Skip to main content

Suatu Senja


Senja beranjak, petang menjelang.  Di luar tampak gerimis yang sepertinya tidak berkesudahan. Namun tekadku untuk keluar rumah sudah bulat. Gerimis yang bisa saja mengganas menjadi hujan bukan alasan untuk tidak pergi sore ini. Kudengar adzan maghrib berkumandang. Kuputuskan untuk menunggunya berlalu, baru kemudian aku mengenakan jas hujanku,  menyalakan motorku baru kemudian meluncur ke jalanan.Kali ini aku punya tujuan, bukan sekedar keluyuran tanpa alasan. Aku ingin menonton pertunjukan musik yang kebetulan letaknya tidak sebegitu jauh dari tempat yang kupanggil rumah. Selain gratis, event besar macam ini memang sangat sayang untuk dilewatkan.
Jalanan cukup sepi. Sepertinya para manusia lainnya tengah enggan berurusan dengan aspal yang basah dan lebih memilih kenyamanan di pernaungan mereka masing-masing. Aku masih mengendarai motorku tak terlalu merasa terburu. Aspal yang masih basah cukup licin terguyur hujan yang menggerims mencegah niatku untuk mempercepat laju motorku. Tidak ngebut , tidak lambat. Kecepatan yang cukup ideal untuk menikmati hujan gerimis di jalanan.
Tempat tujuanku tak jauh lagi. Tinggal melewati satu belokan yang agak menanjak di pertigaan dengan jalan yang tidak terlalu lebar. Dan dengan sedikit hambatan kemacetan, aku sudah tiba di parkiran, kemudian berjalan di tempat diadakannya pertunjukan musik tersebut.
Aku berjalan sendirian menuju salahsatu diantara beberapa panggung yang tersedia. Aku tidak takut. Wilayah ini dipenuhi ratusan orang. Orang-orang  yang sebagian besar tidak kukenal. Jadi, untuk apa takut. Toh jika aku menunjukkan gelagat ketakutan, tentu aku malah akan tampak sebagai perempuan lemah yang tanpa perlindungan.Oke, aku memang tanpa perlindungan, tapi aku bukan perempuan lemah. Atau paling tidak aku menyelubunginya dengan tingkahku yang songong.Karena orang memang cenderung percaya dengan apa yang mereka lihat dengan mata.



Comments

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan Tentang (Kedai) Kopi Yang Coba Saya Jawab Sendiri

Smile coffee and tea Beberapa juta tahun cahaya yang lalu, saya sempat menulis mengenai enam pertimbangan dalam memilih tempat untuk nongkrong . Belakangan saya sadar, sebagian besar tongkrongan saya adalah kedai kopi, atau paling tidak menyediakan kopi dalam daftar menunya. Saya sadar, belakangan kedai kopi di Jogja kian menjamur seperti tugas akhir yang saya biarkan menganggur ketika menulis postingan ini. Sebelumnya, saya ingin meluruskan bahwa saya bukanlah seorang coffee snob  , pendekar, atau apapun itu yang paham fafifu soal perkopian. Hamba sekadar mahasiswa yang butuh ruang yang nyaman untuk bersosialisasi maupun berindividualisasi. Sebagai seorang yang bukan ekstrovert dan nggak introvert-introvert amat, kedai kopi adalah tempat yang sesuai bagi saya untuk sekadar mojok dewean, menulis sesuatu, atau iseng baca webtoon dan yutuban.  Sejujurnya saya merasa postingan ini agak tolol. Kalau mau, bisa saja saya wawancara orang yang betul-betul paham soal kopi. Tapi, toh

Pertemuan dan Perjumpaan

Entah kenapa aku merasakan perbedaan antara pertemuan dan perjumpaan.  Rasaku bilang: pertemuan menyiratkan sebuah perjanjian, kesepakatan. Pertemuan sarat akan unsur kesengajaan. Bentuk-bentuk intimasi serta kepentingan turut terlibat, erat dan mengikat. Rasaku berucap: perjumpaan merupakan pertemuan yang tak direncanakan. Perjumpaan lebih mengatasnamakan takdir, ketidak sengajaan,  Tolong, jangan mintan penjelasan kenapa rasaku tak bisa menyamakan antara pertemuan dan perjumpaan. Aku bukan anak linguistik, atau manusia yang sehari-hari bergelut dengan ketatabahasaan. Rasaku memiliki logika dan nalarnya sendiri.  Jangan pula tanyakan tentang perpisahan, karena kali ini aku sekadar ingin membahas perjumpaan dan pertemuan. Jalan Kaliurang, 21 Maret 2016 Mengutuki hujan yang menderas di luaran. * edited soon, perhaps.

#ReformasiDikorupsi, #GejayanMemanggil, dan Sebagian Postingan yang Tidak Relevan

Gejayan Memanggil 2