Skip to main content

Tentang Jancuk



Kata jancuk atau djancuk cukup akrab di telinga banyak orang di Indonesia, terutama bagi mereka yang tinggal di daerah Jawa. Jancuk atau sekadar cuk memang biasa diucapkan atau disisipkan dalam percakapan sehari-hari dalam bentuk sapaan atau sebagai pisuhan. Semasa sekolah menengah, saya bahkan cukup sering memanggil teman saya dengan sebutan cuk. Waktu itu, saya rasa kata cuk hanya semacam sapaan untuk memanggil teman yang bisa dibilang cukup akrab atau yang ingin dijadikan  lebih akrab. Belakangan waktu saya menanyakan pada teman asal Jawa Timur, jancuk merupakan semacam umpatan yang artinya tidak jauh berbeda dengan berengsek (cmiiw) .Karena sudah terlanjur terbiasa mengucapkan cuk, saya makin penasaran dengan arti kata tersebut dan mencari maknanya lewat internet.  Berdasarkan hasil googling yang sempat saya lakukan, pengertian jancuk sendiri sebenarnya cukup kasar dan berkaitan dengan hal-hal seksual. Saya sempat mencoba berhenti menggunakan kata jancuk sebagai sapaan, atau paling tidak mengurangi. Tapi, yang namanya kebiasaan pasti susah dihilangkan. Apalagi orang-orang di sekitar saya juga sering menyisipkan kata cuk dalam percakapan mereka.
Diantara kebimbangan saya mengenai jancuk serta peran keseloan saya sebagai Anak Selo Universitas, saya membeli sebuah buku karangan Sudjiwotedjo yang berjudul Republik Jancukers. Saya tertarik dengan kata  jancuk yang justru digunakan untuk mencairkan berbagai bentuk formalitas yang kaku. Jancuk bukan sekedar kata-kata kasar atau makian, namun sudah mengalami perluasan makna. Justru saya lebih sering menggunakan kata jancuk dalam percakapan dengan teman-teman dekat, atau yang ingin saya jadikan teman yang dekat. Jadi, intinya saya kembali pada keyakinan awal saya bahwa jancuk sekedar panggilan sayang bagi mereka yang menjadi bagian dalam hidup saya, sama halnya dengan panggilan cintaah atau bebeh yang juga sering saya gunakan,meskipun saya juga mengakui bahwa saya juga masih menggunakan kata jancuk sebagai pisuhan murni. Jadi, kalau saya memanggil anda cuk, bisa jadi saya memang merasa dekat dengan anda  J




Comments

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan Tentang (Kedai) Kopi Yang Coba Saya Jawab Sendiri

Smile coffee and tea Beberapa juta tahun cahaya yang lalu, saya sempat menulis mengenai enam pertimbangan dalam memilih tempat untuk nongkrong . Belakangan saya sadar, sebagian besar tongkrongan saya adalah kedai kopi, atau paling tidak menyediakan kopi dalam daftar menunya. Saya sadar, belakangan kedai kopi di Jogja kian menjamur seperti tugas akhir yang saya biarkan menganggur ketika menulis postingan ini. Sebelumnya, saya ingin meluruskan bahwa saya bukanlah seorang coffee snob  , pendekar, atau apapun itu yang paham fafifu soal perkopian. Hamba sekadar mahasiswa yang butuh ruang yang nyaman untuk bersosialisasi maupun berindividualisasi. Sebagai seorang yang bukan ekstrovert dan nggak introvert-introvert amat, kedai kopi adalah tempat yang sesuai bagi saya untuk sekadar mojok dewean, menulis sesuatu, atau iseng baca webtoon dan yutuban.  Sejujurnya saya merasa postingan ini agak tolol. Kalau mau, bisa saja saya wawancara orang yang betul-betul paham soal kopi. ...

Pertemuan dan Perjumpaan

Entah kenapa aku merasakan perbedaan antara pertemuan dan perjumpaan.  Rasaku bilang: pertemuan menyiratkan sebuah perjanjian, kesepakatan. Pertemuan sarat akan unsur kesengajaan. Bentuk-bentuk intimasi serta kepentingan turut terlibat, erat dan mengikat. Rasaku berucap: perjumpaan merupakan pertemuan yang tak direncanakan. Perjumpaan lebih mengatasnamakan takdir, ketidak sengajaan,  Tolong, jangan mintan penjelasan kenapa rasaku tak bisa menyamakan antara pertemuan dan perjumpaan. Aku bukan anak linguistik, atau manusia yang sehari-hari bergelut dengan ketatabahasaan. Rasaku memiliki logika dan nalarnya sendiri.  Jangan pula tanyakan tentang perpisahan, karena kali ini aku sekadar ingin membahas perjumpaan dan pertemuan. Jalan Kaliurang, 21 Maret 2016 Mengutuki hujan yang menderas di luaran. * edited soon, perhaps.

Pepe

Sore tadi, demi mengerjakan tugas, saya pergi ke kantor pos pusat di kawasan malioboro bersama wiwin, revul, dan azan. Niat awal kami memang untuk melengkapi tugas, tapi sayang customer service nya tutup jam tiga sore, dan kami baru tiba sekitar jam empat. Karena memang tidak mau rugi sudah sampai di sekitaran malioboro, kami memutuskan untuk jalan-jalan. Pada mulanya kami bingung mau kemana, tapi kemudian kami memutuskan untuk pergi ke mirota batik.  Di perjalanan, tepatnya di daerah sekitar benteng vredeburg, kami menemukan banyak pedagang yang menggelar lapaknya di trotoar. Kebanyakan merupakan ibu-ibu penjual sate limaribuan. Beberapa saat kemudian ada orang yang berkata bahwa ada satpol pp. Beberapa pedagang buru-buru membereskan dagangannya. Saya mencari petugas yang dimaksud, namun saya tidak bisa menemukannya. Jadilah kami melanjutkan perjalanan ke mirota. Sepulang dari mirota batik, kami kembali melewati jalan yang sama dan mampir untuk membeli wedang ronde. Kali ini ...