Skip to main content

Lari Saja Sendiri



"Harusnya sore ini kamu lari. Kamu dulu sering jogging sore-sore begini, kan?" katamu sembari keluar dari gedung perpustakaan. Kamu berjalan selangkah lebih dulu dariku. Merentangkan kaki-kakimu yang jenjang dan berbulu.

"Kenapa harus lari?" tanyaku, berusaha mejejerimu dengan kecepatan dua kali lipat, meski jangkauan langkah kakiku hanya sempat membuat kita sejajar selama sekian detik. 

"Soalnya sore ini tidak hujan. Bahkan jok motor kita yang terparkir sejak pagi masih kering. Kamu nggak kepikiran pengen lari?"

"Nope... Udah kurus ini," sambarku. Aku rasa kamu yang butuh bergerak lebih banyak lantaran lipatan dagumu nyaris bersaing dengan bentuk kantong mata bapak presiden kita yang keenam. Tapi, toh aku tidak bilang padamu secara gamblang. Perihal berat badan bisa menjadi isu yang sensitif, terkadang.

"Iyaaa, tauk..."

"Lagipula, tadi di ponselku, katanya cuaca hujan. Tapi... mungkin aku terlanjur terbiasa dengan hujan," ujarku sembari mengajakmu duduk sejenak di bangku taman yang terbuat dari beton dan keramik. Sayang rasanya apabila sore yang cerah macam ini sekadar disia-siakan untuk bergegas pulang atau mengurung diri dalam ruangan. Pun kamu tak menolak, lantas khusyuk mengisap rokok kretekmu. Perjalanan dari tangga lantai lima nampaknya cukup membuatmu lelah, dan kamu bisa-bisanya menyinggung kebiasaanku berlari di sore hari. Kebiasaan yang kini mulai tidak lagi kubiasakan lantaran memang belakangan sering hujan.

"Jadi, kamu tidak percaya ramalan? Maksudku... ramalan cuaca?"

"Entahlah... Mungkin ponselku yang lelet. Atau memang koneksyen yang tidak mendukung," ungkapku tak terlalu ambil pusing.


"Anyway, mau lari bareng, kapan-kapan?" kamu menawarkan. Tawaran yang aku yakini sebagai basa-basi semata. Jangkauan kakimu memang lebih jauh, tapi aku yakin staminaku lebih tangguh.

"Enggak, deh... Aku mau ngejar mas-mas itu aja."



Comments

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan Tentang (Kedai) Kopi Yang Coba Saya Jawab Sendiri

Smile coffee and tea Beberapa juta tahun cahaya yang lalu, saya sempat menulis mengenai enam pertimbangan dalam memilih tempat untuk nongkrong . Belakangan saya sadar, sebagian besar tongkrongan saya adalah kedai kopi, atau paling tidak menyediakan kopi dalam daftar menunya. Saya sadar, belakangan kedai kopi di Jogja kian menjamur seperti tugas akhir yang saya biarkan menganggur ketika menulis postingan ini. Sebelumnya, saya ingin meluruskan bahwa saya bukanlah seorang coffee snob  , pendekar, atau apapun itu yang paham fafifu soal perkopian. Hamba sekadar mahasiswa yang butuh ruang yang nyaman untuk bersosialisasi maupun berindividualisasi. Sebagai seorang yang bukan ekstrovert dan nggak introvert-introvert amat, kedai kopi adalah tempat yang sesuai bagi saya untuk sekadar mojok dewean, menulis sesuatu, atau iseng baca webtoon dan yutuban.  Sejujurnya saya merasa postingan ini agak tolol. Kalau mau, bisa saja saya wawancara orang yang betul-betul paham soal kopi. Tapi, toh

Pertemuan dan Perjumpaan

Entah kenapa aku merasakan perbedaan antara pertemuan dan perjumpaan.  Rasaku bilang: pertemuan menyiratkan sebuah perjanjian, kesepakatan. Pertemuan sarat akan unsur kesengajaan. Bentuk-bentuk intimasi serta kepentingan turut terlibat, erat dan mengikat. Rasaku berucap: perjumpaan merupakan pertemuan yang tak direncanakan. Perjumpaan lebih mengatasnamakan takdir, ketidak sengajaan,  Tolong, jangan mintan penjelasan kenapa rasaku tak bisa menyamakan antara pertemuan dan perjumpaan. Aku bukan anak linguistik, atau manusia yang sehari-hari bergelut dengan ketatabahasaan. Rasaku memiliki logika dan nalarnya sendiri.  Jangan pula tanyakan tentang perpisahan, karena kali ini aku sekadar ingin membahas perjumpaan dan pertemuan. Jalan Kaliurang, 21 Maret 2016 Mengutuki hujan yang menderas di luaran. * edited soon, perhaps.

#ReformasiDikorupsi, #GejayanMemanggil, dan Sebagian Postingan yang Tidak Relevan

Gejayan Memanggil 2