Pada Suatu hari saya lapar. Namun saya sadar isi dompet saya tidak memadai untuk memenuhi hasrat saya menyantap makanan dengan rasa sensasional. Kemudian saya memutuskan untuk menuju ke salahsatu angkringan yang saya tahu rasa makanannya cukup enak. Akantetapi ketika sudah dekat dengan angkringan tersebut, saya memutuskan untuk tidak jadi makan di angkringan karena saya melihat beberapa orang yang entah kenapa membuat saya merasa tidak (ny)aman. Dan saya memutuskan tidak jadi makan di tempat tersebut. Tamat.
Smile coffee and tea Beberapa juta tahun cahaya yang lalu, saya sempat menulis mengenai enam pertimbangan dalam memilih tempat untuk nongkrong . Belakangan saya sadar, sebagian besar tongkrongan saya adalah kedai kopi, atau paling tidak menyediakan kopi dalam daftar menunya. Saya sadar, belakangan kedai kopi di Jogja kian menjamur seperti tugas akhir yang saya biarkan menganggur ketika menulis postingan ini. Sebelumnya, saya ingin meluruskan bahwa saya bukanlah seorang coffee snob , pendekar, atau apapun itu yang paham fafifu soal perkopian. Hamba sekadar mahasiswa yang butuh ruang yang nyaman untuk bersosialisasi maupun berindividualisasi. Sebagai seorang yang bukan ekstrovert dan nggak introvert-introvert amat, kedai kopi adalah tempat yang sesuai bagi saya untuk sekadar mojok dewean, menulis sesuatu, atau iseng baca webtoon dan yutuban. Sejujurnya saya merasa postingan ini agak tolol. Kalau mau, bisa saja saya wawancara orang yang betul-betul paham soal kopi. ...
Comments
Post a Comment