Dear Nganu,
Menanyakan kabarmu rasanya bukan kalimat pembuka yang tepat
untuk memulai surat ini. Aku rasa aku tak butuh untuk tahu bagaimana keadaanmu
di sana. Segalanya biasa kamu obral di linimasa, meski aku tahu itu hanya
sebagian dari keseharianmu. Paling tidak aku bisa tahu kalau kamu masih tetap
bisa minum kopi yang kemasannya tidak disobek, atau mengisap lintingan tembakau
agar bisa tetap waras.
Surat yang kukirimkan ini juga bukanlah surat kabar sehingga
jangan heran apabila aku tidak memberitahukan kabarku. Lagipula, ini bukan
surat balasan karena kamu tidak pernah mengirimiku surat. Kalau kamu saja tidak
mengirim, mana bisa aku membalas. Atau mungkin, selama ini kamu menulis surat
untukku, meski pada akhirnya kamu mengurungkan niat untuk mengirimkannya? Atau mungkin suratmu untukku selama ini salah
alamat? Aduh, celaka! Aku rasa aku sudah mulai bertanya. Padahal aku sudah
memutuskan bahwa pertanyaan-pertanyaanku padamu akan kutujukan pada diriku
sendiri, lantas ku jawab sendiri juga. Demi apa lagi kalau bukan pengakuan
bahwasanya aku adalah perempuan mandiri: tanya sendiri, jawab sendiri.
Sebetulnya, banyak hal yang ingin kutanyakan kepadamu.
Banyak sekali, sebanyak keinginan-keinginan Nobita berupa ini dan itu. Keinginan-keinginan
yang kesemuanya coba dikabulkan dengan kantong ajaib. Tapi, aku cukup sadar
diri dengan kesibukanmu. Untuk makan saja kamu masih sering disuapi mamamu agar
kamu lebih produktif lantaran bisa multitasking.
Belum lagi rutinitas yang memaksamu selalu beranjak dari ranjang manakala
adzan subuh berkumandang. Lantas mandi, kemudian bersiap menempuh ribuan kilo
tanpa bantuan pintu ke mana saja atau baling-baling bambu. Begitu terus, sampai
pada hari Minggu tiba dan kamu pergi ke kota bersama ayahmu, menaiki delman
yang aku rasa bentuknya lebih mirip gerobak. Kamu pun mengemudikan gerobak itu
sesekali, cukup lihai sehingga kamu cukup
pantas disebut sebagai pengendali gerobak.
Sudah dulu, ya. Tidak perlu dibalas, tidak apa-apa.
Comments
Post a Comment