Skip to main content

Kopi #02


Kopi pertama hari ini, sudah bukan pagi. Pahit karena memang dibuat dengan sedikit gula, sesuai pesananku. Kopi tubruk hitam, seperti biasa. Sengaja tidak kuaduk rata supaya rasa pahitnya lebih kentara. Kunikmati setelah makan coklat pasta sehingga rasa pahitnya benar-benar membuat kedua mataku menjadi lebih terbuka. Sesuai dengan apa yang tengah kulihat di seberang sana. Seorang lelaki, alasan sampinganku duduk disini. Aku yang ditemani coklat pasta seribu dua. Mengamati, berusaha pura-pura tak peduli dengan dia yang tidak duduk  sendiri, namun akrab bercakap dengan seorang perempuan. Kopi ini terasa pahit,dan memang rasanya pahit. Dengan sedikit gula dan tidak diaduk rata. 


Kopi kedua, di hari yang sama dengan kopi hitam dan coklat pasta. Es kopi, kopi instan diblender  dengan krimer dan gula yang sudah teramu jadi satu dalam kemasannya. Kupesan tak lama setelah kopi pertama kunikmati, meski tidak sampai habis karena aku tidak menelan ampasnya. Es kopi instan yang sengaja kupesan dengan niatan awal untuk membuatku merasa lebih baik karena rasanya yang dingin dan manis.
Entah apa yang semesta rencanakan ketika aku sempat bimbang dengan kopi keduaku. Aku memandang ke seberang.  Dua orang tadi  tampak bersiap pergi meski aku tak tahu mereka akan menuju kemana.  Aku berdiri, bilang pada temanku kalau aku ingin pesan kopi lagi. Melangkah serampangan, memesan es kopi instan. Ketika aku tengah mengucapkan pesanan, mereka berdua melintas, lewat  tepat di belakang punggungku.


Tulisan ini buat Ratri, meskipun bukan tentang Ratri, satu-satunya manusia yang saya kenal  yang doyan kopi tubruk sampe ke ampas-ampasnya :)

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan Tentang (Kedai) Kopi Yang Coba Saya Jawab Sendiri

Smile coffee and tea Beberapa juta tahun cahaya yang lalu, saya sempat menulis mengenai enam pertimbangan dalam memilih tempat untuk nongkrong . Belakangan saya sadar, sebagian besar tongkrongan saya adalah kedai kopi, atau paling tidak menyediakan kopi dalam daftar menunya. Saya sadar, belakangan kedai kopi di Jogja kian menjamur seperti tugas akhir yang saya biarkan menganggur ketika menulis postingan ini. Sebelumnya, saya ingin meluruskan bahwa saya bukanlah seorang coffee snob  , pendekar, atau apapun itu yang paham fafifu soal perkopian. Hamba sekadar mahasiswa yang butuh ruang yang nyaman untuk bersosialisasi maupun berindividualisasi. Sebagai seorang yang bukan ekstrovert dan nggak introvert-introvert amat, kedai kopi adalah tempat yang sesuai bagi saya untuk sekadar mojok dewean, menulis sesuatu, atau iseng baca webtoon dan yutuban.  Sejujurnya saya merasa postingan ini agak tolol. Kalau mau, bisa saja saya wawancara orang yang betul-betul paham soal kopi. Tapi, toh

Pertemuan dan Perjumpaan

Entah kenapa aku merasakan perbedaan antara pertemuan dan perjumpaan.  Rasaku bilang: pertemuan menyiratkan sebuah perjanjian, kesepakatan. Pertemuan sarat akan unsur kesengajaan. Bentuk-bentuk intimasi serta kepentingan turut terlibat, erat dan mengikat. Rasaku berucap: perjumpaan merupakan pertemuan yang tak direncanakan. Perjumpaan lebih mengatasnamakan takdir, ketidak sengajaan,  Tolong, jangan mintan penjelasan kenapa rasaku tak bisa menyamakan antara pertemuan dan perjumpaan. Aku bukan anak linguistik, atau manusia yang sehari-hari bergelut dengan ketatabahasaan. Rasaku memiliki logika dan nalarnya sendiri.  Jangan pula tanyakan tentang perpisahan, karena kali ini aku sekadar ingin membahas perjumpaan dan pertemuan. Jalan Kaliurang, 21 Maret 2016 Mengutuki hujan yang menderas di luaran. * edited soon, perhaps.

#ReformasiDikorupsi, #GejayanMemanggil, dan Sebagian Postingan yang Tidak Relevan

Gejayan Memanggil 2