Skip to main content

Jadi, Sakjane Hobi-ku Opo? (Jadi, Sebenarnya Hobi Saya Apa? )

"Mbak, suka nulis ya?? Dari kapan??" tanya seseorang.
"Dari SD sih.. dulu punya buku harian, tapi terus ...." kata saya dalam keremangan selepas senja menuju malam. Percakapan terus berlangsung, ngalor-ngidul, entah kemana arahnya sampai seseorang tersebut bersama orang-orang lainnya  teman-temannya undur diri untuk menunaikan ibadah. Kemudian saya pulang menuju ke alamat yang tertera di kartu tanda pengenal saya. Pulang ke  rumah dengan skuter matic unyu warna pink, menelusuri jalanan dalam keremangan yang minim penerangan sembari sibuk dengan pikiran saya sendiri. Jalanan selalu menjadi salahsatu tempat favorit saya untuk merenung dan semacam berefleksi mengenai banyak hal. 

Kembali lagi ke masalah refleksi . Pertanyaan  seseorang tadi memicu saya untuk kembali bertanya pada diri saya sendiri mengenai hobi apa yang sebenarnya saya sukai. Sejauh ini, kalau orang-orang bertanya, saya selalu menjawab dengan jawaban standar seperti jalan-jalan dan makan-makan. Kalau ditanya soal musik favorit, saya selalu bilang random aja. Mungkin karena saya sudah terlalu melekat pada kata toleran, sehingga saya merasa seringkali tidak punya pendirian dalam beberapa hal. Sebut saja  pasrahan. 

Sampai sekarang, di akhir usia belasan ini, saya bahkan belum begitu yakin dengan apa yang benar-benar saya suka. Dulu, saya sempat suka membaca bacaan random, lagi-lagi. Tapi semenjak SMA entah kenapa kesenangan tersebut surut. Mungkin karena saya sudah mengenal kesenangan baru yang namanya kelayapan. Apa saya jenuh? Mungkin. Demikian juga dengan menulis. Dulu saya sempat suka menulis  cerita, tapi tidak semua cerita tersebut selesai, bahkan malah hilang entah kemana. Ide baru muncul ketika ide lama bahkan belum tuntas berakhir dan berkumpul. Saya juga sempat suka corat-coret kertas entah karena dulu waktu SMP ikut pelajaran seni rupa. Bahkan sampai sekarang saya masih menyimpan beberapa hasil keseloan saya tersebut dalam sebuah map. Iya, saya memang manusia penyimpan kenangan. Mungkin ini yang membuat orang semacam saya jadi susah move on.

Anyway, sekarang  begitu kuliah, berbagai kegemaran saya di masa lalu tersebut rasanya muncul kembali, atas nama keseloan. Sedihnya adalah, kegemaran saya tersebut biasanya muncul di saat yang tidak bersamaan. Ketika senang menulis, saya malas corat-coret. Ketika senang corat-coret, saya malas membaca. Entahlah. Mungkin memang hobi saya ada siklusnya. 

Comments

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan Tentang (Kedai) Kopi Yang Coba Saya Jawab Sendiri

Smile coffee and tea Beberapa juta tahun cahaya yang lalu, saya sempat menulis mengenai enam pertimbangan dalam memilih tempat untuk nongkrong . Belakangan saya sadar, sebagian besar tongkrongan saya adalah kedai kopi, atau paling tidak menyediakan kopi dalam daftar menunya. Saya sadar, belakangan kedai kopi di Jogja kian menjamur seperti tugas akhir yang saya biarkan menganggur ketika menulis postingan ini. Sebelumnya, saya ingin meluruskan bahwa saya bukanlah seorang coffee snob  , pendekar, atau apapun itu yang paham fafifu soal perkopian. Hamba sekadar mahasiswa yang butuh ruang yang nyaman untuk bersosialisasi maupun berindividualisasi. Sebagai seorang yang bukan ekstrovert dan nggak introvert-introvert amat, kedai kopi adalah tempat yang sesuai bagi saya untuk sekadar mojok dewean, menulis sesuatu, atau iseng baca webtoon dan yutuban.  Sejujurnya saya merasa postingan ini agak tolol. Kalau mau, bisa saja saya wawancara orang yang betul-betul paham soal kopi. ...

Pertemuan dan Perjumpaan

Entah kenapa aku merasakan perbedaan antara pertemuan dan perjumpaan.  Rasaku bilang: pertemuan menyiratkan sebuah perjanjian, kesepakatan. Pertemuan sarat akan unsur kesengajaan. Bentuk-bentuk intimasi serta kepentingan turut terlibat, erat dan mengikat. Rasaku berucap: perjumpaan merupakan pertemuan yang tak direncanakan. Perjumpaan lebih mengatasnamakan takdir, ketidak sengajaan,  Tolong, jangan mintan penjelasan kenapa rasaku tak bisa menyamakan antara pertemuan dan perjumpaan. Aku bukan anak linguistik, atau manusia yang sehari-hari bergelut dengan ketatabahasaan. Rasaku memiliki logika dan nalarnya sendiri.  Jangan pula tanyakan tentang perpisahan, karena kali ini aku sekadar ingin membahas perjumpaan dan pertemuan. Jalan Kaliurang, 21 Maret 2016 Mengutuki hujan yang menderas di luaran. * edited soon, perhaps.

Pepe

Sore tadi, demi mengerjakan tugas, saya pergi ke kantor pos pusat di kawasan malioboro bersama wiwin, revul, dan azan. Niat awal kami memang untuk melengkapi tugas, tapi sayang customer service nya tutup jam tiga sore, dan kami baru tiba sekitar jam empat. Karena memang tidak mau rugi sudah sampai di sekitaran malioboro, kami memutuskan untuk jalan-jalan. Pada mulanya kami bingung mau kemana, tapi kemudian kami memutuskan untuk pergi ke mirota batik.  Di perjalanan, tepatnya di daerah sekitar benteng vredeburg, kami menemukan banyak pedagang yang menggelar lapaknya di trotoar. Kebanyakan merupakan ibu-ibu penjual sate limaribuan. Beberapa saat kemudian ada orang yang berkata bahwa ada satpol pp. Beberapa pedagang buru-buru membereskan dagangannya. Saya mencari petugas yang dimaksud, namun saya tidak bisa menemukannya. Jadilah kami melanjutkan perjalanan ke mirota. Sepulang dari mirota batik, kami kembali melewati jalan yang sama dan mampir untuk membeli wedang ronde. Kali ini ...