Skip to main content

Permen

Sore tadi, sepulang kelayapan, saya menemukan beberapa bungkus permen di kantong celana panjang yang saya kenakan. Saya sedikit menyesal mereka masih berada disana karena memang saya baru memindahkan mereka dari sebuah toples kaca ke kantong saya tadi pagi. Seharusnya permen tadi saya bagikan kepada teman-teman saya, tapi saya lupa ._.



Permen dan berbagi mengingatkan saya pada cerita lama. Cerita sederhana yang mungkin terdengar biasa, tapi punya makna bagi saya. Waktu itu saya baru pulang sekolah dalam keadaan lelah dan cuaca sedang mendung. Entah apa yang tepatnya ada di pikiran saya, tapi yang jelas saya tidak sedang merasa senang atau bahagia. Dalam perjalanan pulang ini, saya sempat mampir ke sebuah swalayan. Saya membeli beberapa barang dan jajanan berupa permen yupi varian baru dalam kemasan dan beberapa permen chupa chups. Kemudian saya menggantungkan belanjaan saya tersebut di canthelan motor dan melanjutkan perjalanan pulang. 
Di persimpangan jalan, lampu menyala merah dan saya berhenti. Ada seorang bocah perempuan yang tampak lusuh mengemis dari kendaraan satu ke kendaraan lain yang tengah berhenti. Matanya tampak berbinar polos, mengharap perhatian dari tiap-tiap pemilik kendaraan. Sampailah si bocah di dekat motor saya. Kebetulan saya tidak sedang mengantongi recehan dan akan ribet apabila saya harus membongkar tas saya dengan segala isiannya yang serba berantakan, jadi saya menolak. Kemudian si anak menunjuk ke belanjaan saya yang tergantung di motor sambil berkata , "Mbak, minta permennya". Saya menggeleng, merasa sayang untuk membagikan permen yupi dalam kemasan yang harganya  sekitar limaribuan tersebut.  Bukan hanya karena harganya, tapi karena memang yupi tersebut merupakan varian baru dan saya belum pernah coba. Tidak lama lampu berubah hijau dan saya melanjutkan perjalanan pulang. Saya merasa jahat dan semakin merasa jahat ketika sadar sebenarnya saya juga membeli beberapa lolipop tadi. Kalau saya tidak rela berbagi hanya karena yupi tadi merupakan varian baru, seharusnya saya tidak keberatan memberikan lolipop chupa chups yang juga saya beli. Saya merasa harus menebus 'kesalahan' saya tersebut, meskipun sebenarnya berbagi merupakan hak dari si pemberi. Hari saya memang tidak begitu baik, tapi bukan berarti saya tidak bisa membuat orang lain merasa lebih baik.
Hari-hari selanjutnya, saya memutuskan untuk menyimpan permen lolipop di tempat penyimpanan di motor matic bagian depan dekat canthelan. Saya berharap bisa menemukan si bocah dan memberikan permen tersebut sebagai penebusan dan tanda penyesalan saya. Kebetulan saya memang sering melihat si bocah mengemis di sekitar persimpangan jalan yang biasa saya lewati ketika pulang sekolah, meski tidak setiap hari. Benar saja,beberapa hari berselang, saya kembali menemukan si bocah, mengemis di tempat yang sama. Lampu masih hijau, namun saya memperlambat laju kendaraan saya dan berhenti ketika lampu berubah merah. Saya panggil si bocah dan memberikan lolipop tersebut. Entah bagaimana ekspresinya, saya lupa. Yang penting saya cukup merasa lega. Hari-hari setelahnya, saya sudah jarang melihat si bocah di termpat biasanya  sampai saya lulus sekolah dan masuk kuliah. Belakangan saya melihat bocah kecil dengan tampilan yang serupa di perempatan dekat jalan menuju kampus. Tapi, saya tidak benar-benar yakin apakah yang saya lihat merupakan bocah yang sama.

Kebiasaan saya menyimpan permen di motor berlanjut. Mulanya saya sering menyimpan lolipop, sampai suatu hari lolipop yang saya simpan tiba-tiba sudah keropos dimakan semut-semut parkiran sekolah. Mungkin karena bungkusan permen lolipop tidak serapat permen biasanya. Jadi, saya memutuskan untuk menyimpan permen biasa di motor saya. Saya juga pernah memberikan permen ini untuk anak jalanan, namun dengan cerita yang lain lagi.

