Skip to main content

Sayonara

Pagi ini pakaianku sudah rapi. Kemeja putih ditemani rok kotak-kotak dan sepatu putih, seragam hari ini. Dan untuk kesekian kali aku datang lagi ke bangunan itu. Bangunan yang selalu ku kunjungi selama tigakali tigaratus enampuluh lima hari, dikurangi libur tentunya. Bertemu manusia-manusia senasib yang selama kurun waktu yang kurang lebih sama menjalani rutinitas yang serupa. Mereka masih tampak sama dengan senyum yang melengkung di bibir mereka masing-masing. Ada sedikit kecemasan tersirat dalam pandangan mata mereka. 

Kami dikumpulkan di aula, mendengarkan  hal-hal praktis dan petuah, selanjutnya menuju kelas masing-masing. Ruangan kelas yang terakhir kami tempati.  Amplop dibagikan. Wali kelas mengingatkan, apabila berhasil, tengoklah kiri-kanan, jangan langsung bersorak kegirangan. 

"Lihatlah sekitar, apakah kalian berhasil bersama ataukah tidak."

Hening meliputi kelas kami. Terdengar sorakan dari kelas sebelah. Kami membuka amplop masing-masing. Beberapa bersorak, tapi aku masih diam mengamati wajah-wajah mereka satu persatu. Ada beberapa dari mereka yang mendapat amplop kosong. Segala keriuhan yang muncul mereda. Berganti rasa cemas atas nama solidaritas. Beberapa pelupuk tampak basah. Isak tangis terdengar. Ada yang tampak kebingungan, menghadapi amplop kosong ditangannya.


"Bagi kalian yang merasa isi amplopnya berbeda, silakan kedepan" wali kelas kembali bicara.

Beberapa orang maju, kembali menerima amplop dengan ukuran yang berbeda dan membukanya. Ternyata kami lulus semua. Sayonara.





*Mengenang pengumuman kelulusan tahun lalu, saya sendiri lupa detail cerita sebenarnya (._.)v

Comments

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan Tentang (Kedai) Kopi Yang Coba Saya Jawab Sendiri

Smile coffee and tea Beberapa juta tahun cahaya yang lalu, saya sempat menulis mengenai enam pertimbangan dalam memilih tempat untuk nongkrong . Belakangan saya sadar, sebagian besar tongkrongan saya adalah kedai kopi, atau paling tidak menyediakan kopi dalam daftar menunya. Saya sadar, belakangan kedai kopi di Jogja kian menjamur seperti tugas akhir yang saya biarkan menganggur ketika menulis postingan ini. Sebelumnya, saya ingin meluruskan bahwa saya bukanlah seorang coffee snob  , pendekar, atau apapun itu yang paham fafifu soal perkopian. Hamba sekadar mahasiswa yang butuh ruang yang nyaman untuk bersosialisasi maupun berindividualisasi. Sebagai seorang yang bukan ekstrovert dan nggak introvert-introvert amat, kedai kopi adalah tempat yang sesuai bagi saya untuk sekadar mojok dewean, menulis sesuatu, atau iseng baca webtoon dan yutuban.  Sejujurnya saya merasa postingan ini agak tolol. Kalau mau, bisa saja saya wawancara orang yang betul-betul paham soal kopi. Tapi, toh

Pertemuan dan Perjumpaan

Entah kenapa aku merasakan perbedaan antara pertemuan dan perjumpaan.  Rasaku bilang: pertemuan menyiratkan sebuah perjanjian, kesepakatan. Pertemuan sarat akan unsur kesengajaan. Bentuk-bentuk intimasi serta kepentingan turut terlibat, erat dan mengikat. Rasaku berucap: perjumpaan merupakan pertemuan yang tak direncanakan. Perjumpaan lebih mengatasnamakan takdir, ketidak sengajaan,  Tolong, jangan mintan penjelasan kenapa rasaku tak bisa menyamakan antara pertemuan dan perjumpaan. Aku bukan anak linguistik, atau manusia yang sehari-hari bergelut dengan ketatabahasaan. Rasaku memiliki logika dan nalarnya sendiri.  Jangan pula tanyakan tentang perpisahan, karena kali ini aku sekadar ingin membahas perjumpaan dan pertemuan. Jalan Kaliurang, 21 Maret 2016 Mengutuki hujan yang menderas di luaran. * edited soon, perhaps.

#ReformasiDikorupsi, #GejayanMemanggil, dan Sebagian Postingan yang Tidak Relevan

Gejayan Memanggil 2