Skip to main content

Sekolah Kok Minggu (Part 1)



Minggu pagi, seperti biasa Alerta cilik mengikuti rutinitas Bundanya untuk beribadah. Kali ini tempatnya lain lantaran belum ada seminggu Alerta pindah rumah. Sebetulnya Alerta enggan lantaran ia tak boleh berlari-larian seperti anak-anak kecil lainnya. Bunda berdalih kalau Alerta sudah bukan kanak-kanak lagi, cukup besar karena sudah masuk sekolah dasar.
Di depan pintu masuk rumah ibadah, lima orang berdiri berjajar menyambut siapapun yang datang sembari mengulurkan tangan untuk bersalaman. Mereka juga menunjukkan tempat duduk yang masih kosong manakala orang yang datang tampak kebingungan. Ketika Alerta masuk, salah satu dari kelima orang tadi membungkuk dan berbicara kepada Alerta. Seorang lelaki tua dengan rambut lurus sebahu dan mulai beruban. Rasa-rasanya cocok apabila dipanggil kakek oleh anak-anak seusia Alerta.

“Adik sudah kelas berapa?” tanya si lelaki tua.

“Kelas satu SD,” jawab Alerta malu-malu.

“Oh, masih SD. Ikut sekolah Minggu saja sama teman-teman yang lain,” ujar si lelaki tua lagi. Alerta memalingkan pandangan pada Bunda, berharap diperbolehkan, meski Alerta belum pernah ikut sekolah Minggu sebelumnya. Berbaur dengan sesama anak-anak terdengar lebih menarik.

“Boleh... Silakan saja,” kata Bunda. Dalam hati, Bunda bersyukur karena ibadahnya bisa jadi lebih khusyuk dan Alerta bisa mendapat teman baru. Alerta langsung sumringah. Si lelaki tua lantas melambaikan tangan pada seorang biarawati di sudut gereja yang lantas menghampiri Alerta dan menyapanya.

“Selamat pagi. Siapa namanya?” tanya si biarawati sambil mengusap rambut Alerta.

“Alerta, tante...” sahut Alerta

“Panggil suster, sayang,” kata Bunda menahan geli.

“Tapi, Bunda... Di sini kan bukan rumah sakit? Kok dipanggil suster?” Alerta tak paham.

“Sini, Alerta ikut sama suster. Nanti kita bisa main sama teman-teman seumuran,” bujuk si biarawati. Mendengar kata main, Alerta langsung bersemangat. Kakinya berjingkat, mengikuti si biarawati sembari melambaikan tangan pada Bunda. Mereka menuju ke sebuah ruangan dengan karpet merah terhampar. Letaknya tak sebegitu jauh dari lokasi parkir mobil. Di ruangan tersebut tampak belasan anak-anak, mulai dari yang masih canggung berjalan, hingga yang sudah fasih berlarian seperti Alerta. 

"Alerta sudah pernah ikut sekolah Minggu?" tanya si biarawati manakala kaki mereka telah menginjak karpet merah. Pertanyaannya lantas disambut gelengan kepala Alerta.

"Belum sus. Tapi... ini sekolah? Hari Minggu katanya untuk istirahat?" tanya Alerta polos.


(Bersambung)


Comments

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan Tentang (Kedai) Kopi Yang Coba Saya Jawab Sendiri

Smile coffee and tea Beberapa juta tahun cahaya yang lalu, saya sempat menulis mengenai enam pertimbangan dalam memilih tempat untuk nongkrong . Belakangan saya sadar, sebagian besar tongkrongan saya adalah kedai kopi, atau paling tidak menyediakan kopi dalam daftar menunya. Saya sadar, belakangan kedai kopi di Jogja kian menjamur seperti tugas akhir yang saya biarkan menganggur ketika menulis postingan ini. Sebelumnya, saya ingin meluruskan bahwa saya bukanlah seorang coffee snob  , pendekar, atau apapun itu yang paham fafifu soal perkopian. Hamba sekadar mahasiswa yang butuh ruang yang nyaman untuk bersosialisasi maupun berindividualisasi. Sebagai seorang yang bukan ekstrovert dan nggak introvert-introvert amat, kedai kopi adalah tempat yang sesuai bagi saya untuk sekadar mojok dewean, menulis sesuatu, atau iseng baca webtoon dan yutuban.  Sejujurnya saya merasa postingan ini agak tolol. Kalau mau, bisa saja saya wawancara orang yang betul-betul paham soal kopi. ...

Pertemuan dan Perjumpaan

Entah kenapa aku merasakan perbedaan antara pertemuan dan perjumpaan.  Rasaku bilang: pertemuan menyiratkan sebuah perjanjian, kesepakatan. Pertemuan sarat akan unsur kesengajaan. Bentuk-bentuk intimasi serta kepentingan turut terlibat, erat dan mengikat. Rasaku berucap: perjumpaan merupakan pertemuan yang tak direncanakan. Perjumpaan lebih mengatasnamakan takdir, ketidak sengajaan,  Tolong, jangan mintan penjelasan kenapa rasaku tak bisa menyamakan antara pertemuan dan perjumpaan. Aku bukan anak linguistik, atau manusia yang sehari-hari bergelut dengan ketatabahasaan. Rasaku memiliki logika dan nalarnya sendiri.  Jangan pula tanyakan tentang perpisahan, karena kali ini aku sekadar ingin membahas perjumpaan dan pertemuan. Jalan Kaliurang, 21 Maret 2016 Mengutuki hujan yang menderas di luaran. * edited soon, perhaps.

Pepe

Sore tadi, demi mengerjakan tugas, saya pergi ke kantor pos pusat di kawasan malioboro bersama wiwin, revul, dan azan. Niat awal kami memang untuk melengkapi tugas, tapi sayang customer service nya tutup jam tiga sore, dan kami baru tiba sekitar jam empat. Karena memang tidak mau rugi sudah sampai di sekitaran malioboro, kami memutuskan untuk jalan-jalan. Pada mulanya kami bingung mau kemana, tapi kemudian kami memutuskan untuk pergi ke mirota batik.  Di perjalanan, tepatnya di daerah sekitar benteng vredeburg, kami menemukan banyak pedagang yang menggelar lapaknya di trotoar. Kebanyakan merupakan ibu-ibu penjual sate limaribuan. Beberapa saat kemudian ada orang yang berkata bahwa ada satpol pp. Beberapa pedagang buru-buru membereskan dagangannya. Saya mencari petugas yang dimaksud, namun saya tidak bisa menemukannya. Jadilah kami melanjutkan perjalanan ke mirota. Sepulang dari mirota batik, kami kembali melewati jalan yang sama dan mampir untuk membeli wedang ronde. Kali ini ...