Kata-kata yang dirapalkan berkali-kali konon adalah mantra. Demikian halnya dengan doa, tentunya doa yang diungkapkan dengan penuh keyakinan. Setidaknya begitu yang kudengar dari salah seorang guru mata pelajaran Bahasa Indonesia sewaktu sekolah menengah. Entah mengapa, selalu ada barang satu atau dua memori di kelas Bahasa Indonesia yang memaksakan diri untuk menjadi ingatan abadi di dalam kepalaku sendiri.
Bagaimana dengan umpatan yang ditujukan kepada seseorang? Apakah cara kerjanya serupa mantra atau doa? Entahlah. Intinya, belakangan aku tengah kesal dengan seseorang yang terus-terusan mengataiku dengan kata itu. Tapi, bukankah kata-kata tidak selalu merupakan racauan orang mabuk yang muncul begitu saja? Pertanyaan tentang cara kerja kata-kata terus berputar di kepalaku, hingga lawan bicaraku menegur.
"Jadi, sejak kapan dia mengata-ngataimu 'sakit'?"
"Sepertinya semenjak aku tidak lagi mempan dikatai lemah," ujarku, berusaha mengingat.
"Kamu? Lemah? Ayolah. Mana ada orang lemah yang usai dipepet begal mesum, esok paginya tetap kuliah? Tetap liputan untuk majalah!?" sungut lawan bicaraku.
"Hmmm... Sebentar-sebentar," aku berhenti sejenak, mengenggak teh jahe hangat di hadapanku. "Sepertinya sesudah aku lagi-lagi jatuh dari motor karena lelah, sampai-sampai aku harus mengenakan rok selama berbulan-bulan lantaran lukanya sedikit lebih parah," lanjutku.
"Apakah dia tahu kalau kamu pernah dibegal?"
"Entahlah. Apa pedulinya?"
"Apakah kamu keberatan untuk menceritakan padaku kejadian waktu itu?"
"Well... Aku tidak mau mengingat detailnya. Aku sendiri heran pada diriku sendiri yang tidak menangis meski kakiku terasa perih. Apakah rasa sakit tidak selalu cukup menjadi alasan bagi seseorang untuk menangis?"
Comments
Post a Comment