Skip to main content

In the Name of Name





“Apalah arti sebuah nama”, demikian kutipan tentang nama yang sering saya dengar sedari kecil entah dari mana atau dari siapa. Klise, lawas, dan sampai sekarang saya masih belum yakin mengenai makna dalam kutipan tersebut karena memang saya tidak begitu paham asal muasalnya. Mungkin suatu nama tidak sebegitu berarti apabila diperbandingkan dengan suatu rupa. Bisa jadi.
Nama adalah doa, sering juga kita mendengar istilah semacam ini. Karena memang suatu nama dirangkai sedemikian rupa, entah itu terdiri dari hanya satu kata, atau beberapa kata. Entah gabungan nama orangtua, atau nama orang yang sudah dikenal sebelumnya. Bahkan nama orang yang hanya terdiri dari satu kata saja juga punya tujuan. Agar cepat saat mengisi data ujian misalnya. Intinya, dalam rangkaian beberapa kata selalu ada harapan yang tersirat maupun tersurat. Harapan mengenai hal yang baik tentu saja.
Terlepas dari harapan yang terkandung dalam sebuah nama, secara pribadi saya merasa ada kekuatan dalam sebuah nama. Saya jadi teringat dengan beberapa episode dalam serial  Once Upon A Time[1]. Ada sebuah episode dimana penghuni negeri dongeng sangat menuruti penguasa saat itu karena si penguasa meminta bantuan kepada penguasa kegelapan yang memiliki kekuatan besar. Konon sang penguasa dapat mengendalikan penguasa kegelapan karena sang penguasa memiliki belati dengan tulisan nama asli penguasa kegelapan. Siapapun yang mengetahui nama asli penguasa kegelapan dan berhasil membinasakannya dengan belati tersebut akan mendapatkan kekuatan besar yang dimiliki penguasa kegelapan. Disini terlihat betapa besar pengaruh sebuah nama serta kekuatan yang dimilikinya apabila kita sekedar tahu sebuah nama dan pemiliknya.
Well, to be honest, di dunia nyata pun dengan mengetahui nama seseorang seakan merupakan suatu bentuk kekuatan. Entah mana yang lebih menarik. Mengenal rupa, ataukah nama lebih dahulu. Namun daripada sekedar mengenal seseorang lewat wajah, mengetahui nama bisa jadi merupakan nilai tambah. Misalnya saja kita merasa familiar dengan seseorang yang ternyata sering kita temui di tempat tongkrongan. Daripada sekedar memanggil dengan sebutan masnya atau mbaknya, lebih komplit rasanya kalau kita tahu nama mereka. Lain halnya kalau kita sekedar tahu nama seseorang karena memang unik tanpa tahu wajah. Mengetahui sekedar nama tanpa pernah bertemu atau paling tidak melihat wajah secara langsung terkadang membuat kita mereka-reka sendiri bagaimana rupa si pemilik nama, atau bahkan berekspektasi terlalu tinggi .  
Bagi saya, mengetahui nama merupakan semacam bentuk penghargaan. Saya tidak keberatan dikenal sebagai adik dari  siapa ataupun anak dari siapa. Tapi saya lebih merasa ‘ada’ apabila seseorang memanggil saya dengan nama. Nama saya tentunya, atau paling tidak potongan kata  yang menjadi bagian dari nama lengkap saya. Meskipun jujur saya pernah beberapa kali dipanggil oleh orang yang saya rasa tidak familiar, namun saya menghargai hal tersebut. Nama, merupakan  sebuah kekuatan. Kekuatan untuk mendapatkan informasi lebih.





[1] Semacam serial televisi yang bercerita mengenai tokoh-tokoh dongeng terkenal dengan jalan cerita yang berbeda  diadaptasi dengan masa sekarang. Mereka dikisahkan menjadi bagian  dalam suatu kutukan sehingga terjebak di suatu wilayah bernama Storybrooke.







Comments

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan Tentang (Kedai) Kopi Yang Coba Saya Jawab Sendiri

Smile coffee and tea Beberapa juta tahun cahaya yang lalu, saya sempat menulis mengenai enam pertimbangan dalam memilih tempat untuk nongkrong . Belakangan saya sadar, sebagian besar tongkrongan saya adalah kedai kopi, atau paling tidak menyediakan kopi dalam daftar menunya. Saya sadar, belakangan kedai kopi di Jogja kian menjamur seperti tugas akhir yang saya biarkan menganggur ketika menulis postingan ini. Sebelumnya, saya ingin meluruskan bahwa saya bukanlah seorang coffee snob  , pendekar, atau apapun itu yang paham fafifu soal perkopian. Hamba sekadar mahasiswa yang butuh ruang yang nyaman untuk bersosialisasi maupun berindividualisasi. Sebagai seorang yang bukan ekstrovert dan nggak introvert-introvert amat, kedai kopi adalah tempat yang sesuai bagi saya untuk sekadar mojok dewean, menulis sesuatu, atau iseng baca webtoon dan yutuban.  Sejujurnya saya merasa postingan ini agak tolol. Kalau mau, bisa saja saya wawancara orang yang betul-betul paham soal kopi. Tapi, toh

Pertemuan dan Perjumpaan

Entah kenapa aku merasakan perbedaan antara pertemuan dan perjumpaan.  Rasaku bilang: pertemuan menyiratkan sebuah perjanjian, kesepakatan. Pertemuan sarat akan unsur kesengajaan. Bentuk-bentuk intimasi serta kepentingan turut terlibat, erat dan mengikat. Rasaku berucap: perjumpaan merupakan pertemuan yang tak direncanakan. Perjumpaan lebih mengatasnamakan takdir, ketidak sengajaan,  Tolong, jangan mintan penjelasan kenapa rasaku tak bisa menyamakan antara pertemuan dan perjumpaan. Aku bukan anak linguistik, atau manusia yang sehari-hari bergelut dengan ketatabahasaan. Rasaku memiliki logika dan nalarnya sendiri.  Jangan pula tanyakan tentang perpisahan, karena kali ini aku sekadar ingin membahas perjumpaan dan pertemuan. Jalan Kaliurang, 21 Maret 2016 Mengutuki hujan yang menderas di luaran. * edited soon, perhaps.

#ReformasiDikorupsi, #GejayanMemanggil, dan Sebagian Postingan yang Tidak Relevan

Gejayan Memanggil 2