Skip to main content

Lempar-lemparan

Suatu hari, seorang lelaki bernama Tama merasa ada yang salah dengan dirinya. Tama merasa hampa, entah karena apa. Sampai pada suatu malam, Tama bermimpi jiwanya diambil oleh sosok misterius. Tama menjadi khawatir dan konsultasi dengan dokter ahli penyakit jiwa.

Tama     : Dok, saya mau konsultasi

Ahli jiwa: Yak, silakan.. Apa keluhan saudara?

Tama     : Saya rasa jiwa saya hilang, dok.

Ahli jiwa: Apakah saudara sering mendengar suara-suara aneh di kepala saudara?

Tama     : Tidak, dok.

Ahli Jiwa: Apakah saudara sering merasa bahwa saudara adalah sesuatu yang lain? Binatang, misalnya?

Tama    : Tidak, dok.. tidak.. saya hanya merasa hampa. Saya rasa saya kehilangan jiwa saya. Saya bingung  harus bagaimana.

Ahli Jiwa : Begini ya, saudara Tama... Saya adalah dokter ahli penyakit jiwa. Saya mengurusi jiwa yang sakit. Kalau saudara saja bahkan tidak punya jiwa, jangan temui saya. Kalau memang jiwa saudara hilang, silakan hubungi yang berwenang mengurusi perihal kehilangan.

Tama : Tapi..  saya harus kemana, dok?

Ahli Jiwa : Datang saja ke polisi. Polisi kan bertugas melayani masyarakat, termasuk mengenai kehilangan. Bukankah saudara Tama adalah bagian dari masyarakat?

Tama  : Baiklah, dok..

Tama menuju ke pos polisi terdekat dan disambut oleh seorang polisi muda berbadan tegap dan kekar.

Tama  :Selamat siang, pak.. 

Polisi  :Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu?

Tama : Saya kehilangan sesuatu, pak. Apa bapak bisa bantu mencarikannya?

Polisi  : Apa yang hilang? Kendaraan? Motor? Mobil? atau orang? adik? orangtua?

Tama : Saya kehilangan jiwa saya, pak..

Sang polisi memandangi Tama dengan tatapan aneh kemudian menanggapi Tama kembali...

Polisi : Wah, kalau masalah jiwa, itu bukan urusan saya. Saya tidak paham. Coba saja tanyakan pada ahli jiwa.

Tama : Tapi tadi saya sudah konsultasi dengan ahli jiwa. Beliau bilang, masalah terkait kehilangan bukan urusan dia. Saya disuruh tanya polisi saja katanya.

Polisi : Maaf, saya hanya mengurusi barang-barang yang berwujud jelas. Saya sendiri bahkan belum pernah melihat bentuk jiwa seperti apa. 

Tama: Lalu, saya harus bagaimana? Lebih baik bapak ikut saya ke dokter jiwa lagi, ya. Supaya semuanya jelas.

Sang polisi mengiyakan. Dan sesampainya di tempat dokter ahli penyakit jiwa...

Tama : Dok, kata pak polisi, saya harus konsultasi pada anda tentang jiwa saya.

Polisi : Maaf ya, dok.. masalah jiwa itu bukan urusan saya

Ahli jiwa: Bapak ini bagaimana! Perihal kehilangan kan sudah seharusnya menjadi tanggung jawab bapak. Sudah tugas bapak melayani masyarakat.

Polisi : Tapi, perihal jiwa kan urusan dokter! 

Ahli jiwa: Tapi saudara Tama kan bagian dari masyarakat juga. Bapak harus memberi bantuan dong!

... perdebatan antara polisi dan ahli jiwa terus berlanjut. Mulanya hanya berusaha mencari pembenaran, namun berujung pada umpatan, makian, dan pisuhan. Sementara Tama hanya bisa terdiam dalam kehampaan karena menjadi korban lempar-lemparan. Lempar-lemparan tanggung jawab.




Comments

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan Tentang (Kedai) Kopi Yang Coba Saya Jawab Sendiri

Smile coffee and tea Beberapa juta tahun cahaya yang lalu, saya sempat menulis mengenai enam pertimbangan dalam memilih tempat untuk nongkrong . Belakangan saya sadar, sebagian besar tongkrongan saya adalah kedai kopi, atau paling tidak menyediakan kopi dalam daftar menunya. Saya sadar, belakangan kedai kopi di Jogja kian menjamur seperti tugas akhir yang saya biarkan menganggur ketika menulis postingan ini. Sebelumnya, saya ingin meluruskan bahwa saya bukanlah seorang coffee snob  , pendekar, atau apapun itu yang paham fafifu soal perkopian. Hamba sekadar mahasiswa yang butuh ruang yang nyaman untuk bersosialisasi maupun berindividualisasi. Sebagai seorang yang bukan ekstrovert dan nggak introvert-introvert amat, kedai kopi adalah tempat yang sesuai bagi saya untuk sekadar mojok dewean, menulis sesuatu, atau iseng baca webtoon dan yutuban.  Sejujurnya saya merasa postingan ini agak tolol. Kalau mau, bisa saja saya wawancara orang yang betul-betul paham soal kopi. ...

Pertemuan dan Perjumpaan

Entah kenapa aku merasakan perbedaan antara pertemuan dan perjumpaan.  Rasaku bilang: pertemuan menyiratkan sebuah perjanjian, kesepakatan. Pertemuan sarat akan unsur kesengajaan. Bentuk-bentuk intimasi serta kepentingan turut terlibat, erat dan mengikat. Rasaku berucap: perjumpaan merupakan pertemuan yang tak direncanakan. Perjumpaan lebih mengatasnamakan takdir, ketidak sengajaan,  Tolong, jangan mintan penjelasan kenapa rasaku tak bisa menyamakan antara pertemuan dan perjumpaan. Aku bukan anak linguistik, atau manusia yang sehari-hari bergelut dengan ketatabahasaan. Rasaku memiliki logika dan nalarnya sendiri.  Jangan pula tanyakan tentang perpisahan, karena kali ini aku sekadar ingin membahas perjumpaan dan pertemuan. Jalan Kaliurang, 21 Maret 2016 Mengutuki hujan yang menderas di luaran. * edited soon, perhaps.

Pepe

Sore tadi, demi mengerjakan tugas, saya pergi ke kantor pos pusat di kawasan malioboro bersama wiwin, revul, dan azan. Niat awal kami memang untuk melengkapi tugas, tapi sayang customer service nya tutup jam tiga sore, dan kami baru tiba sekitar jam empat. Karena memang tidak mau rugi sudah sampai di sekitaran malioboro, kami memutuskan untuk jalan-jalan. Pada mulanya kami bingung mau kemana, tapi kemudian kami memutuskan untuk pergi ke mirota batik.  Di perjalanan, tepatnya di daerah sekitar benteng vredeburg, kami menemukan banyak pedagang yang menggelar lapaknya di trotoar. Kebanyakan merupakan ibu-ibu penjual sate limaribuan. Beberapa saat kemudian ada orang yang berkata bahwa ada satpol pp. Beberapa pedagang buru-buru membereskan dagangannya. Saya mencari petugas yang dimaksud, namun saya tidak bisa menemukannya. Jadilah kami melanjutkan perjalanan ke mirota. Sepulang dari mirota batik, kami kembali melewati jalan yang sama dan mampir untuk membeli wedang ronde. Kali ini ...