Skip to main content

Bekas Luka

Hari sudah petang ketika manusia-manusia nokturnal mulai keluar, menjalani rutinitas manusia normal dengan waktu yang berkebalikan. Mereka bukan vampir ataupun drakula. Mereka hanya terlanjur terjebak dalam rutinitas yang sama; tidur terlalu larut atau bahkan terlalu pagi sehingga menjadi terlalu lelah untuk bangun dan memilih untuk melanjutkan tidur hingga senja lewat. Lagipula memang pekerjaan mereka banyak dilakukan di malam hari dan otak mereka terlanjur terprogram untuk digunakan secara maksimal tanpa sinar matahari. 
Sebenarnya, malam bukan hanya milik manusia nokturnal. Beberapa manusia dengan waktu tidur normal juga sering meluangkan waktu ketika malam menjelang, bahkan hingga pagi datang, atas nama rasa bosan akan rutinitas atau karena kebetulan ada urusan. Alerta misalnya, sengaja keluar malam ini, memenuhi janji dengan seorang yang kebetulan hanya bisa ditemui pada waktu malam, Burhan, atau biasa dipanggil Hans, sepupu Alerta sekaligus tempat paling tepat baginya untuk mencurahkan isi hati. Kebetulan Hans bekerja sebagai barista di sebuah coffee shop yang baru buka ketika senja. 

"Hans" panggil Alerta begitu memasuki coffeeshop  dan melihat sepupunya di belakang meja dekat kasir. Hans tampak sedang merapikan gelas-gelas porselen di dekatnya. 

"Hoi. Cepet amat" jawab Hans sambil memberikan isyarat agar Alerta duduk di dekatnya.

"Jadi, kamu mau curhat apa? cowok?" Hans bertanya

"Bikinin kopi dulu lah, yang biasa" jawab Alerta sambil  mengetuk-ngetukan jemarinya di meja, mengikuti alunan lagu milik efekrumahkaca yang tengah diputar.

"Vanilla latte kan? no sugar " jawab Hans sambil menyodorkan secangkir latte dengan gambar kucing dua setengah dimensi yang dibuat dengan buihnya.

"Aww...Cute,thanks! Gerah ya, btw." Alerta membuka sweaternya. Tubuhnya  dibalut kaos tanpa lengan yang menempel sedikit ketat .

"Itu sikut kenapa? " Hans sedikit kaget melihat ada bekas luka yang mengering di siku kiri Alerta.

"Kepleset... ehehehe.. eh, mau curhat nih, jangan ngebahas yang lain dulu, plis"

"Yaudah, buruan." Hans tidak sabar.

"Jadi begini... spertinya aku menyukai seorang laki-laki.." kata Alerta memulai ceritanya

"Bukankah itu wajar? Tapi, kenapa sepertinya?" tanya Hans

"Karena dia juga bilang begitu; sepertinya, bisa jadi, mungkin. Dia bilang aku beda dan dia suka." Alerta menghela napasnya

"Lalu, kamu percaya?" tanya Hans

"Aku kan sudah bilang tadi. Sepertinya aku suka. Hanya sepertinya. Entahlah..." kata Alerta lagi

"Lalu, apa yang kamu lakukan?" tanya Hans

"Aku berusaha melepaskannya dari wilayah yang kubangun sendiri  untuknya, zona nyaman, zona pertemanan." kata Alerta

"Maksudmu?" Hans tidak begitu paham

"Aku mengajaknya menonton pameran lukisan. Memang, tidak secara langsung aku berkata ayo atau apa. Aku hanya bilang aku ingin menonton pameran lukisan ." kata Alerta

"Lalu, dia bilang apa?" wajah Hans mendekati Alerta, tampak penasaran.

"Dia bilang, yaudah.. nonton aja.." sambung Alerta. Jemarinya merogoh tas kanvasnya, mengambil sekotak rokok dan pemantik kemudian meletakannya di meja.

"Dia cuma main-main. Sudahlah, jangan pedulikan lagi." kata Hans.
Alerta mengambil sebatang rokok dan menyulutnya. Hans mencegah.

"Jangan ngerokok disini. Nggak enak sama pelanggan yang lain" kata Hans sambil mematikan pemantik Alerta.Alerta menurut meski sebenarnya suasana sedang tidak ramai. Kebanyakan pelanggan lebih memilih nongkrong di luar karena cuacanya memang sedang bagus.

"Coba kamu temui dia, periksa handphonenya ketika lengah. Siapa tahu kamu bisa mengambil kesimpulan lain tentang dia." kata Hans lagi.

"Kesimpulan? Kesimpulanmu maksudnya? Pembuktian atas asumsimu tentang dia?" Alerta memandang Hans lekat-lekat, berusaha membaca setiap otot di wajahnya.

