Skip to main content

Rahasia semu dalam kabut

Seharian ini aku tidak melihat Arina, teman kuliahku yang juga tinggal serumah denganku. Catatan kuliahku dia pinjam, padahal aku sedang butuh untuk mengerjakan tugasku secepatnya. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke kamarnya dan mengambilnya sendiri. 
Mataku menelusur tumpukan buku di meja kamar Arina, berharap bisa menemukan buku catatan warna biru muda milikku. Tanpa butuh waktu lama aku menemukannya, tertindih buku lain dengan warna magenta. Sepertinya semacam buku cerita karena terlihat ada gambar tokoh dongeng di dalamnya. Dua orang wanita dengan wajah serupa, bahkan sama persis saling berhadapan dengan sebuah kotak kaca berisi permata di dalamnya. Aku tertarik untuk membaca isinya yang ternyata mirip buku harian dengan tanggal yang tertulis pada sudut kanan atas tiap-tiap halamannya. Mirip, meski aku yakin ini bukan buku harian karena isinya terlalu konyol untuk dianggap sebagai realita. 
Ada sebuah kisah mengenai kotak kaca penyimpan rahasia. Konon kotak tersebut hanya dapat dibuka dengan mantra yang juga tertulis di buku tersebut dan harus dibacakan oleh pemiliknya. Apabila si pemilik telah mati, kotak tersebut berikut kekuatan yang ada di dalamnya bisa saja berpindah dengan cara menuliskan nama si pemilik baru menggunakan darah pemilik sebelumnya di buku tersebut. Tidak masuk akal memang.

"Kamu kok sembarangan melihat barang-barangku?" terdengar suara si pemilik kamar mengagetkanku. Wajahnya tampak kesal.

"Sori,sih.. mau nggambil catetan aku nih... " jawabku sambil menunjukkan catatan ditanganku. Aku keluar dari kamar Arina, sadar kalau aku sebenarnya memang salah.

"Eh, aku pergi ngerjain tugas dulu ya." kataku lagi. Arina tidak tampak memberikan tanggapan. Wajar sih kalu dia merasa kesal kalau aku sembarangan melihat-lihat barangnya, meskipun biasanya dia tidak pernah merasa keberatan. Aku merasa ada yang beda dengan Arina tadi. Sudahlah. Mungkin cuma perasaanku saja.

***

Tugasku sudah setengah jadi. Lumayan lah, daripada sebelumnya. Karena cukup banyak yang harus kutulis, aku pulang cukup malam, sekitar jam sembilan. Malam ini cukup dingin.Sorotan lampu jalanan dan lampu kendaraan  membuat kabut putih yang ada tampak makin jelas. Tapi, ada yang aneh. Aku bisa mendengar suara-suara dalam kabut tersebut, semacam bisikan. Aku sedikit ketakutan dan memutuskan bertanya kepada beberapa orang di jalanan. Mereka bilang mereka juga dengar, namun mereka tampak tidak takut seakan kabut tipis dengan suara berbisik itu merupakan hal yang biasa mereka temui.  Aku makin bingung dan memutuskan untuk bergegas pulang.
Sesampainya di rumah, aku segera masuk ke kamar. Sekilas aku melihat buku buku magenta tadi tergeletak di dekat pintu kamar Arina. Salahsatu halamannya terbuka. Tampak  sebuah tulisan yang dibuat dengan darah merah segar. Sebuah nama, Arimbi. Di halaman selanjutnya ada foto sepasang bayi kembar identik. Aku tercekat.

"Ngapain kamu, va?" sebuah suara yang sepertinya familiar membuatku kaget. Arina. Aku terdiam dan mengamatinya lekat. Arina tampak sama seperti biasanya. Berambut ikal sebahu dengan bola mata coklat jernih dan bekas luka di siku. Sebentar, sejak kapan Arina punya bekas luka di siku? Lagipula bekas tersebut cukup dalam dan tampaknya berasal dari luka lama. Setahuku akhir-akhir ini Arina tidak terjatuh atau mengalami kecelakaan yang mengakibatkan luka. Aku masih diam.

"Oh, kamu udah tau, ya?" kata sosok di depanku itu, seakan membaca keadaan.

"Tahu apa?" kataku, berusaha menutupi rasa takutku. Aku melihat senyum sinis berkembang di wajahnya, wajah yang mitip Arina.

"Sudahlah.. jangan pura-pura bodoh. Arina sudah mati." katanya lagi, datar tanpa ekspresi. Benar-benar tidak seperti Arina yang kukenal.

"Apaan sih, rin? bercandaannya nggak lucu deh." kataku lagi

"Kamu sudah baca buku tadi kan? Iya, cerita itu benar. Kotak kaca itu memang ada. Arina adalah pemiliknya. Tapi sekarang... tidak lagi. " jawabnya

"Go home, Arina. You're drunk..hehe..." kataku tanpa bisa menutupi rasa takutku

"Kamu tahu kotak kaca yang ada di buku itu?  Sekarang aku adalah pemiliknya.  Arimbi. Dan apa kamu lihat kabut yang menyelubungi jalanan tadi ketika kamu pulang? Itu adalah isi kotak kaca. Rahasia. Rahasia yang semu, sehingga aku tidak yakin apakah pantas disebut sebagai rahasia karena memang semua orang sudah tahu tentang hal itu. Suara-suara yang berbisik bersama kabut." kata sosok yang mengaku bernama Arimbi itu.

