Pukul tiga sore, aku masih berusaha mengumpulkan motivasi untuk tulisanku. Sesungguhnya kepalaku tidak kosong. Aneka macam ide liar didalamnya tengah sibuk bertengkar. Mungkin aku memang tak piawai melerai keributan, termasuk pergulatan dalam diriku sendiri. Lagipula, bukankah lebih baik apabila sebuah pertengkaran tidak dipendam, namun ditunaikan hingga tuntas?
Aku lantas celingukan, menyapukan pandangan ke sekitar. Kondisi ruangan yang ku tempati sebetulnya sesuai dengan yang kubutuhkan. Luas, terang, dan semua orang sibuk dengan laptop mereka masing masing, memanfaatkan koneksi internet tak berbayar. Di sudut ruangan, aku menemukan sosok yang familier. Seorang teman lama yang bisa jadi nyaris setahun tak kutemui batang hidungnya, kecuali lewat postingan-postingan di linimasa yang melintas sekilas.
Namanya Joni. Aku mengenalnya di sebuah kedai kopi 'terdekat' sudah setahun lebih. Kala itu, hampir semua bangku yang tersedia sudah diduduki. Hampir, lantaran kebetulan aku hanya datang sendiri. Bangku dihadapanku tengah kosong, semetara Joni datang sembari celingukan mencari tempat kosong. Aku hanya memandang sekilas, lantas bertingkah cuek seperti biasa. Tak berapa lama, salah seorang barista yang bertugas menegurku sopan. Memintakan ijin agar aku mau berbagi bangku dengan si pelanggan yang baru datang. Aku menyatakan tak keberatan, sembari sepintas menebar senyum, berusaha bertingkah sopan. Kami lantas duduk berhadapan, meski wajah kami sama-sama tenggelam dalam layar laptop.
Limabelas menit lewat, aku mulai bosan. Isi kepalaku rupanya terlalu bebal untuk dijinakkan. Sepertinya aku butuh pawang, atau siapapun yang bisa kuajak mengobrol. Sepintas aku melihat daftar menu makanan di mejaku, atau tepatnya di meja yang ku tempati bersama seorang pelanggan laki-laki ini. Mungkin ada baiknya aku memesan makanan ringan agar moodku membaik.
"Permisi, mas. Boleh pinjam buku menu?" kataku Joni yang kala itu belum kuketahui namanya.
"Oh, iya, mbak. Silakan," ujarnya sembari mengulurkan buku menu padaku. Di pergelangan tangannya tampak gelang rotan, mirip seperti yang tengah kukenakan. Aku melambaikan tangan kanan, hendak memesan. Joni tampaknya juga sadar kalau kita mengenakan gelang yang sama. Bedanya, miliknya sudah pudar.
"Mas, onion ring satu, ya," kataku ketika pramusaji tiba.
"Siap, mbak Leta. Ada lagi?" tanya si pramusaji yang
"Dua, mas. Aku juga sama," kata Joni.
"Siap, Mas Joni. Ditunggu, ya," ujar si pramusaji. Dari situlah aku mengetahui namanya. Usai si pramusaji meninggalkan meja kami, aku mulai berbasa-basi. Menawarkan rokok, menanyakan jurusan, dan hal-hal remeh-temeh lainnya. Pembicaraan kami cukup tak beraturan, persis seperti yang kubutuhkan. Rupanya Joni alumni Fakultas Ketuhanan di universitas yang sama denganku. Iya, kalian tidak salah membaca: Fakultas Ketuhanan dengan semboyan 'Yang Maha Esa' itu. Seperti anak fakultas-fakultas Ketuhanan yang kukenal, pola pikirnya cukup terbuka sehingga kami bisa membicarakan apa saja. Dari aneka macam topik yang kami bicarakan, aku paling ingat ketika Joni membicarakan mengenai kenangannya akan papan ketik.
"Dulu, waktu kecil, aku suka sekali bermain permainan komputer," katanya.
"Permainan macam apa?" tanyaku
"Hmm... Balap mobil, balap motor... Kalau sudah di depan komputer, aku bisa lupa waktu. Lupa makan, lupa belajar, lupa tidur. Padahal hanya ada satu komputer di rumah," lanjutnya.
"Tidak rebutan? Atau mungkin kamu anak tunggal?"
"Aku sempat jadi anak tunggal. Tapi, semenjak SMP, ibuku melahirkan anak kedua. Seorang anak perempuan. Waktu itu, aku sudah agak tobat bermain dengan komputer. Tapi aku masih sering menggunakan komputer untuk mengerjakan tugas sekolah."
"Lalu, seperti apa adikmu?" pintaku padanya untuk lanjut bercerita.
"Sebagai anak tertua, tentu wajar apabila aku ingin dihormati oleh adikku sendiri. Adik perempuanku terkadang suka menganggu. Aku ingat betul, saat itu aku sudah jadi mahasiswa, ia terobsesi pada hal-hal yang berkaitan dengan ruang angkasa. Sebagai mahasiswa, tentu aku memiliki laptop sendiri. Pada suatu kali, aku tengah mengerjakan tugas di ruang keluarga. Adikku mendekat, mengerjapkan mata, mungkin kagum dengan kecepatan jari-jariku manakala beradu dengan papan ketik laptop. Aku merasa butuh ke toilet sebentar dan mengingatkan adik perempuanku untuk tidak menyentuh tombol apapun..." Joni berhenti sesaat, lantas mengunyah onion ringnya. Aku masih menunggu lanjutan ceritanya sembari menyesap kopiku.
"Saat aku kembali, adik perempuanku bertanya begini : Kalau aku menekan tombol backspace, akankah aku kembali ke ruang angkasa? Pertanyaan yang kurasa cukup absurd untuk anak seusianya."
"Kembali? Apakah adikmu merasa diri sebagai alien?" ujarku sembari tersenyum.
"Entahlah..."
"Tapi, bukankah ruang angkasa sebetulnya bukan tempat untuk kembali? Maksudku, seperti lautan yang punya pelabuhan atau pulau untuk merapat, sebuah perjalanan tentu butuh tempat untuk medarat," ujarku menanggapi. Joni manggut-manggut saja.
Comments
Post a Comment