Skip to main content

Semangkuk Kebahagiaan di Kantin Fisipol; Kembalinya Mie Ayam Goreng

dokumentasi dengan ponsel pinjaman..
maaf kalo agak ambyar, keburu lapar :p

Buat para penghuni lama kampus Fisipol UGM (paling enggak angkatan '12 ke atas), pasti tahu lah makanan yang satu ini. Kalo denger kata mie ayam, memang sih kesannya standar dan ada dimana-mana. Tapi kalo mie ayam goreng, setahu saya tidak selalu ada di warung-warung mie ayam konvensional. Untuk itu, baiklah sekarang saya jabarkan mengenai makanan legendaris halahh ini...

Kalau boleh jujur, saya sendiri juga tidak paham kapan sebenarnya mie ayam ini mulai dijajakan dan mengisi perut manusia-manusia yang jajan di kantin Fisipol. Maklum, saya kan baru kuliah di sini dua tahun. Ketika tahun pertama kuliah, memang kantin fisipol bisa dibilang masih utuh alias masih banyak ada yang jualan. Namun, memasuki tahun kedua saya kuliah, kantin fisipol jadi suwung. Duh, sepertinya saya malah curhat... 

Mie ayam goreng kantin fisipol sepintas memang menyerupai Ind*mie goreng atau yamie versi mie ayam m*s y*di. Namanya juga mie goreng, warnanya kecoklatan gitu kayak mie-mie goreng konvensional  yang bisa kita bikin sendiri atau minta dibikinin 'aak-'aak burjonan. Tapi, bagi saya, semangkuk mie ayam goreng adalah semangkuk kebahagiaan. Kebahagiaan yang kurang lebih serupa dengan kebahagiaan yang muncul ketika menyantap mie goreng dengan rasa manis pada umumnya. *Iya, kalau boleh jujur, saya memang suka mie goreng, khususnya ind*mie goreng*.

Demikian yang bisa saya sampaikan. Kurang lebihnya, harap maklum..

Comments

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan Tentang (Kedai) Kopi Yang Coba Saya Jawab Sendiri

Smile coffee and tea Beberapa juta tahun cahaya yang lalu, saya sempat menulis mengenai enam pertimbangan dalam memilih tempat untuk nongkrong . Belakangan saya sadar, sebagian besar tongkrongan saya adalah kedai kopi, atau paling tidak menyediakan kopi dalam daftar menunya. Saya sadar, belakangan kedai kopi di Jogja kian menjamur seperti tugas akhir yang saya biarkan menganggur ketika menulis postingan ini. Sebelumnya, saya ingin meluruskan bahwa saya bukanlah seorang coffee snob  , pendekar, atau apapun itu yang paham fafifu soal perkopian. Hamba sekadar mahasiswa yang butuh ruang yang nyaman untuk bersosialisasi maupun berindividualisasi. Sebagai seorang yang bukan ekstrovert dan nggak introvert-introvert amat, kedai kopi adalah tempat yang sesuai bagi saya untuk sekadar mojok dewean, menulis sesuatu, atau iseng baca webtoon dan yutuban.  Sejujurnya saya merasa postingan ini agak tolol. Kalau mau, bisa saja saya wawancara orang yang betul-betul paham soal kopi. ...

Pertemuan dan Perjumpaan

Entah kenapa aku merasakan perbedaan antara pertemuan dan perjumpaan.  Rasaku bilang: pertemuan menyiratkan sebuah perjanjian, kesepakatan. Pertemuan sarat akan unsur kesengajaan. Bentuk-bentuk intimasi serta kepentingan turut terlibat, erat dan mengikat. Rasaku berucap: perjumpaan merupakan pertemuan yang tak direncanakan. Perjumpaan lebih mengatasnamakan takdir, ketidak sengajaan,  Tolong, jangan mintan penjelasan kenapa rasaku tak bisa menyamakan antara pertemuan dan perjumpaan. Aku bukan anak linguistik, atau manusia yang sehari-hari bergelut dengan ketatabahasaan. Rasaku memiliki logika dan nalarnya sendiri.  Jangan pula tanyakan tentang perpisahan, karena kali ini aku sekadar ingin membahas perjumpaan dan pertemuan. Jalan Kaliurang, 21 Maret 2016 Mengutuki hujan yang menderas di luaran. * edited soon, perhaps.

Pepe

Sore tadi, demi mengerjakan tugas, saya pergi ke kantor pos pusat di kawasan malioboro bersama wiwin, revul, dan azan. Niat awal kami memang untuk melengkapi tugas, tapi sayang customer service nya tutup jam tiga sore, dan kami baru tiba sekitar jam empat. Karena memang tidak mau rugi sudah sampai di sekitaran malioboro, kami memutuskan untuk jalan-jalan. Pada mulanya kami bingung mau kemana, tapi kemudian kami memutuskan untuk pergi ke mirota batik.  Di perjalanan, tepatnya di daerah sekitar benteng vredeburg, kami menemukan banyak pedagang yang menggelar lapaknya di trotoar. Kebanyakan merupakan ibu-ibu penjual sate limaribuan. Beberapa saat kemudian ada orang yang berkata bahwa ada satpol pp. Beberapa pedagang buru-buru membereskan dagangannya. Saya mencari petugas yang dimaksud, namun saya tidak bisa menemukannya. Jadilah kami melanjutkan perjalanan ke mirota. Sepulang dari mirota batik, kami kembali melewati jalan yang sama dan mampir untuk membeli wedang ronde. Kali ini ...