mengobrol saja. Bagaimana? " ujar Han. Ia tak lagi berbaring di hamparan pasir, namun duduk di sisi kiri Alerta.

"Baiklah. Sakbahagiamu. Sekali-kali bolehlah tokoh fiktif macam aku membahagiakan yang maha nganu sepertimu."

"Oke. Silakan bertanya, Alerta."

"Konon kabarnya, segala sesuatu yang ada diciptakan tak ada yang sia-sia. Lantas, kenapa serum kejujuran diciptakan, sementara keberadaannya ditolak oleh sebagian orang?"

"Namanya juga serum kejujuran. Tentu diciptakan agar orang-orang bertindak jujur, dong..."

"Maksudku, kenapa ada beberapa orang yang melarang peredaran serum kejujuran?"

"Yang namanya inovasi, tentu tidak selalu mudah diterima oleh semua kalangan. Lebih-lebih oleh orang-orang yang belum betul-betul siap dengan kejujuran, Alerta. Bahkan untuk jujur pada diri sendiri pun terkadang masih sulit. Lagipula, dunia ini memang penuh misteri. Apabila semua misteri terungkap dengan mudahnya, apa asyiknya hidup ini? Maka, tidak heran apabila serum kejujuran dikategorikan sebagai benda ilegal bagi sebagian orang. Mereka hanya menjaga agar misteri-misteri tersebut tetap tidak terungkap. Bukankah hidup butuh keseimbangan?"

"Hmm... Oke, aku paham. Tapi, sekali waktu aku pernah menemukan seseorang yang meminum serum kejujuran, namun aku tidak yakin apakah yang dikatakannya betul-betul merupakan sebuah kejujuran. Apakah dosisnya kurang?"

"Omongan macam apa yang kamu maksud? Bisa jadi dia sudah kebal."

"Kebal? Bagaimana bisa seseorang memiliki kekebalan terhadap serum kejujuran?" dahi Alerta berkerut.

"Bisa jadi orang itu terlalu lugu, terlalu jujur. Jadi, tanpa serum kejujuran pun dia akan mengatakan hal yang sama. Memang, apa sih yang orang itu bilang?" selidik Han sembari membaca raut wajah Alerta.

"Dia bilang berulang-ulang, bahwa dia sudah ikhlas akan kepergian seseorang. Tapi... Dia justru terdengar seperti berupaya meyakinkan dirinya sendiri," Alerta menerawang, memandang  kemilau bintang yang mulai pudar digusur terang.

"Kadangkala memang begitulah cara kerja serum kejujuran, Alerta. Jujur adalah menyatakan suatu hal yang diyakini sebagai sebuah kebenaran. Bukankah sesuatu yang diulang-ulang bisa menjadi rutinitas atau kebiasaan, lantas dianggap benar? Seperti doa, laksana mantra yang terus-menerus diucap nyaris tanpa jeda. Biarlah orang itu percaya pada apa yang dia yakini sebagai sebuah kebenaran," ungkap Han sembari mengalihkan pandangan ke lautan.







Comments

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan Tentang (Kedai) Kopi Yang Coba Saya Jawab Sendiri

Smile coffee and tea Beberapa juta tahun cahaya yang lalu, saya sempat menulis mengenai enam pertimbangan dalam memilih tempat untuk nongkrong . Belakangan saya sadar, sebagian besar tongkrongan saya adalah kedai kopi, atau paling tidak menyediakan kopi dalam daftar menunya. Saya sadar, belakangan kedai kopi di Jogja kian menjamur seperti tugas akhir yang saya biarkan menganggur ketika menulis postingan ini. Sebelumnya, saya ingin meluruskan bahwa saya bukanlah seorang coffee snob  , pendekar, atau apapun itu yang paham fafifu soal perkopian. Hamba sekadar mahasiswa yang butuh ruang yang nyaman untuk bersosialisasi maupun berindividualisasi. Sebagai seorang yang bukan ekstrovert dan nggak introvert-introvert amat, kedai kopi adalah tempat yang sesuai bagi saya untuk sekadar mojok dewean, menulis sesuatu, atau iseng baca webtoon dan yutuban.  Sejujurnya saya merasa postingan ini agak tolol. Kalau mau, bisa saja saya wawancara orang yang betul-betul paham soal kopi. ...

Pertemuan dan Perjumpaan

Entah kenapa aku merasakan perbedaan antara pertemuan dan perjumpaan.  Rasaku bilang: pertemuan menyiratkan sebuah perjanjian, kesepakatan. Pertemuan sarat akan unsur kesengajaan. Bentuk-bentuk intimasi serta kepentingan turut terlibat, erat dan mengikat. Rasaku berucap: perjumpaan merupakan pertemuan yang tak direncanakan. Perjumpaan lebih mengatasnamakan takdir, ketidak sengajaan,  Tolong, jangan mintan penjelasan kenapa rasaku tak bisa menyamakan antara pertemuan dan perjumpaan. Aku bukan anak linguistik, atau manusia yang sehari-hari bergelut dengan ketatabahasaan. Rasaku memiliki logika dan nalarnya sendiri.  Jangan pula tanyakan tentang perpisahan, karena kali ini aku sekadar ingin membahas perjumpaan dan pertemuan. Jalan Kaliurang, 21 Maret 2016 Mengutuki hujan yang menderas di luaran. * edited soon, perhaps.

Pepe

Sore tadi, demi mengerjakan tugas, saya pergi ke kantor pos pusat di kawasan malioboro bersama wiwin, revul, dan azan. Niat awal kami memang untuk melengkapi tugas, tapi sayang customer service nya tutup jam tiga sore, dan kami baru tiba sekitar jam empat. Karena memang tidak mau rugi sudah sampai di sekitaran malioboro, kami memutuskan untuk jalan-jalan. Pada mulanya kami bingung mau kemana, tapi kemudian kami memutuskan untuk pergi ke mirota batik.  Di perjalanan, tepatnya di daerah sekitar benteng vredeburg, kami menemukan banyak pedagang yang menggelar lapaknya di trotoar. Kebanyakan merupakan ibu-ibu penjual sate limaribuan. Beberapa saat kemudian ada orang yang berkata bahwa ada satpol pp. Beberapa pedagang buru-buru membereskan dagangannya. Saya mencari petugas yang dimaksud, namun saya tidak bisa menemukannya. Jadilah kami melanjutkan perjalanan ke mirota. Sepulang dari mirota batik, kami kembali melewati jalan yang sama dan mampir untuk membeli wedang ronde. Kali ini ...