"Tidak ada salahnya, kan? Kalau sudah, kembali lagi besok. Beritahu aku lagi tentang dia." kata Hans

"Baiklah. " Alerta menghabiskan vanilla lattenya kemudian beranjak keluar dan pulang ke rumahnya.

***
"Hans, dugaanmu benar." kata Alerta beberapa hari kemudian di waktu yang sama. Hanya saja kali ini mereka memilih untuk duduk diluar.

"Aku sudah memperingatkanmu, kan. Jadi, bagaimana?" kata Hans sambil menyodorkan vanilla latte tanpa gula pada Alerta. Alerta meraihnya, kemudian meminumnya sedikit dan meletakkannya di meja.

"Aku membaca beberapa pesan... dari perempuan." kata Alerta datar

"Apa isinya? kamu yakin bukan dari saudaranya?" tanya Hans

"Pesan-pesan manis, sedikit menggoda.. Bukan. Aku yakin bukan dari saudaranya." kata Alerta yang kali ini mengenakan atasan tanpa lengan warna hitam. Bekas lukanya di siku kirinya telah mengering sepenuhnya.

"Sudahlah.. tidak ada gunanya kamu memikirkan laki-laki macam dia. Ngomong-ngomong, kenapa bekas lukamu masih utuh dan tidak terkelupas? " tanya Hans, berusaha mengalihkan perhatian.

"Aku menunggu waktu yang tepat. Aku tidak mau kalau nanti bekas luka ini malah menjadi luka baru kalau mengelupasnya sembarangan." jawab Alerta, masih dengan datar.

"Kamu pikir, kapan waktunya?" tanya Hans

"Mungkin... sekarang." jawab Alerta. Jemari kanannya menelusur sikunya, mengelupas bekas darah yang mengering dari lukanya.

"Pasti berbekas." kata Hans

"Biarlah... paling tidak aku sabar menunggu waktu yang tepat untuk mengelupasnya. Paling tidak, tidak ada luka baru yang muncul ditempat yang sama ataupun merembet ke sekitarnya." kata Alerta. Lukanya sudah terkelupas semua, meninggalkan bekas berwarna merah muda, luka yang dikelupas tepat waktu sehingga tidak memicu luka baru di sekitar luka lama.



(selanjutnya ... )




Comments

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan Tentang (Kedai) Kopi Yang Coba Saya Jawab Sendiri

Smile coffee and tea Beberapa juta tahun cahaya yang lalu, saya sempat menulis mengenai enam pertimbangan dalam memilih tempat untuk nongkrong . Belakangan saya sadar, sebagian besar tongkrongan saya adalah kedai kopi, atau paling tidak menyediakan kopi dalam daftar menunya. Saya sadar, belakangan kedai kopi di Jogja kian menjamur seperti tugas akhir yang saya biarkan menganggur ketika menulis postingan ini. Sebelumnya, saya ingin meluruskan bahwa saya bukanlah seorang coffee snob  , pendekar, atau apapun itu yang paham fafifu soal perkopian. Hamba sekadar mahasiswa yang butuh ruang yang nyaman untuk bersosialisasi maupun berindividualisasi. Sebagai seorang yang bukan ekstrovert dan nggak introvert-introvert amat, kedai kopi adalah tempat yang sesuai bagi saya untuk sekadar mojok dewean, menulis sesuatu, atau iseng baca webtoon dan yutuban.  Sejujurnya saya merasa postingan ini agak tolol. Kalau mau, bisa saja saya wawancara orang yang betul-betul paham soal kopi. Tapi, toh

Pertemuan dan Perjumpaan

Entah kenapa aku merasakan perbedaan antara pertemuan dan perjumpaan.  Rasaku bilang: pertemuan menyiratkan sebuah perjanjian, kesepakatan. Pertemuan sarat akan unsur kesengajaan. Bentuk-bentuk intimasi serta kepentingan turut terlibat, erat dan mengikat. Rasaku berucap: perjumpaan merupakan pertemuan yang tak direncanakan. Perjumpaan lebih mengatasnamakan takdir, ketidak sengajaan,  Tolong, jangan mintan penjelasan kenapa rasaku tak bisa menyamakan antara pertemuan dan perjumpaan. Aku bukan anak linguistik, atau manusia yang sehari-hari bergelut dengan ketatabahasaan. Rasaku memiliki logika dan nalarnya sendiri.  Jangan pula tanyakan tentang perpisahan, karena kali ini aku sekadar ingin membahas perjumpaan dan pertemuan. Jalan Kaliurang, 21 Maret 2016 Mengutuki hujan yang menderas di luaran. * edited soon, perhaps.

#ReformasiDikorupsi, #GejayanMemanggil, dan Sebagian Postingan yang Tidak Relevan

Gejayan Memanggil 2