Skip to main content

Manusia Baliho




Siang menjelang sore, aku memacu motorku perlahan untuk pulang. Pulang, menuju ke tempat yang tertera dalam kartu tanda pengenalku. Melewati sebuah perempatan lampu merah dekat kampus yang selalu padat kendaraan. Keramaian ini mungkin menjadi salahsatu alasan keberadaan banyak papan iklan di daerah tersebut. Papan iklan dengan ukuran yang sangat besar, sehingga apabila dijatuhkan  bisa saja menutupi sebagian besar jalan. Baliho, yang tidak lepas dari unsur manusia. Manusia baliho.
Manusia baliho, begitu julukan yang kuberikan pada mereka. Salah bila kamu kira mereka adalah wajah-wajah tampan atau cantik yang mengisi baliho dan memikat orang-orang untuk membeli produk yang dijajakan. Mereka bukanlah pemilik wajah rupawan yang membuat manusia yang melintas menjadi terkesan. Mereka adalah manusia yang berasal entah dari mana, namun kemudian menempati sebuah ruang beralaskan tanah di balik baliho besar. Baliho yang cukup tinggi lebar untuk menghalangi teriknya matahari yang bersinar tengah hari.
Aku sebelumnya tidak begitu menyadari keberadaan mereka. Mungkin memang karena aku tidak peka dan mau membuka mata melihat fenomena. Kalau saja siang menjelang sore itu aku tidak mendapat jatah lampu merah dan melihat sesosok bocah kecil dekil, entah apa jenis kelaminnya, yang sedang dimandikan ibunya. Tubuh mungilnya diguyur cairan bening dari botol air mineral, kemudian dibalut handuk kumal. Sepasang sepatu sandal  terbuat dari karet dengan warna pink berbentuk menyerupai merk buaya tampak  berjajar di atas batu, kemudian jatuh satu tersenggol seorang bocah lelaki dengan usia yang lebih tua. Sepertinya milik si kecil yang dimandikan tadi. Lampu merah berubah hijau. Aku kembali melaju, pelan, belum bisa melepaskan pikiranku dari manusia baliho.
Hari-hari berikutnya, aku tidak bisa menahan diriku untuk memperlambat laju kendaraanku, mengamati mereka kembali, manusia baliho, yang sampai sekarang aku tidak hapal wajahnya.  Sayang terkadang lampu hijau yang kebetulan menyala ketika aku melintas membuatku tidak bisa mengamati mereka lebih lama. Entah mereka memang menetap, atau hanya sekedar beristirahat. Yang aku tahu, mereka sering disana, dibalik baliho besar. Bahkan ketika petang dan hampir hujan, mereka masih ada.
                                    






Comments

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan Tentang (Kedai) Kopi Yang Coba Saya Jawab Sendiri

Smile coffee and tea Beberapa juta tahun cahaya yang lalu, saya sempat menulis mengenai enam pertimbangan dalam memilih tempat untuk nongkrong . Belakangan saya sadar, sebagian besar tongkrongan saya adalah kedai kopi, atau paling tidak menyediakan kopi dalam daftar menunya. Saya sadar, belakangan kedai kopi di Jogja kian menjamur seperti tugas akhir yang saya biarkan menganggur ketika menulis postingan ini. Sebelumnya, saya ingin meluruskan bahwa saya bukanlah seorang coffee snob  , pendekar, atau apapun itu yang paham fafifu soal perkopian. Hamba sekadar mahasiswa yang butuh ruang yang nyaman untuk bersosialisasi maupun berindividualisasi. Sebagai seorang yang bukan ekstrovert dan nggak introvert-introvert amat, kedai kopi adalah tempat yang sesuai bagi saya untuk sekadar mojok dewean, menulis sesuatu, atau iseng baca webtoon dan yutuban.  Sejujurnya saya merasa postingan ini agak tolol. Kalau mau, bisa saja saya wawancara orang yang betul-betul paham soal kopi. Tapi, toh

Pertemuan dan Perjumpaan

Entah kenapa aku merasakan perbedaan antara pertemuan dan perjumpaan.  Rasaku bilang: pertemuan menyiratkan sebuah perjanjian, kesepakatan. Pertemuan sarat akan unsur kesengajaan. Bentuk-bentuk intimasi serta kepentingan turut terlibat, erat dan mengikat. Rasaku berucap: perjumpaan merupakan pertemuan yang tak direncanakan. Perjumpaan lebih mengatasnamakan takdir, ketidak sengajaan,  Tolong, jangan mintan penjelasan kenapa rasaku tak bisa menyamakan antara pertemuan dan perjumpaan. Aku bukan anak linguistik, atau manusia yang sehari-hari bergelut dengan ketatabahasaan. Rasaku memiliki logika dan nalarnya sendiri.  Jangan pula tanyakan tentang perpisahan, karena kali ini aku sekadar ingin membahas perjumpaan dan pertemuan. Jalan Kaliurang, 21 Maret 2016 Mengutuki hujan yang menderas di luaran. * edited soon, perhaps.

#ReformasiDikorupsi, #GejayanMemanggil, dan Sebagian Postingan yang Tidak Relevan

Gejayan Memanggil 2