Skip to main content

Alam-Semesta

Dulu ketika saya masih kecil, alam dan semesta bersahabat baik. Mereka selalu dipersatukan dalam satu rangkaian kata. Dimana ada alam, disitu pula ada semesta. Alam semesta.  Dimana ada semesta, alam juga ada di sebelahnya. Semesta alam. Setidaknya begitulah yang sering saya dengarkan dalam lagu-lagu rohani yang sering dilagukan ketika saya masih kanak-kanak, masih polos, belum kenal pisuhan dan belum banyak berbuat dosa.  mengenal dosa. 

Sekarang saya rasa hubungan alam dan semesta semakin renggang. Saya sering menemukan semesta berdiam sendirian tanpa alam di sisinya. Sementara alam... entah alam ada dimana. Alam makin jarang terlihat. Mungkin kalah populer dengan semesta yang kian mencuat. Terakhir saya dengar alam jadi penyanyi  dangdut. Mungkin sekarang malah sudah jadi dukun yang mengobati pasien dengan cara disembur.

Mungkin memang saya yang baru sadar kalau alam dan semesta tidak sedekat yang saya pikirkan sebelumnya. Mungkin karena saya baru bisa membaca sadar kalau semesta lebih punya banyak teman, atau lebih senang sendirian.

Comments

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan Tentang (Kedai) Kopi Yang Coba Saya Jawab Sendiri

Smile coffee and tea Beberapa juta tahun cahaya yang lalu, saya sempat menulis mengenai enam pertimbangan dalam memilih tempat untuk nongkrong . Belakangan saya sadar, sebagian besar tongkrongan saya adalah kedai kopi, atau paling tidak menyediakan kopi dalam daftar menunya. Saya sadar, belakangan kedai kopi di Jogja kian menjamur seperti tugas akhir yang saya biarkan menganggur ketika menulis postingan ini. Sebelumnya, saya ingin meluruskan bahwa saya bukanlah seorang coffee snob  , pendekar, atau apapun itu yang paham fafifu soal perkopian. Hamba sekadar mahasiswa yang butuh ruang yang nyaman untuk bersosialisasi maupun berindividualisasi. Sebagai seorang yang bukan ekstrovert dan nggak introvert-introvert amat, kedai kopi adalah tempat yang sesuai bagi saya untuk sekadar mojok dewean, menulis sesuatu, atau iseng baca webtoon dan yutuban.  Sejujurnya saya merasa postingan ini agak tolol. Kalau mau, bisa saja saya wawancara orang yang betul-betul paham soal kopi. Tapi, toh

Pertemuan dan Perjumpaan

Entah kenapa aku merasakan perbedaan antara pertemuan dan perjumpaan.  Rasaku bilang: pertemuan menyiratkan sebuah perjanjian, kesepakatan. Pertemuan sarat akan unsur kesengajaan. Bentuk-bentuk intimasi serta kepentingan turut terlibat, erat dan mengikat. Rasaku berucap: perjumpaan merupakan pertemuan yang tak direncanakan. Perjumpaan lebih mengatasnamakan takdir, ketidak sengajaan,  Tolong, jangan mintan penjelasan kenapa rasaku tak bisa menyamakan antara pertemuan dan perjumpaan. Aku bukan anak linguistik, atau manusia yang sehari-hari bergelut dengan ketatabahasaan. Rasaku memiliki logika dan nalarnya sendiri.  Jangan pula tanyakan tentang perpisahan, karena kali ini aku sekadar ingin membahas perjumpaan dan pertemuan. Jalan Kaliurang, 21 Maret 2016 Mengutuki hujan yang menderas di luaran. * edited soon, perhaps.

#ReformasiDikorupsi, #GejayanMemanggil, dan Sebagian Postingan yang Tidak Relevan

Gejayan Memanggil 2