"Apa kamu yang membuat rahasia-rahasia itu menjadi tersebar dan semua orang tahu?" tanyaku

"Iya. Itu memang perbuatanku. Aku ingin menguasai kotak kaca penampung rahasia milik Arina. Arina yang sekarang sudah mati! Lagipula, aku juga menginginkan permata di dalamnya." katanya tanpa penyesalan.

Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Secepat mungkin aku mengambil kunci motorku dan berlari keluar. Aku harus pergi, entah kemana, aku tidak peduli. Kabut-kabut itu masih di sana, menyebar di seluruh penjuru jalanan. Berbisik, membuatku terusik.Aku teringat bagian dari buku magenta yang tadi siang kubaca.  Dikatakan bahwa rahasia bentuknya seperti kabut asap, dengan warna yang berbeda-beda, tergantung genre cerita macam apa yang dijadikan rahasia. Apabila kamu bercerita tentang cinta, warna asapnya akan merah muda. Apabila kamu bercerita tentang kelamnya dunia,maka  warnanya menjadi abu-abu tua. Sepertinya aku tahu rahasia macam apa yang tersimpan dalam kabut putih ini. Rahasia semu, seperti yang dibilang Arimbi.




Comments

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan Tentang (Kedai) Kopi Yang Coba Saya Jawab Sendiri

Smile coffee and tea Beberapa juta tahun cahaya yang lalu, saya sempat menulis mengenai enam pertimbangan dalam memilih tempat untuk nongkrong . Belakangan saya sadar, sebagian besar tongkrongan saya adalah kedai kopi, atau paling tidak menyediakan kopi dalam daftar menunya. Saya sadar, belakangan kedai kopi di Jogja kian menjamur seperti tugas akhir yang saya biarkan menganggur ketika menulis postingan ini. Sebelumnya, saya ingin meluruskan bahwa saya bukanlah seorang coffee snob  , pendekar, atau apapun itu yang paham fafifu soal perkopian. Hamba sekadar mahasiswa yang butuh ruang yang nyaman untuk bersosialisasi maupun berindividualisasi. Sebagai seorang yang bukan ekstrovert dan nggak introvert-introvert amat, kedai kopi adalah tempat yang sesuai bagi saya untuk sekadar mojok dewean, menulis sesuatu, atau iseng baca webtoon dan yutuban.  Sejujurnya saya merasa postingan ini agak tolol. Kalau mau, bisa saja saya wawancara orang yang betul-betul paham soal kopi. ...

Pertemuan dan Perjumpaan

Entah kenapa aku merasakan perbedaan antara pertemuan dan perjumpaan.  Rasaku bilang: pertemuan menyiratkan sebuah perjanjian, kesepakatan. Pertemuan sarat akan unsur kesengajaan. Bentuk-bentuk intimasi serta kepentingan turut terlibat, erat dan mengikat. Rasaku berucap: perjumpaan merupakan pertemuan yang tak direncanakan. Perjumpaan lebih mengatasnamakan takdir, ketidak sengajaan,  Tolong, jangan mintan penjelasan kenapa rasaku tak bisa menyamakan antara pertemuan dan perjumpaan. Aku bukan anak linguistik, atau manusia yang sehari-hari bergelut dengan ketatabahasaan. Rasaku memiliki logika dan nalarnya sendiri.  Jangan pula tanyakan tentang perpisahan, karena kali ini aku sekadar ingin membahas perjumpaan dan pertemuan. Jalan Kaliurang, 21 Maret 2016 Mengutuki hujan yang menderas di luaran. * edited soon, perhaps.

Pepe

Sore tadi, demi mengerjakan tugas, saya pergi ke kantor pos pusat di kawasan malioboro bersama wiwin, revul, dan azan. Niat awal kami memang untuk melengkapi tugas, tapi sayang customer service nya tutup jam tiga sore, dan kami baru tiba sekitar jam empat. Karena memang tidak mau rugi sudah sampai di sekitaran malioboro, kami memutuskan untuk jalan-jalan. Pada mulanya kami bingung mau kemana, tapi kemudian kami memutuskan untuk pergi ke mirota batik.  Di perjalanan, tepatnya di daerah sekitar benteng vredeburg, kami menemukan banyak pedagang yang menggelar lapaknya di trotoar. Kebanyakan merupakan ibu-ibu penjual sate limaribuan. Beberapa saat kemudian ada orang yang berkata bahwa ada satpol pp. Beberapa pedagang buru-buru membereskan dagangannya. Saya mencari petugas yang dimaksud, namun saya tidak bisa menemukannya. Jadilah kami melanjutkan perjalanan ke mirota. Sepulang dari mirota batik, kami kembali melewati jalan yang sama dan mampir untuk membeli wedang ronde. Kali ini ...