Skip to main content

Membaca Tulisan Lama

"Cik, kamu kok lama nggak nulis di blog?" tanya seorang teman saya waktu kami nongkrong siang tadi. Pertanyaan tadi membuat saya (paling tidak) punya motivasi untuk membuat postingan ini, meski sejujurnya saya masih punya beberapa -kalau tidak boleh dibilang banyak- tulisan yang entah masih sepersekian jalan -belum ada setengah jalan-. Beberapa cerita bersambung  yang pernah saya tulis, -entah karena ikut seru-seruan event menulis jurusan atau memang saya sedang terjebak keseloan, atau menyelokan diri dalam ketidakseloan-, memang sudah saya lanjutkan, tapi, ya itu tadi. Masih belum ada setengah jalan, karena memang saya benar-benar sedang terjebak kemalasan kesibukan. Sibuk malas-malasan tepatnya. Jadilah tulisan-tulisan yang belum kelar tadi menginap, mengendap berhari-hari di draft.  Saya bukannya kehabisan bahan tulisan. Toh akhir-akhir ini saya lumayan sering keluyuran, dan -biasanya- keluyuran saya 'menghasilkan'. Tapi, sepertinya saya memang tidak sedang peka dengan sekitaran saya. Atau lebih tepatnya, sedang ingin tidak peka. Jadilah, saya merasa tidak tahu harus bagaimana. Semacam ingin ngobrol lama dan curhat-curhatan, tetapi tidak tahu apa yang memang mau saya curhatkan. 

Ketidaktahuharusbagaimana-an ini membuat saya membuka-buka tulisan-tulisan lama saya. Entah kenapa, saya terkadang merasa tidak mengenali tulisan saya sendiri. -mungkin hal serupa juga dialami oleh kalian-kalian yang sering berurusan dengan barisan huruf yang disusun sedemikian rupa menjadi kata, kalimat, paragraf, paper, atau apapunlah itu namanya-. Padahal biasanya saya menulis dengan kesadaran, meski omongan saya banyak yang ngelantur dan tidak keruan. Jadilah, saya merasa seperti membaca sebuah cerita yang asing yang ditulis oleh seseorang yang asing pula. Mungkin saya memang tengah merasa asing dengan diri saya sendiri. Bahkan saya misuh-misuh sendiri, tidak paham dengan apa yang saya tulis, dan betapa lewat tulisan lama terkadang saya bisa merasakan segelintir kemunafikan yang terjadi dalam diri saya sendiri. Tapi, memang pada dasarnya manusia juga berubah sih. Seperti bentukan tampilan blog saya yang juga berubah, karena saya juga pengen berubah. 

Well,entah kenapa postingan ini semakin random kesannya jadi tulisanception. Menceritakan tulisan lewat tulisan lainnya.Seperti yang tadi saya bilang, mungkin saya cuman pengen curhat, tapi nggak ngerti mau curhat apaan.

Adios~

Comments

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan Tentang (Kedai) Kopi Yang Coba Saya Jawab Sendiri

Smile coffee and tea Beberapa juta tahun cahaya yang lalu, saya sempat menulis mengenai enam pertimbangan dalam memilih tempat untuk nongkrong . Belakangan saya sadar, sebagian besar tongkrongan saya adalah kedai kopi, atau paling tidak menyediakan kopi dalam daftar menunya. Saya sadar, belakangan kedai kopi di Jogja kian menjamur seperti tugas akhir yang saya biarkan menganggur ketika menulis postingan ini. Sebelumnya, saya ingin meluruskan bahwa saya bukanlah seorang coffee snob  , pendekar, atau apapun itu yang paham fafifu soal perkopian. Hamba sekadar mahasiswa yang butuh ruang yang nyaman untuk bersosialisasi maupun berindividualisasi. Sebagai seorang yang bukan ekstrovert dan nggak introvert-introvert amat, kedai kopi adalah tempat yang sesuai bagi saya untuk sekadar mojok dewean, menulis sesuatu, atau iseng baca webtoon dan yutuban.  Sejujurnya saya merasa postingan ini agak tolol. Kalau mau, bisa saja saya wawancara orang yang betul-betul paham soal kopi. ...

Pertemuan dan Perjumpaan

Entah kenapa aku merasakan perbedaan antara pertemuan dan perjumpaan.  Rasaku bilang: pertemuan menyiratkan sebuah perjanjian, kesepakatan. Pertemuan sarat akan unsur kesengajaan. Bentuk-bentuk intimasi serta kepentingan turut terlibat, erat dan mengikat. Rasaku berucap: perjumpaan merupakan pertemuan yang tak direncanakan. Perjumpaan lebih mengatasnamakan takdir, ketidak sengajaan,  Tolong, jangan mintan penjelasan kenapa rasaku tak bisa menyamakan antara pertemuan dan perjumpaan. Aku bukan anak linguistik, atau manusia yang sehari-hari bergelut dengan ketatabahasaan. Rasaku memiliki logika dan nalarnya sendiri.  Jangan pula tanyakan tentang perpisahan, karena kali ini aku sekadar ingin membahas perjumpaan dan pertemuan. Jalan Kaliurang, 21 Maret 2016 Mengutuki hujan yang menderas di luaran. * edited soon, perhaps.

Pepe

Sore tadi, demi mengerjakan tugas, saya pergi ke kantor pos pusat di kawasan malioboro bersama wiwin, revul, dan azan. Niat awal kami memang untuk melengkapi tugas, tapi sayang customer service nya tutup jam tiga sore, dan kami baru tiba sekitar jam empat. Karena memang tidak mau rugi sudah sampai di sekitaran malioboro, kami memutuskan untuk jalan-jalan. Pada mulanya kami bingung mau kemana, tapi kemudian kami memutuskan untuk pergi ke mirota batik.  Di perjalanan, tepatnya di daerah sekitar benteng vredeburg, kami menemukan banyak pedagang yang menggelar lapaknya di trotoar. Kebanyakan merupakan ibu-ibu penjual sate limaribuan. Beberapa saat kemudian ada orang yang berkata bahwa ada satpol pp. Beberapa pedagang buru-buru membereskan dagangannya. Saya mencari petugas yang dimaksud, namun saya tidak bisa menemukannya. Jadilah kami melanjutkan perjalanan ke mirota. Sepulang dari mirota batik, kami kembali melewati jalan yang sama dan mampir untuk membeli wedang ronde. Kali ini ...