Skip to main content

Silau


Diluar hujan masih mengguyur dengan teratur. Kilat menyambar, segalanya tampak terang sesaat. Petir menggelegar, memecah suara rintik hujan yang kian deras. Hari sudah petang, dan Abigail sedang berada di dalam rumah kecilnya seorang diri. Segalanya hanya tampak remang-remang. Hanya ada sebuah lampu meja dengan warna krem yang menjadi sumber penerangan.
Di luar suara hujan masih terdengat teratur dan berirama. Tidak makin cepat, atau makin lambat. Kilat kembali menyambar, seketika segalanya  gelap. Gelap segelap-gelapnya, seperti saat kita sedang tidur dan menutup mata rapat-rapat karena  lampu meja yang tadinya menyala juga ikut padam bersama dengan kilatan yang baru saja lewat. Lampu-lampu indikator pada barang-barang elektronik lain juga ikut padam.
Abigail meraba dalam kegelapan yang nyata. Tangannya menelusur ranjang dan perabotan, mencari telepon selularnya yang paling tidak bisa menjadi sumber cahaya sementara. Setelah ketemu, barulah Abby ingat pada sebatang lilin yang tersimpan di laci kamarnya bersama dengan pemantik api. Diambilnya lilin serta pemantik, kemudian dinyalakannya lilin tersebut dengan menggunakan pemantik warna merah muda. Lumayan, segalanya jadi lebih kelihatan. Diletakannya lilin menyala pada asbak kaca yang setengah terisi abu rokok, kemudian ditempatkannya di atas meja kecil agar nyala terangnya bisa makin menyebar. Tiga ekor serangga kecil datang entah dari mana mendekati sumber cahaya. Bentuknya mirip semut, berwarna coklat kemerahan, namun bersayap dan berukuran sedikit lebih besar. Mereka berkeliling mengitari nyala lilin, seperti semacam  ritual pemujaan terhadap sesuatu yang mereka anggap menakjubkan. Berputar  dan makin dekat, makin merapat seakan terhipotis oleh terangnya cahaya yang menyilaukan mata. Sangat dekat, bahkan terlalu dekat sehingga satu dari mereka tersulut nyala api pada bagian sayapnya. Tubuhnya ikut tersambar dan mulai meletup. Memberikan efek percikan api kecil selama sesaat.  Sementara dua serangga  temannya tampak menjaga jarak,dan kemudian menghilang, tersadar akan apa yang sebelumnya menyilaukan mereka.
            

Comments

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan Tentang (Kedai) Kopi Yang Coba Saya Jawab Sendiri

Smile coffee and tea Beberapa juta tahun cahaya yang lalu, saya sempat menulis mengenai enam pertimbangan dalam memilih tempat untuk nongkrong . Belakangan saya sadar, sebagian besar tongkrongan saya adalah kedai kopi, atau paling tidak menyediakan kopi dalam daftar menunya. Saya sadar, belakangan kedai kopi di Jogja kian menjamur seperti tugas akhir yang saya biarkan menganggur ketika menulis postingan ini. Sebelumnya, saya ingin meluruskan bahwa saya bukanlah seorang coffee snob  , pendekar, atau apapun itu yang paham fafifu soal perkopian. Hamba sekadar mahasiswa yang butuh ruang yang nyaman untuk bersosialisasi maupun berindividualisasi. Sebagai seorang yang bukan ekstrovert dan nggak introvert-introvert amat, kedai kopi adalah tempat yang sesuai bagi saya untuk sekadar mojok dewean, menulis sesuatu, atau iseng baca webtoon dan yutuban.  Sejujurnya saya merasa postingan ini agak tolol. Kalau mau, bisa saja saya wawancara orang yang betul-betul paham soal kopi. ...

Pertemuan dan Perjumpaan

Entah kenapa aku merasakan perbedaan antara pertemuan dan perjumpaan.  Rasaku bilang: pertemuan menyiratkan sebuah perjanjian, kesepakatan. Pertemuan sarat akan unsur kesengajaan. Bentuk-bentuk intimasi serta kepentingan turut terlibat, erat dan mengikat. Rasaku berucap: perjumpaan merupakan pertemuan yang tak direncanakan. Perjumpaan lebih mengatasnamakan takdir, ketidak sengajaan,  Tolong, jangan mintan penjelasan kenapa rasaku tak bisa menyamakan antara pertemuan dan perjumpaan. Aku bukan anak linguistik, atau manusia yang sehari-hari bergelut dengan ketatabahasaan. Rasaku memiliki logika dan nalarnya sendiri.  Jangan pula tanyakan tentang perpisahan, karena kali ini aku sekadar ingin membahas perjumpaan dan pertemuan. Jalan Kaliurang, 21 Maret 2016 Mengutuki hujan yang menderas di luaran. * edited soon, perhaps.

Pepe

Sore tadi, demi mengerjakan tugas, saya pergi ke kantor pos pusat di kawasan malioboro bersama wiwin, revul, dan azan. Niat awal kami memang untuk melengkapi tugas, tapi sayang customer service nya tutup jam tiga sore, dan kami baru tiba sekitar jam empat. Karena memang tidak mau rugi sudah sampai di sekitaran malioboro, kami memutuskan untuk jalan-jalan. Pada mulanya kami bingung mau kemana, tapi kemudian kami memutuskan untuk pergi ke mirota batik.  Di perjalanan, tepatnya di daerah sekitar benteng vredeburg, kami menemukan banyak pedagang yang menggelar lapaknya di trotoar. Kebanyakan merupakan ibu-ibu penjual sate limaribuan. Beberapa saat kemudian ada orang yang berkata bahwa ada satpol pp. Beberapa pedagang buru-buru membereskan dagangannya. Saya mencari petugas yang dimaksud, namun saya tidak bisa menemukannya. Jadilah kami melanjutkan perjalanan ke mirota. Sepulang dari mirota batik, kami kembali melewati jalan yang sama dan mampir untuk membeli wedang ronde. Kali ini ...