Skip to main content

Roti menuju dewasa

Hari ini, atas nama keseloan , saya menemani sepupu saya nonton film. Seperti yang sudah-sudah, kami biasanya memilih untuk nonton di amplas, sekalian makan dan jalan-jalan. Dan lagi-lagi seperti yang sudah-sudah, setiap ke amplas kami selalu menyempatkan diri membeli roti  yang dikenal dengan roti b (sebut saja begitu) . Setahu saya, kalau di Jogja  roti ini cuma ada di amplas, tepatnya lantai paling bawah, disamping toko obat . Memang ada sih roti yang jadi kloningan roti ini di malioboro mall, tapi rasanya tidak seenak roti b yang saya kenal.
Saya lupa kapan tepatnya saya mengenal roti ini. Tapi, sesuai namanya, roti ini mengingatkan saya pada sesosok anak laki-laki  kecil lucu dengan pipi gembul yang menggemaskan dan gigit-able. Roti b memiliki aroma yang khas serta lapisan luar yang renyah beraroma kopi dengan rasa yang pas, setidaknya bagi saya. Rasa bagian dalamnya juga khas dan membuat satu gigitan atau bahkan satu biji roti b ini tidak cukup bagi saya, sesuai dengan taglinenya. Tapi, entah ini hanya perasaan saya saja atau efek dari kopi hitam tanpa gula yang saya nikmati bersama roti b siang tadi, sepertinya roti b yang saya beli berbeda dengan biasanya. Saya tidak mendapatkan sensasi renyah seperti yang saya rasakan. Saya curiga, mungkin si bocah  laki-laki  kecil lucu dengan pipi gembul yang menggemaskan dan gigit-able itu tadi sedang bertumbuh menuju dewasa. Atau dengan kata lain, roti b sedang ada pada tahap remaja karena memang remaja dikenal berkepribadian labil dan cenderung belum konsisten dengan jati dirinya.  Tapi saya berharap roti b tetap menjadi sosok bocah  laki-laki  kecil lucu dengan pipi gembul yang menggemaskan dan gigit-able itu tadi.  Kalau roti b sudah menjadi dewasa, entahlah bagaimana rasanya. Saya juga berharap semoga perubahan rasa ini hanya sekadar perasaan saya saja.



Comments

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan Tentang (Kedai) Kopi Yang Coba Saya Jawab Sendiri

Smile coffee and tea Beberapa juta tahun cahaya yang lalu, saya sempat menulis mengenai enam pertimbangan dalam memilih tempat untuk nongkrong . Belakangan saya sadar, sebagian besar tongkrongan saya adalah kedai kopi, atau paling tidak menyediakan kopi dalam daftar menunya. Saya sadar, belakangan kedai kopi di Jogja kian menjamur seperti tugas akhir yang saya biarkan menganggur ketika menulis postingan ini. Sebelumnya, saya ingin meluruskan bahwa saya bukanlah seorang coffee snob  , pendekar, atau apapun itu yang paham fafifu soal perkopian. Hamba sekadar mahasiswa yang butuh ruang yang nyaman untuk bersosialisasi maupun berindividualisasi. Sebagai seorang yang bukan ekstrovert dan nggak introvert-introvert amat, kedai kopi adalah tempat yang sesuai bagi saya untuk sekadar mojok dewean, menulis sesuatu, atau iseng baca webtoon dan yutuban.  Sejujurnya saya merasa postingan ini agak tolol. Kalau mau, bisa saja saya wawancara orang yang betul-betul paham soal kopi. Tapi, toh

Pertemuan dan Perjumpaan

Entah kenapa aku merasakan perbedaan antara pertemuan dan perjumpaan.  Rasaku bilang: pertemuan menyiratkan sebuah perjanjian, kesepakatan. Pertemuan sarat akan unsur kesengajaan. Bentuk-bentuk intimasi serta kepentingan turut terlibat, erat dan mengikat. Rasaku berucap: perjumpaan merupakan pertemuan yang tak direncanakan. Perjumpaan lebih mengatasnamakan takdir, ketidak sengajaan,  Tolong, jangan mintan penjelasan kenapa rasaku tak bisa menyamakan antara pertemuan dan perjumpaan. Aku bukan anak linguistik, atau manusia yang sehari-hari bergelut dengan ketatabahasaan. Rasaku memiliki logika dan nalarnya sendiri.  Jangan pula tanyakan tentang perpisahan, karena kali ini aku sekadar ingin membahas perjumpaan dan pertemuan. Jalan Kaliurang, 21 Maret 2016 Mengutuki hujan yang menderas di luaran. * edited soon, perhaps.

#ReformasiDikorupsi, #GejayanMemanggil, dan Sebagian Postingan yang Tidak Relevan

Gejayan Memanggil 2