Skip to main content

Anak baik-baik

Hari ini hari minggu. Diana pergi beribadah bersama kedua orangtuanya. Mereka hanya bertiga, karena kebetulan anak pertama dari suami ibunya Diana belum kembali dari pengembaraannya. Ya sudah, mau bagaimana lagi. Toh kesempatan semacam ini langka, sangat jarang terjadi.Jarang sekali.

Kali ini Diana menjadi anak baik-baik. Duduk ditengah, diantara papa dan mamanya. Duduk manis, tenang tanpa banyak bicara. Tidak berceloteh mengenai kelakuan orang-orang di sekitarnya. Seperti sosok anak idaman, tidak tertarik untuk berlarian seakan tidak punya teman. Seakan hanya ada papa dan mamanya yang dia kenal. Tidak berisik ataupun mengkritik, hanya sesekali membalas bacaan serta doa yang memang butuh balasan. Patuh, tidak banyak mengeluh, meski dalam isi kepalanya mengembara , berkelana sampai jauh.Siapa peduli? Lagipula yang dilihat para manusia sekitarnya hanyalah raga. Raga yang duduk manis, diam, dan tidak berisik. Yah, sekali-sekali tak apalah. Toh Diana jarang bisa dan mau begini. Jarang sekali. 


Comments

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan Tentang (Kedai) Kopi Yang Coba Saya Jawab Sendiri

Smile coffee and tea Beberapa juta tahun cahaya yang lalu, saya sempat menulis mengenai enam pertimbangan dalam memilih tempat untuk nongkrong . Belakangan saya sadar, sebagian besar tongkrongan saya adalah kedai kopi, atau paling tidak menyediakan kopi dalam daftar menunya. Saya sadar, belakangan kedai kopi di Jogja kian menjamur seperti tugas akhir yang saya biarkan menganggur ketika menulis postingan ini. Sebelumnya, saya ingin meluruskan bahwa saya bukanlah seorang coffee snob  , pendekar, atau apapun itu yang paham fafifu soal perkopian. Hamba sekadar mahasiswa yang butuh ruang yang nyaman untuk bersosialisasi maupun berindividualisasi. Sebagai seorang yang bukan ekstrovert dan nggak introvert-introvert amat, kedai kopi adalah tempat yang sesuai bagi saya untuk sekadar mojok dewean, menulis sesuatu, atau iseng baca webtoon dan yutuban.  Sejujurnya saya merasa postingan ini agak tolol. Kalau mau, bisa saja saya wawancara orang yang betul-betul paham soal kopi. Tapi, toh

Pertemuan dan Perjumpaan

Entah kenapa aku merasakan perbedaan antara pertemuan dan perjumpaan.  Rasaku bilang: pertemuan menyiratkan sebuah perjanjian, kesepakatan. Pertemuan sarat akan unsur kesengajaan. Bentuk-bentuk intimasi serta kepentingan turut terlibat, erat dan mengikat. Rasaku berucap: perjumpaan merupakan pertemuan yang tak direncanakan. Perjumpaan lebih mengatasnamakan takdir, ketidak sengajaan,  Tolong, jangan mintan penjelasan kenapa rasaku tak bisa menyamakan antara pertemuan dan perjumpaan. Aku bukan anak linguistik, atau manusia yang sehari-hari bergelut dengan ketatabahasaan. Rasaku memiliki logika dan nalarnya sendiri.  Jangan pula tanyakan tentang perpisahan, karena kali ini aku sekadar ingin membahas perjumpaan dan pertemuan. Jalan Kaliurang, 21 Maret 2016 Mengutuki hujan yang menderas di luaran. * edited soon, perhaps.

#ReformasiDikorupsi, #GejayanMemanggil, dan Sebagian Postingan yang Tidak Relevan

Gejayan Memanggil 2