Skip to main content

I dare you, Dear!!

sebelumnya...


***
"Darren!!" Alerta menegur Darren yang tampak sedang melamun. Siang itu terik dan Alerta memang sengaja mengajak Darren untuk menemaninya nongkrong.Alerta mencoba melupakan masalahnya dengan Darren kemarin malam, terlebih setelah Darren mendapat luka lebam di pelipisnya karena dihantam oleh Hans ketika Darren menemui Alerta. Alerta merasa bersalah karena memang pukulan tersebut merupakan bentuk pembelaan Hans sebagai sepupunya. Lagipula, Darren sudah minta maaf pada Alerta dan mengaku sadar akan kesalahannya. Bagi Alerta, itu sudah cukup. Maka dari itu, sebagai ungkapan rasa bersalah, Alerta mentraktir Darren makan siang.

"Gimana luka kamu? Masih sakit?" tanya Alerta. Jemarinya menelusur perlahan memeriksa lebam di pelipis Darren.

"Dikit.. " Darren nyengir. Jemarinya meraih sekotak rokok di meja dan mengambil sebatang kemudian mencari-cari pemantik di saku celananya. Alerta pun dengan segera menyodorkan pemantik mungil warna hijau muda miliknya sembari menyalakan api.

"Bagi rokok ya.." kata Alerta sambil mencomot sebatang rokok di meja, mengetuk-ngetukkannya beberapa kali agar tembakaunya memadat, dan kemudian menyulutnya. Darren dan Alerta memang biasa berbagi rokok, meski sebenarnya selera  rokok mereka berbeda. Darren yang memang perokok berat lebih suka rokok yang bisa dibilang... klasik, mungkin. Rokok kretek dengan aroma tembakaunya yang kuat, serta kadar racun yang tentunya juga lebih pekat pula. Sementara Alerta lebih suka rokok dengan sensasi mint atau mentholLagipula, Alerta bukanlah seorang pecandu rokok, hanya sesekali saja menikmati kalau sedang ada teman. Alerta tidak pernah keberatan dengan perokok, dan inilah yang membuat Darren merasa semakin nyaman.

"So, Darren.. aku mau ngomong nih.." kata Alerta. Sepasang matanya menatap mata Darren dalam sehingga membuat Darren terdiam dan sejenak mengabaikan rokok di sela jemari kanannya. Deg.. Darren sedikit was-was karena memang jarang-jarang Alerta bertindak demikian. Kalau mau ngomong, yaudah sih tinggal ngomong.

"Ngomongin apaan, sih? Serius banget keknya.." kata Darren, berusaha santai. Sesaat matanya menghindari tatapan Alerta -meski hanya sepersekian detik-, semacam berusaha mengumpulkan nyali.

"I dare you, dear!! " kata Alertta. Kedua matanya masih menatap sepasang mata Darren lekat-lekat, nyaris tak berkedip.

"Whoa... wait.. Kok tetiba kamu ngajakin mainan truth or dare , tanpa ada pilihan truth nya sih?" Darren sedikit bingung. Truth or dare memang -sebenarnya- permainan yang cukup sering mereka berdua mainkan, -ketika benar-benar berdua atau ketika ramai-ramai bersama teman mereka yang lain-. Dan keduanya -baik Alerta maupun Darren - lebih sering memilih tantangan daripada mengatakan kejujuran. Pilihan itu bisa jadi karena kedua orang tua mereka juga menyukai tantangan, yah, semacam keturunan begitulah. Maka tidak heran apabila orang tua Alerta memilih nama tersebut bagi putri semata wayangnya - Alerta, dari kata alert... waspada- karena memang Alerta lahir ketika usia ibundanya sudah tidak lagi muda karena terlalu sibuk berpetualang bersama dengan ayahnya. Sementara Darren, namanya berasal dari kata dare... tantangan, karena memang kedua orang tua Darren juga menyukai kegiatan yang menantang, meski kemudian memilih untuk menjalani kehidupan yang dianggap normal bagi kebanyakan umat manusia dan menjadi tetangga Alerta. Dengan latar belakang keluarga yang kurang lebih sama inilah baik Alerta maupun Darren menjadi lebih tertarik dengan yang namanya tantangan.

"I dare you to move on, dear!!" kata Alerta sembari mencoba menerka reaksi Darren selagi mengamati setiap gerakan di urat wajah lelaki di hadapannya itu.

