Skip to main content

Putusan Semesta


Gelas-gelas teh manis panas berjejer di meja hijau burjonan langganan kami berdua: aku dan temanku, sebut saja begitu. Pesanan yang jarang kami temui manakala menjinakkan perut yang keroncongan lantaran belum makan sejak pagi. Sepertinya pesanan khusus untuk bapak-bapak yang tengah bekerja bakti membenahi jalanan yang berlubang di gang depan. Bisa jadi, menyediakan minuman adalah cara 'Aak burjo berkontribusi dalam perbaikan lingkungan. Pasalnya, kalau si 'Aak ikut mengaduk semen, warung burjonya siapa yang jaga?
Burjonan tak pelak menjadi lokasi favorit bagi mahasiswa yang merangkap anak kosan, lebih-lebih manakala akhir bulan. Burjonan adalah juga solusi manakala kami hendak berhemat agar dapat mentraktir pacar masing-masing pacar kami di kedai kopi yang biasanya sepi. Bukan berarti pacar kami masing-masing selalu menuntut untuk bertemu di tempat-tempat yang butuh modal. Kami sama-sama sadar kalau kami merogoh kocek lebih dalam hanya demi suasana. Sementara perut kami tidak akan kenyang diisi dengan suasana itu tadi. Di burjonan pula, kami kerap membicarakan relasi kami masing-masing, termasuk perihal relasi dengan pacar kami masing-masing.

"You both need space, perhaps?", seruku sembari mencomot gorengan seharga duaribu dapat tiga usai temanku bilang kalau dia tengah ribut pacarnya. Entah apa perkaranya, yang jelas ini bukan pertama kalinya temanku bercerita kalau pacarnya mengancam untuk putus saja.

"Dude, I already give her some space. Does she needs a universe?" keluhnya, lantas menyalakan sebatang rokok samsu, kemudian klepas-klepus dengan santainya.

"Nah, itu! Kalau kamu sendiri bingung, biarkan semesta saja yang memutuskan" kataku dengan mulut masih mengunyah diiringi lagu kimcil kepolen versi NDX yang berkumandang.

"Hmm... Let the universe decide?" gumam temanku.

"Yoihh~" ujarku santai, lalu menenggak setengah gelas teh tarik panas.

"Jadi, kalau aku yang mutusin, aku bisa nyalahin semesta?" kata temanku menyimpulkan.

"Bukan perkara salah-salahan. Kalau memang keadaan, mau bagaimana?"


Comments

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan Tentang (Kedai) Kopi Yang Coba Saya Jawab Sendiri

Smile coffee and tea Beberapa juta tahun cahaya yang lalu, saya sempat menulis mengenai enam pertimbangan dalam memilih tempat untuk nongkrong . Belakangan saya sadar, sebagian besar tongkrongan saya adalah kedai kopi, atau paling tidak menyediakan kopi dalam daftar menunya. Saya sadar, belakangan kedai kopi di Jogja kian menjamur seperti tugas akhir yang saya biarkan menganggur ketika menulis postingan ini. Sebelumnya, saya ingin meluruskan bahwa saya bukanlah seorang coffee snob  , pendekar, atau apapun itu yang paham fafifu soal perkopian. Hamba sekadar mahasiswa yang butuh ruang yang nyaman untuk bersosialisasi maupun berindividualisasi. Sebagai seorang yang bukan ekstrovert dan nggak introvert-introvert amat, kedai kopi adalah tempat yang sesuai bagi saya untuk sekadar mojok dewean, menulis sesuatu, atau iseng baca webtoon dan yutuban.  Sejujurnya saya merasa postingan ini agak tolol. Kalau mau, bisa saja saya wawancara orang yang betul-betul paham soal kopi. ...

Pertemuan dan Perjumpaan

Entah kenapa aku merasakan perbedaan antara pertemuan dan perjumpaan.  Rasaku bilang: pertemuan menyiratkan sebuah perjanjian, kesepakatan. Pertemuan sarat akan unsur kesengajaan. Bentuk-bentuk intimasi serta kepentingan turut terlibat, erat dan mengikat. Rasaku berucap: perjumpaan merupakan pertemuan yang tak direncanakan. Perjumpaan lebih mengatasnamakan takdir, ketidak sengajaan,  Tolong, jangan mintan penjelasan kenapa rasaku tak bisa menyamakan antara pertemuan dan perjumpaan. Aku bukan anak linguistik, atau manusia yang sehari-hari bergelut dengan ketatabahasaan. Rasaku memiliki logika dan nalarnya sendiri.  Jangan pula tanyakan tentang perpisahan, karena kali ini aku sekadar ingin membahas perjumpaan dan pertemuan. Jalan Kaliurang, 21 Maret 2016 Mengutuki hujan yang menderas di luaran. * edited soon, perhaps.

Pepe

Sore tadi, demi mengerjakan tugas, saya pergi ke kantor pos pusat di kawasan malioboro bersama wiwin, revul, dan azan. Niat awal kami memang untuk melengkapi tugas, tapi sayang customer service nya tutup jam tiga sore, dan kami baru tiba sekitar jam empat. Karena memang tidak mau rugi sudah sampai di sekitaran malioboro, kami memutuskan untuk jalan-jalan. Pada mulanya kami bingung mau kemana, tapi kemudian kami memutuskan untuk pergi ke mirota batik.  Di perjalanan, tepatnya di daerah sekitar benteng vredeburg, kami menemukan banyak pedagang yang menggelar lapaknya di trotoar. Kebanyakan merupakan ibu-ibu penjual sate limaribuan. Beberapa saat kemudian ada orang yang berkata bahwa ada satpol pp. Beberapa pedagang buru-buru membereskan dagangannya. Saya mencari petugas yang dimaksud, namun saya tidak bisa menemukannya. Jadilah kami melanjutkan perjalanan ke mirota. Sepulang dari mirota batik, kami kembali melewati jalan yang sama dan mampir untuk membeli wedang ronde. Kali ini ...