Kopi pertama yang
kuseduh sendiri pagi ini. Sendiri, hanya secangkir dan hanya untukku yang
memang igin menikmatinya sendiri. Entah cangkir keberapa yang kuseduh selama
aku jatuh cinta pada kopi. Kopi yang banyak orang sebut kopi hitam, padahal
warnanya tak selalu hitam legam laiknya arang. Warnaya coklat, coklat tua tepatnya. Tapi sebagian besar orang sudah terlanjur
memberikan julukan hitam. Rasis? Bukan
juga. Cuma kebiasaan.
Entah kenapa aku merasakan perbedaan antara pertemuan dan perjumpaan. Rasaku bilang: pertemuan menyiratkan sebuah perjanjian, kesepakatan. Pertemuan sarat akan unsur kesengajaan. Bentuk-bentuk intimasi serta kepentingan turut terlibat, erat dan mengikat. Rasaku berucap: perjumpaan merupakan pertemuan yang tak direncanakan. Perjumpaan lebih mengatasnamakan takdir, ketidak sengajaan, Tolong, jangan mintan penjelasan kenapa rasaku tak bisa menyamakan antara pertemuan dan perjumpaan. Aku bukan anak linguistik, atau manusia yang sehari-hari bergelut dengan ketatabahasaan. Rasaku memiliki logika dan nalarnya sendiri. Jangan pula tanyakan tentang perpisahan, karena kali ini aku sekadar ingin membahas perjumpaan dan pertemuan. Jalan Kaliurang, 21 Maret 2016 Mengutuki hujan yang menderas di luaran. * edited soon, perhaps.
Comments
Post a Comment