"Hah? move on apaan?" Darren memasang wajah pura-pura tidak paham. Padahal dalam benaknya berkecamuk berbagai macam hal, termasuk kecurigaan apabila ternyata Hans membeberkan segalanya ke Alerta. Segala-galanya tentang seorang perempuan -yang kebetulan juga Alerta kenal, meski tidak terlalu akrab-. Perempuan bernama Diandra.

"Udahlah.. aku udah tahu kok.. Bukan dari Hans juga sih tahunya. Plis, buat hal ini jangan bawa-bawa Hans. Kamu juga sih sering ninggalin ponsel sembarangan kalo kita lagi jalan." jawab Alerta tenang dan lancar, selancar hapalan pidato untuk ujian praktek bahasa indonesia waktu ia masih sekolah menengah pertama.

"Eh... ummm... " Darren tidak bisa mengelak lagi dari topik ini. Salahnya sendiri tidak menyimpan segala sesuatunya dengan hati-hati. Kini Alerta -perempuan yang seharusnya menjadi orang terakhir yang tahu tentang perasaan Darren pada Diandra- justru ingin menantang Darren untuk move on dan melupakan sosok perempuan yang bagi Darren adalah segalanya.

"So?? gimana?? Berani enggak?? Aku bakal bantuin kamu kok." kata Alerta santai, seakan tanpa rasa bersalah. Padahal, dalam hati Alerta juga tidak benar-benar yakin dengan omongannya sendiri.

"Bantuin gimana maksudnya?" Darren tidak paham dengan maksud Alerta.

"Hmmm... Gini aja deh gampangnya. Aku nantang kamu buat temenan sama aku. How?" Alerta menawarkan.

"Hahaha.. You're kidding, right?. Kita memang udah temenan lama kan." ujar Darren, belum mampu menangkap arah pembicaraan mereka.

"Friend forever, dear... or more, but still... forever..."



Comments

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan Tentang (Kedai) Kopi Yang Coba Saya Jawab Sendiri

Smile coffee and tea Beberapa juta tahun cahaya yang lalu, saya sempat menulis mengenai enam pertimbangan dalam memilih tempat untuk nongkrong . Belakangan saya sadar, sebagian besar tongkrongan saya adalah kedai kopi, atau paling tidak menyediakan kopi dalam daftar menunya. Saya sadar, belakangan kedai kopi di Jogja kian menjamur seperti tugas akhir yang saya biarkan menganggur ketika menulis postingan ini. Sebelumnya, saya ingin meluruskan bahwa saya bukanlah seorang coffee snob  , pendekar, atau apapun itu yang paham fafifu soal perkopian. Hamba sekadar mahasiswa yang butuh ruang yang nyaman untuk bersosialisasi maupun berindividualisasi. Sebagai seorang yang bukan ekstrovert dan nggak introvert-introvert amat, kedai kopi adalah tempat yang sesuai bagi saya untuk sekadar mojok dewean, menulis sesuatu, atau iseng baca webtoon dan yutuban.  Sejujurnya saya merasa postingan ini agak tolol. Kalau mau, bisa saja saya wawancara orang yang betul-betul paham soal kopi. Tapi, toh

Pertemuan dan Perjumpaan

Entah kenapa aku merasakan perbedaan antara pertemuan dan perjumpaan.  Rasaku bilang: pertemuan menyiratkan sebuah perjanjian, kesepakatan. Pertemuan sarat akan unsur kesengajaan. Bentuk-bentuk intimasi serta kepentingan turut terlibat, erat dan mengikat. Rasaku berucap: perjumpaan merupakan pertemuan yang tak direncanakan. Perjumpaan lebih mengatasnamakan takdir, ketidak sengajaan,  Tolong, jangan mintan penjelasan kenapa rasaku tak bisa menyamakan antara pertemuan dan perjumpaan. Aku bukan anak linguistik, atau manusia yang sehari-hari bergelut dengan ketatabahasaan. Rasaku memiliki logika dan nalarnya sendiri.  Jangan pula tanyakan tentang perpisahan, karena kali ini aku sekadar ingin membahas perjumpaan dan pertemuan. Jalan Kaliurang, 21 Maret 2016 Mengutuki hujan yang menderas di luaran. * edited soon, perhaps.

#ReformasiDikorupsi, #GejayanMemanggil, dan Sebagian Postingan yang Tidak Relevan

Gejayan Memanggil 2