Skip to main content

Kematian dan Perasaan ; Inspeksi isi hati


Malam ini aku ingin berbicara tentang kematian. Namun bukan kematian ragawi yang aku maksudkan. Malam ini aku akan berceloteh mengenai kematian sesosok makhluk yang pada dasarnya  hidup dalam jiwa setiap individu di seluruh penjuru. Sesosok makhluk yang berjuluk perasaan. Perasaan kepada seseorang, dalam hal ini anggap saja rasa sayang. Perasaan yang paling kompleks. Karena rasa-rasa yang lain terlalu gamblang untuk dianalogikan.Karena pada dasarnya perasaan sedih, kesal, marah, bahagia, cemas dan segala macam rasa yang dicerap dengan hati secara komplit dapat diramu dalam satu rasa. Sayang.
Aku sedih karena dia begini,
Aku kesal melihatnya begitu,
Itu klise, cuk!! (maaf, sedikit kasar mungkin bagi kalian yang memaknai cuk sebagai makian)

Perasaan yang telah mati itu tidak jauh berbeda dengan makhluk hidup yang telah kehilangan kata "hidup" atau dijejali kata "tidak" antara "makhluk" dan "hidup". Menjadi sekedar makhluk. Menjadi makhuk tidak hidup karena memang tidak ada tanda-tanda kehidupan yang terdeteksi.
Laiknya tubuh yang juga telah kehilangan nyawa, perasaan yang mati pada dasarnya telah hancur lebur, terkubur untuk kemudian terurai dalam tanah, menyatu sehingga sudah tidak lagi dapat dikenali. 

Perasaan yang telah mati harus tetap diuji, apakah benar-benar mati atau hanya sekedar mati suri. Harus dipastikan apakah  perasaan tersebut masih bisa bangkit kembali di kemudian hari dan kembali melumpuhkan akal sehat. Perasaan yang mati butuh inspeksi. Pengujian yang tidak cukup hanya sekali. Butuh berkali-kali dari sekali. Pengujian yang butuh waktu lama karena masing-masing perasaan juga punya waktu masing-masing untuk menjadi busuk dan hancur. Butuh dekomposer yang tepat yang dapat menghancurkan perasaan yang sekarat di waktu yang tepat. Sehingga kelak menjadi serpihan kecil yang tidak lagi dikenali. Hancur lebur, namun tetap terjamah karena telah bemetamorfosa. Hancur bukan berarti musnah karena tetap masih ada sisa.




Sebuah tulisan yang ditulis di penghujung jumat dan awal sabtu, masih di minggu pertama Januari tahun ini

Comments

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan Tentang (Kedai) Kopi Yang Coba Saya Jawab Sendiri

Smile coffee and tea Beberapa juta tahun cahaya yang lalu, saya sempat menulis mengenai enam pertimbangan dalam memilih tempat untuk nongkrong . Belakangan saya sadar, sebagian besar tongkrongan saya adalah kedai kopi, atau paling tidak menyediakan kopi dalam daftar menunya. Saya sadar, belakangan kedai kopi di Jogja kian menjamur seperti tugas akhir yang saya biarkan menganggur ketika menulis postingan ini. Sebelumnya, saya ingin meluruskan bahwa saya bukanlah seorang coffee snob  , pendekar, atau apapun itu yang paham fafifu soal perkopian. Hamba sekadar mahasiswa yang butuh ruang yang nyaman untuk bersosialisasi maupun berindividualisasi. Sebagai seorang yang bukan ekstrovert dan nggak introvert-introvert amat, kedai kopi adalah tempat yang sesuai bagi saya untuk sekadar mojok dewean, menulis sesuatu, atau iseng baca webtoon dan yutuban.  Sejujurnya saya merasa postingan ini agak tolol. Kalau mau, bisa saja saya wawancara orang yang betul-betul paham soal kopi. ...

Pertemuan dan Perjumpaan

Entah kenapa aku merasakan perbedaan antara pertemuan dan perjumpaan.  Rasaku bilang: pertemuan menyiratkan sebuah perjanjian, kesepakatan. Pertemuan sarat akan unsur kesengajaan. Bentuk-bentuk intimasi serta kepentingan turut terlibat, erat dan mengikat. Rasaku berucap: perjumpaan merupakan pertemuan yang tak direncanakan. Perjumpaan lebih mengatasnamakan takdir, ketidak sengajaan,  Tolong, jangan mintan penjelasan kenapa rasaku tak bisa menyamakan antara pertemuan dan perjumpaan. Aku bukan anak linguistik, atau manusia yang sehari-hari bergelut dengan ketatabahasaan. Rasaku memiliki logika dan nalarnya sendiri.  Jangan pula tanyakan tentang perpisahan, karena kali ini aku sekadar ingin membahas perjumpaan dan pertemuan. Jalan Kaliurang, 21 Maret 2016 Mengutuki hujan yang menderas di luaran. * edited soon, perhaps.

Pepe

Sore tadi, demi mengerjakan tugas, saya pergi ke kantor pos pusat di kawasan malioboro bersama wiwin, revul, dan azan. Niat awal kami memang untuk melengkapi tugas, tapi sayang customer service nya tutup jam tiga sore, dan kami baru tiba sekitar jam empat. Karena memang tidak mau rugi sudah sampai di sekitaran malioboro, kami memutuskan untuk jalan-jalan. Pada mulanya kami bingung mau kemana, tapi kemudian kami memutuskan untuk pergi ke mirota batik.  Di perjalanan, tepatnya di daerah sekitar benteng vredeburg, kami menemukan banyak pedagang yang menggelar lapaknya di trotoar. Kebanyakan merupakan ibu-ibu penjual sate limaribuan. Beberapa saat kemudian ada orang yang berkata bahwa ada satpol pp. Beberapa pedagang buru-buru membereskan dagangannya. Saya mencari petugas yang dimaksud, namun saya tidak bisa menemukannya. Jadilah kami melanjutkan perjalanan ke mirota. Sepulang dari mirota batik, kami kembali melewati jalan yang sama dan mampir untuk membeli wedang ronde. Kali ini ...