Skip to main content

Perdebatan Tiga Matahari



Pada suatu waktu di sebuah galaksi, terjadi perdebatan antara tiga matahari. Meski sama-sama berupa matahari, masing-masing dari mereka memiliki julukan tersendiri: Srengenge, Surya, dan Mentari. Seperti matahari-matahari pada umumnya, ketiganya diberi tugas oleh semesta untuk menjadi pusat tata surya, tentu dengan planet yang berbeda-beda. Ketiganya dituntut untuk terbit dan tenggelam agar planet-planet yang mengitari mereka tetap bisa menjalani daur kehidupan. Namun demikian, ada kalanya mereka merasa enggan menjalankan perintah semesta dan menolak untuk terbit.

"Ayolah. Tak ada salahnya kita tidak terbit, sehari saja. Kita butuh leren (istirahat)," ungkap Mentari yang menjadi pusat dari enam planet.

"Tidak! Kita harus tetap terbit," tukas Srengenge dengan segera. Srengenge adalah matahari dengan delapan planet yang mengelilingi.

"Sudahlah, Srengenge. Aku rasa tak apa kalau kita mengambil cuti barang sehari. Lagipula, bukankah semesta adalah sosok yang pengertian?" bujuk Surya.

"Ini bukan masalah lelah. Ini perihal reputasi. Aku paham, usia kita tak lagi muda. Sudah sekian ratus tahun kita bekerja tanpa henti. Apakah kalian tidak peduli dengan keberlangsungan galaksi kita ini beserta segenap penghuninya?" Srengenge masih bersikeras.

"Hey, Srengenge! Pasti kamu berbuat begini karena manusia-manusia itu bukan? Itu, para penghuni planet biru yang manja itu? Apa namanya? Planet bumi?" tuduh Surya yang memang hanya dikelilingi oleh belasan planet tak berpenghuni. Diam-diam Surya kesal lantaran merasa bahwa pancaran sinarnya tidak sebegitu bermanfaat.

"Aku hanya ingin menjaga agar segalanya tetap hidup," kata Srengenge.

"Tidak sadarkah kamu bahwa sebetulnya manusia-manusia itu jahat? Mereka tidak betul-betul peduli padamu. Sudah kamu hitung belum, berapa banyak sampah ruang angkasa yang mereka hasilkan, hah? Bikin kotor galaksi kita saja!" Mentari bersungut-sungut pada Srengenge.

"Lagipula, apa yang dibayarkan semesta, aku rasa tidak sebanding dengan usaha kita untuk terus berpijar dan berpendar," Surya menimpali.

"Ini perihal masa depan. Persoalan eksistensi! Kalau sampai aku tidak terbit selama satu hari saja, manusia-manusia pasti akan kehilangan harapan, tumbuh-tumbuhan bakal mati, dan para kucing tak bisa lagi mengeringkan tubuh masing-masing yang mereka jilati sendiri," terang Srengenge.


Comments

Popular posts from this blog

Peninggalan-Peninggalan Menyebalkan Pernah Saya Temui Di Jamban

Photo by  Gabor Monori  on  Unsplash Semenjak masih bocah, kita semua tentu sepaham bahwa kebutuhan pokok sebagai manusia terdiri dari tiga hal: sandang, papan, serta pangan. Namun demikian, ada satu hal yang tak kalah esensial untuk dikategorikan sebagai kebutuhan, yakni: buang hajat! Agar lebih enak diucapkan, saya lebih memilih untuk merangkum kebutuhan pokok plus-plus ini sebagai : sandang, papan, pangan, dan jamban. Biar apa? Biar enak dibaca saja, begitu. Sebetulnya, dalam istilah biologi, pengeluaran atau pembuangan ampas hasil metabolisme tubuh lebih sesuai apabila disebut ekskresi. Ekskresi sendiri bukan melulu merujuk pada buang air besar atau buang air kecil saja, melainkan juga pembuangan zat-zat seperti karbon dioksida, urea, racun, dan sebagainya. Zat-zat ini memang dapat ditemui pada feses maupun urin yang senantiasa kita keluarkan dengan penuh kelegaan itu. Baik feses (alias tokai) maupun urin (alias pipis) tentu perlu dikeluarkan di tempat y...

Pertemuan dan Perjumpaan

Entah kenapa aku merasakan perbedaan antara pertemuan dan perjumpaan.  Rasaku bilang: pertemuan menyiratkan sebuah perjanjian, kesepakatan. Pertemuan sarat akan unsur kesengajaan. Bentuk-bentuk intimasi serta kepentingan turut terlibat, erat dan mengikat. Rasaku berucap: perjumpaan merupakan pertemuan yang tak direncanakan. Perjumpaan lebih mengatasnamakan takdir, ketidak sengajaan,  Tolong, jangan mintan penjelasan kenapa rasaku tak bisa menyamakan antara pertemuan dan perjumpaan. Aku bukan anak linguistik, atau manusia yang sehari-hari bergelut dengan ketatabahasaan. Rasaku memiliki logika dan nalarnya sendiri.  Jangan pula tanyakan tentang perpisahan, karena kali ini aku sekadar ingin membahas perjumpaan dan pertemuan. Jalan Kaliurang, 21 Maret 2016 Mengutuki hujan yang menderas di luaran. * edited soon, perhaps.

Pertanyaan-pertanyaan Tentang (Kedai) Kopi Yang Coba Saya Jawab Sendiri

Smile coffee and tea Beberapa juta tahun cahaya yang lalu, saya sempat menulis mengenai enam pertimbangan dalam memilih tempat untuk nongkrong . Belakangan saya sadar, sebagian besar tongkrongan saya adalah kedai kopi, atau paling tidak menyediakan kopi dalam daftar menunya. Saya sadar, belakangan kedai kopi di Jogja kian menjamur seperti tugas akhir yang saya biarkan menganggur ketika menulis postingan ini. Sebelumnya, saya ingin meluruskan bahwa saya bukanlah seorang coffee snob  , pendekar, atau apapun itu yang paham fafifu soal perkopian. Hamba sekadar mahasiswa yang butuh ruang yang nyaman untuk bersosialisasi maupun berindividualisasi. Sebagai seorang yang bukan ekstrovert dan nggak introvert-introvert amat, kedai kopi adalah tempat yang sesuai bagi saya untuk sekadar mojok dewean, menulis sesuatu, atau iseng baca webtoon dan yutuban.  Sejujurnya saya merasa postingan ini agak tolol. Kalau mau, bisa saja saya wawancara orang yang betul-betul paham soal kopi. ...