Dear Alerta,
Sebelum aku terlanjur berceloteh panjang-lebar, aku ingin mempersoalkan julukan yang kau lekatkan dengan sosokku. Sore? Kenapa tidak senja? Bukankah senja terdengar lebih intim dan romantis? Kau pernah dengar, kan, cerita tentang senja yang kemerah-merahan? Senja yang konon dapat dipotong dengan cara dikerat pada keempat sisinya, lantas disimpan dalam saku baju?* Mengakulah. Kau pasti tahu karena cerita sepotong senja ini dikisahkan oleh salah seorang pencerita favoritmu. Oke, aku ralat. Senja tak selamanya kemerah-merahan. Bisa jadi senja berwarna kebiru-biruan, bahkan keungu-unguan kelam seperti lebam-lebam yang menyisa di lenganku. Luka lebam yang muncul akibat hantaman seorang lelaki sialan bernama Benjamin, salah seorang seniorku semasa sekolah menengah atas. Benjamin mengaku mengenalmu dengan baik, meski entah sebaik apa. Seperti katamu, baik itu relatif bukan? Rupa-rupanya Ben tak terima dengan perlakuanku terhadapmu. Perlakuan macam apa, coba?
"Alerta adalah perempuan yang selayaknya dilindung," begitu kata Ben. Kata-kata yang terlontar dengan nada ancaman, lebih tepatnya. Cih! Aku jadi kian ragu, sejauh mana Benjamin mengenalmu, Alerta. Mulanya kurasa, melindungi perempuan (termasuk perempuan bebal sekaligus binal macam kau) sekadar naluri Ben saja. Lihat saja tubuhnya yang tegap, kekar dan menjulang. Tinggi badanku bahkan tak sampai sebahunya. Sementara selisih tinggi badanmu dan tinggi badanku bahkan tak sampai sejengkal utuh tangan kirimu. Tangan kirimu enggan lepas dari sebatang rokok yang aku tak pernah kuingat mereknya itu. Tentu saja, aku tetap lebih tinggi darimu, Alerta. Kecuali ketika kaumemilih untuk mengenakan alas kaki dengan tumit tinggi, tentunya. Itu hakmu. Pokoknya, dimataku kau selalu tampak baik-baik saja.
Jujur saja, ya, Alerta. Aku rasa hubungan kita selama ini kelewat fiktif dan amat sangat tidak realistis. Buatku sih tak terlalu jadi soal. Kau tahu sendiri, kan, aku adalah orang yang amat sangat subjektif? Wajar, dong! Mana ada manusia yang tidak subjektif? Kita ini manusia, Alerta. Tidak perlu sok-sokan berusaha jadi objektif, sok-sokan idealis. Manusia sejatinya tidak akan pernah sanggup melepaskan diri dari perasaan. Sebagai bagian dari umat manusia, akupun demikian. Memangnya kau, perempuan sialan yang suka mempermainkan perasaan orang (dalam hal ini, aku mengikutsertakan diriku dalam hitung-hitungan sebagai orang). Apa-apaan, sih? Perasaan itu tidak seharusnya dipermainkan dengan dalih eksperimen sosial. Jangan mentang-mentang kau mahasiswa sosialsialan, lantas secara sembarangan mengeksplorasi perasaan tanpa sedikitpun penyesalan.
Sudahlah, aku lelah.
Dariku, yang kau sebut Sore
Comments
Post a Comment