Saya masih ingat waktu itu saya sibuk dengan urusan ospek dan baru pulang sekitar jam duabelas malam. Saya cenderung memilih jalan yang biasa saya lewati ketika SMA karena saya memang bukan tipe orang yang mudah menghapal jalan. Jogjakarta malam itu sangat sepi, mungkin karena bukan musim liburan atau malam minggu. Bahkan jalanan yang biasanya ramai menjadi minim kendaraan. Kebetulan saya melewati lampu merah di daerah Jetis. Sebenarnya lampu tidak sedang merah ketika saya tengah melintas, hanya menuju merah. Lagipula jalanan sepi dan tidak ada polisi yang akan menegur saya apabila menerobos karena pos polisi juga kosong. Saya memutuskan untuk berhenti, sekalian istirahat. Saya hanya seorang diri, satu-satunya pengguna kendaraan yang berkendara di sekitar jalan tersebut pada waktu itu. Saya melihat ada seorang pengamen, atau pengemis, saya lupa, tapi yang jelas seorang anak jalanan, menengadahkan tangannya ke arah saya. Dan lagi-lagi, saya merasa tidak sempat mencari recehan. Lagipula saya merasa tidak aman membuka dompet sembarangan. Saya teringat permen yang biasa saya bawa, kemudian saya berikan kepada si anak jalanan. Tiba-tiba saya melihat anak-anak jalanan lain menuju ke arah saya. Bukannya mau berprasangka buruk kepada mereka, tapi saya memang takut. Saya tidak melihat pengendara lain. Jalanan masih sepi, setidaknya sepi dari pengendara kendaraan. Lampu masih merah dan saya langsung menerobosnya. Kali ini saya tidak merasa bersalah. 

Comments

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan Tentang (Kedai) Kopi Yang Coba Saya Jawab Sendiri

Smile coffee and tea Beberapa juta tahun cahaya yang lalu, saya sempat menulis mengenai enam pertimbangan dalam memilih tempat untuk nongkrong . Belakangan saya sadar, sebagian besar tongkrongan saya adalah kedai kopi, atau paling tidak menyediakan kopi dalam daftar menunya. Saya sadar, belakangan kedai kopi di Jogja kian menjamur seperti tugas akhir yang saya biarkan menganggur ketika menulis postingan ini. Sebelumnya, saya ingin meluruskan bahwa saya bukanlah seorang coffee snob  , pendekar, atau apapun itu yang paham fafifu soal perkopian. Hamba sekadar mahasiswa yang butuh ruang yang nyaman untuk bersosialisasi maupun berindividualisasi. Sebagai seorang yang bukan ekstrovert dan nggak introvert-introvert amat, kedai kopi adalah tempat yang sesuai bagi saya untuk sekadar mojok dewean, menulis sesuatu, atau iseng baca webtoon dan yutuban.  Sejujurnya saya merasa postingan ini agak tolol. Kalau mau, bisa saja saya wawancara orang yang betul-betul paham soal kopi. Tapi, toh

Pertemuan dan Perjumpaan

Entah kenapa aku merasakan perbedaan antara pertemuan dan perjumpaan.  Rasaku bilang: pertemuan menyiratkan sebuah perjanjian, kesepakatan. Pertemuan sarat akan unsur kesengajaan. Bentuk-bentuk intimasi serta kepentingan turut terlibat, erat dan mengikat. Rasaku berucap: perjumpaan merupakan pertemuan yang tak direncanakan. Perjumpaan lebih mengatasnamakan takdir, ketidak sengajaan,  Tolong, jangan mintan penjelasan kenapa rasaku tak bisa menyamakan antara pertemuan dan perjumpaan. Aku bukan anak linguistik, atau manusia yang sehari-hari bergelut dengan ketatabahasaan. Rasaku memiliki logika dan nalarnya sendiri.  Jangan pula tanyakan tentang perpisahan, karena kali ini aku sekadar ingin membahas perjumpaan dan pertemuan. Jalan Kaliurang, 21 Maret 2016 Mengutuki hujan yang menderas di luaran. * edited soon, perhaps.

#ReformasiDikorupsi, #GejayanMemanggil, dan Sebagian Postingan yang Tidak Relevan

Gejayan Memanggil 2